Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Itu ekspresi, kalau percaya

6 orang anak berusia 8-12 tahun muncul di studio v rri jakarta. memainkan musik karya sendiri. bukan pop, juga tidak main-main. alam kanak-kanaknya terungkap dengan serius. (ms)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK cara mengungkapkan diri. Keenam anak berusia 8-12 tahun, enggemar pelajaran matematika itu, memilih musik sebagai ajang mereka. Yany Danuwidjaja barangkali contoh yang istimewa. Kini usia murid kelas 3 SD Santa Maria Fatima -- Jakarta -- itu 9 tahun. Ia sudah menciptakan tak kurang dari 198 komposisi musik orisinal. Yany muncul bersama adik kakak Maria Louisa dan Myrna Anastasia Setiawan, Estelita Hidayat, Maryana Jeanette Brotosudirdjo dan Stephen Kurniawan Tamadji -- Kamis pekan lalu di Studio V RRI Jakarta. Mereka memainkan komposisi ciptaan masing-masing di depan ratusan penonton yang memenuhi gedung. Konon, 'Pagelaran Musik Karya Anak-anak Indonesia 1/1981' itu gagasannya datang dari komponis Iskandar almarhum -- sesudah menyaksikan pertunjukan 5 anak Jepang yang tergabung dalam Junior Original Concert (JOC) di Jakarta, 1977. Bukan Anak Ajaib Boleh jadi Iskandar sangat mengagumi kemahiran anak-anak Jepang itu. Tetapi yang ditunjukkan Yany dan kawan-kawannya kemarin, lebih dari sekedar kenyataan bahwa anak-anak kita juga bisa melakukannya. Karya dan kemahiran mereka memainkan piano atau elekton ternyata dilatari pula oleh kecerdasan dan prestasi di sekolah masing-masing. Angka rapor mereka rata-rata di atas 8. Maria Louisa 8 tahun, dan kakaknya, Myrna Anastasia, 11 tahun, adalah juara di kelasnya masing-masing -- kelas 1 dan 4 SD Santa Clara, Surabaya. Memang, sebagaimana dikatakan Danny Tumiwa, gitaris yang jadi Ketua JOC di Jakarta, "mereka bukan anak ajaib." Sebab kecuali ke-6 anak tadi, masih ada sekitar 200 anak lagi yang diasuh Danny dalam Kursus Musik Anak-anak (KMA) Yayasan Musik Indonesia (YMI). Maria, Myrna dan Stephen, 12 tahun, adalah anggota KMA Surabaya. Tiga yang lain dari KMA Jakarta. Malam itu, Maria tampil pertama kali memainkan ciptaannya, Jumping Cat, bersama Myrna dan Stephen -- dengan - piano dan elekton. Masih sederhana, sebagaimana temanya. Kucing itu melompat-lompat dalam ketukan pianonya sementara kaki Maria sendiri agak susah payah menggaet pedal. Kemudian Estelita Hidayat, 9 tahun, memainkan lagunya Hujan Pagi dengan piano. Dalam moderato dan allegretto, setidak-tidaknya teman sekelas Yany itu sudah menerjemahkan suasana. Maria lalu muncul lagi memainkan Carnival dengan elekton. Nomor meriah ini bagaikan lahir dari tangan seorang dewasa. Sebab yang terdengar tak hanya kemeriahan sebuah pesta karnaval, melainkan juga bunyi bak kesedihan seorang anak yang berdiri di sudut dan tak bisa serta. Gogo Si Kelinci, juga dimainkan sendirian oleh penciptanya, Maryana, 11 tahun, dengan piano. Seperti Jumping Cat, ia bercerita tentang keasyikan binatang itu. Yany lantas berduet dengan Estelita memijit elekton memainkan Bunga Nemu no Sato. Lagu itu dibikin Yany ketika ia, untuk kedua kalinya, dikirimkan mengikuti Konser JOC di Nemu no Sato, Jepang, Oktober 1980. Kali itu ia pergi bersama Stephen. Kelebihan Yany ialah, komposisi musiknya terasa lebih matang. Tapi Lagu Malam Myrna juga serius. Ia tak hanya menghadirkan suasana, tapi juga rahasia kegelapan itu. Bunyi pianonya cenderung merupakan rangkaian perasaan gelisah -- bukan nada-nada untuk memanjakan telinga. Boneka Menari Stephen adalah sebuah ilustrasi yang bagus bagi pementasan teater boneka, misalnya. Ia memainkan dua ciptaannya lagi, Soldier dan Rain. Juga Yany: Boneka Salju dan Taman Bunga. Berikutnya adalah acara lain: demonstrasi kepekaan rasa musik. Seorang penonton naik ke pentas, memijit beberapa bilah nada pada piano. Anak-anak kemudian melanjutkannya menjadi sebuah lagu yang mengesankan. Akhirnya, bersama-sama mereka memainkan Eine Kleine Nact Muziek karya Mozart. Penonton menyambutnya dengan tepukan riuh. "Bagus," komentar Praharyawan Prabowo, dirigen Orkes Simponi Jakarta. Baginya, pertunjukan itu "ekspresi anak-anak seusia mereka." Lebih dari itu, "mereka bisa mengungkapkannya dengan sempurna." Tentu saja itu tidak begitu mudah diatur. Dan di belakang panggung, keluarga Jusuf Setiawan, orang tua Myrna dan Maria misalnya, tetap membiarkan anak-anaknya tumbuh sebagaimana laiknya kanak-kanak. Bermain boneka atau berenang. Stephen juga penggemar voli. Santai saja -- bukan "digembleng" alias ditindas untuk menjadi anak yang bisa dipamer-pamerkan, yang mungkin bahkan, akan menjadikan mereka "tidak utuh". Bahkan Yany, "masih senang main bola bekel," tutur ibunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus