DR. Oliver E. Owen, seorang mahaguru kedokteran pada Temple
University Hospital, Amerika Serikat berkata, "siapa saja punya
bahan bakar yang cukup untuk bertahan sampai 60 hari, kalau dia
minum dan diam dengan tenang."
Wanita, katanya, malahan bisa bertahan lebih lama. Karena tubuh
mereka mengandung lemak yang lebih banyak. Begitu juga orang
yang kegemukan akan bisa melampaui batas daya tahan tadi. Daya
tahan berpuasa tergantung pada bahan bakar dalam bentuk lemak
dan otot yang terdapat dalam tubuh.
Kalau berpuasa, tubuh dengan sendirinya memperkecil jumlah
pemakaian bahan bakar. Pada hari-hari pertama tubuh agak boros.
Beberapa bahan bakar malah dibuang percuma. Tidak saja lemak
yang "dihancurkannya" untuk membuat bahan bakar, tapi juga
protein yang terdapat pada otot organ vital, seperti limpa dan
ginjal. Ini terutama dilakukannya untuk mensuplai otak.
Begitu puasa tadi dilanjutkan, barulah tubuh mulai bekerja
efisien. Menjelang hari ketiga, otak -- organ yang paling banyak
membutuhkan energi - mulai bisa memanfaatkan ketone: sisa-sisa
pembakaran lemak. "Dengan begitu beberapa organ vital tak sampai
termakan," ulas Dr. Theodore B. Van Itallie, ahli gizi dan
penasihat pada direktorat jenderal kesehatan AS.
Katanya puasa tidak menimbulkan rasa sakit. Setelah otak mampu
menggunakan ketone, Orang yang puasa mulai merasa "terasing"
atau malahan terkadang merasa "gembira". Padahal dalam tubuhnya
mulai terjadi perubahan drastis. Detak nadi menjadi lambat.
Tekanan darah anjlog di bawah normal. Temperatur tubuh turun.
Diet Lapar
Jika lemak sudah habis dibakar protein yang terdapat di otot
mulai diubah menjadi bahan bakar untuk menghidupkan otak. Ajal
mulai datang kalau sebagian besar dari otot-otot dalam tubuh
sudah habis terbakar.
Menurut Oliver Owen dalam beberapa kasus yang ditelitinya,
begitu cadangan lemak sudah habis dan protein dari otot mulai
dibakar, terkadang otot jantung ikut pula menciut dan
kekuatannya untuk memompa darah pun menjadi sangat lemah.
Sedangkan orang yang puasa itu mati karena pneumonia.
Tapi Van Itallie menilai ajal datang karena seluruh proses
biologis menurun begitu hebatnya disebabkan kekurangan bahan
bakar. Otak tak kebagian makanan. "Padahal kesadaran memerlukan
aktivitas listrik dalam jumlah. tertentu di otak," katanya.
Selain untuk memprotes, sebagaimana yang dilaksanakan Bobby dan
teman-teman seperjuangannya, orang berpuasa karena agama. Tetapi
ada juga yang melakukannya untuk memerangi kegemukan. Beberapa
pusat pelayanan kesehatan di luar negeri melaksanakan starvation
diet (diit lapar) sampai seminggu.
Di Indonesia belum terdengar ada yang melakukan diit lapar. Yang
ada adalah orang yang bertapa sampai 40 hari untuk mencari
"kejernihan" dan macam-macam tujuan. Mereka tak makan. Kecuali
minum, seperti Bobby Sands cs dari Irlandia.
Diit lapar memang tak bisa dilakukan secara serampangan,
sebagaimana dikatakan Dr. Walujo Soerjodibroto ahli gizi dari
Fakultas Kedokteran UI. "Diperlukan alat-alat khusus untuk
mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dalam tubuh si
pasien. Alat ini belum kita miliki," katanya.
"Kalau diit lapar itu dilaksanakan seenaknya bisa berakibat
fatal," kata Walujo. Karena dalam proses pengubahan protein
menjadi bahan bakar akan timbul hasil sampingan berupa senyawa
yang mengandung Nitrogen. Racun keras ini di dalam hati diubah
menjadi urea yang di ginjal dirombak menjadi amonia untuk
kemudian dibuang melalui kencing.
Tanpa peralatan yang berfungsi sebagai pengawas tidak bisa
diketahui Nitrogen yang harus diolah hati-hati bisa terlalu
capek. Dan ginjal suatu saat bisa gagal dalam mengolah urea.
"Akibatnya si pasien keracunan urea. Bisa mati," kata Walujo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini