BANYAK cara mengungkapkan diri. Keenam anak berusia 8-12 tahun,
enggemar pelajaran matematika itu, memilih musik sebagai ajang
mereka. Yany Danuwidjaja barangkali contoh yang istimewa. Kini
usia murid kelas 3 SD Santa Maria Fatima -- Jakarta -- itu 9
tahun. Ia sudah menciptakan tak kurang dari 198 komposisi musik
orisinal.
Yany muncul bersama adik kakak Maria Louisa dan Myrna Anastasia
Setiawan, Estelita Hidayat, Maryana Jeanette Brotosudirdjo dan
Stephen Kurniawan Tamadji -- Kamis pekan lalu di Studio V RRI
Jakarta. Mereka memainkan komposisi ciptaan masing-masing di
depan ratusan penonton yang memenuhi gedung.
Konon, 'Pagelaran Musik Karya Anak-anak Indonesia 1/1981' itu
gagasannya datang dari komponis Iskandar almarhum -- sesudah
menyaksikan pertunjukan 5 anak Jepang yang tergabung dalam
Junior Original Concert (JOC) di Jakarta, 1977.
Bukan Anak Ajaib
Boleh jadi Iskandar sangat mengagumi kemahiran anak-anak Jepang
itu. Tetapi yang ditunjukkan Yany dan kawan-kawannya kemarin,
lebih dari sekedar kenyataan bahwa anak-anak kita juga bisa
melakukannya.
Karya dan kemahiran mereka memainkan piano atau elekton ternyata
dilatari pula oleh kecerdasan dan prestasi di sekolah
masing-masing. Angka rapor mereka rata-rata di atas 8. Maria
Louisa 8 tahun, dan kakaknya, Myrna Anastasia, 11 tahun, adalah
juara di kelasnya masing-masing -- kelas 1 dan 4 SD Santa
Clara, Surabaya.
Memang, sebagaimana dikatakan Danny Tumiwa, gitaris yang jadi
Ketua JOC di Jakarta, "mereka bukan anak ajaib." Sebab kecuali
ke-6 anak tadi, masih ada sekitar 200 anak lagi yang diasuh
Danny dalam Kursus Musik Anak-anak (KMA) Yayasan Musik Indonesia
(YMI). Maria, Myrna dan Stephen, 12 tahun, adalah anggota KMA
Surabaya. Tiga yang lain dari KMA Jakarta.
Malam itu, Maria tampil pertama kali memainkan ciptaannya,
Jumping Cat, bersama Myrna dan Stephen -- dengan - piano dan
elekton. Masih sederhana, sebagaimana temanya. Kucing itu
melompat-lompat dalam ketukan pianonya sementara kaki Maria
sendiri agak susah payah menggaet pedal.
Kemudian Estelita Hidayat, 9 tahun, memainkan lagunya Hujan Pagi
dengan piano. Dalam moderato dan allegretto, setidak-tidaknya
teman sekelas Yany itu sudah menerjemahkan suasana. Maria lalu
muncul lagi memainkan Carnival dengan elekton. Nomor meriah ini
bagaikan lahir dari tangan seorang dewasa. Sebab yang terdengar
tak hanya kemeriahan sebuah pesta karnaval, melainkan juga bunyi
bak kesedihan seorang anak yang berdiri di sudut dan tak bisa
serta.
Gogo Si Kelinci, juga dimainkan sendirian oleh penciptanya,
Maryana, 11 tahun, dengan piano. Seperti Jumping Cat, ia
bercerita tentang keasyikan binatang itu. Yany lantas berduet
dengan Estelita memijit elekton memainkan Bunga Nemu no Sato.
Lagu itu dibikin Yany ketika ia, untuk kedua kalinya, dikirimkan
mengikuti Konser JOC di Nemu no Sato, Jepang, Oktober 1980. Kali
itu ia pergi bersama Stephen. Kelebihan Yany ialah, komposisi
musiknya terasa lebih matang.
Tapi Lagu Malam Myrna juga serius. Ia tak hanya menghadirkan
suasana, tapi juga rahasia kegelapan itu. Bunyi pianonya
cenderung merupakan rangkaian perasaan gelisah -- bukan
nada-nada untuk memanjakan telinga.
Boneka Menari Stephen adalah sebuah ilustrasi yang bagus bagi
pementasan teater boneka, misalnya. Ia memainkan dua ciptaannya
lagi, Soldier dan Rain. Juga Yany: Boneka Salju dan Taman Bunga.
Berikutnya adalah acara lain: demonstrasi kepekaan rasa musik.
Seorang penonton naik ke pentas, memijit beberapa bilah nada
pada piano. Anak-anak kemudian melanjutkannya menjadi sebuah
lagu yang mengesankan. Akhirnya, bersama-sama mereka memainkan
Eine Kleine Nact Muziek karya Mozart. Penonton menyambutnya
dengan tepukan riuh.
"Bagus," komentar Praharyawan Prabowo, dirigen Orkes Simponi
Jakarta. Baginya, pertunjukan itu "ekspresi anak-anak seusia
mereka." Lebih dari itu, "mereka bisa mengungkapkannya dengan
sempurna." Tentu saja itu tidak begitu mudah diatur.
Dan di belakang panggung, keluarga Jusuf Setiawan, orang tua
Myrna dan Maria misalnya, tetap membiarkan anak-anaknya tumbuh
sebagaimana laiknya kanak-kanak. Bermain boneka atau berenang.
Stephen juga penggemar voli. Santai saja -- bukan "digembleng"
alias ditindas untuk menjadi anak yang bisa dipamer-pamerkan,
yang mungkin bahkan, akan menjadikan mereka "tidak utuh". Bahkan
Yany, "masih senang main bola bekel," tutur ibunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini