BILA seseorang suatu kali mengatakan tubuh manusia indah, orang
tentunya akan mengangguk-angguk. Setuju. Sudah berabad-abad
tubuh manusia -- terutama tubuh wanita -- menjadi obyek para
pelukis. Tapi bila ada seseorang mengatakan kerangka manusia
indah, orang mungkin akan menatap heran. Jangan-jangan tak
waras, begitu kira-kira suara dalam hati muncul.
Padahal kerangka manusia, tak salah, indah. Memang jangan
dilihat sederhana, jerangkong-nya. Mestinya dilihat sebagai
bagian paling dekat dengan struktur tubuh manusia.
Struktur ini mempunyai peran besar pada tubuh manusia. Juga
keindahannya. Coba saja, gaya orang berdiri yangdikenal sebagai
"berpose" -- diakui bagus -- terjadi karena struktur tubuh
manusia mencari keseimbangan. Dalam hal ini karena pengaruh gaya
tarik bumi.
Frei Otto adalah seorang arsitek Jerman yang jeli melihat
struktur. Banyak karyanya yang kini tersebar di berbagai negara
berpangkal pada struktur. Sejumlah dokumentasi karya Frei Otto
tahun 1955-1976 pekan lalu dipamerkan di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta. Ikatan Arsitek Indonesia, Pemda DKI dan kelompok
mahasiswa arsitektur Universitas Indonesia memprakarsai pameran
itu.
Kendati sebagai foto, dokumentasi karya Frei Otto itu indah.
Tapi tak mudah orang menyimak apa sebenarnya di baliknya.
Sejumlah foto tenda raksasa, jaring-jaring yang dipentang dan
"kain-kain" yang digantung dengan katrol raksasa. Tampak aneh?
Memang, tanpa imaji khusus tentang struktur, karya Frei Otto
sukar ditelusuri.
Lalu apa yang khusus itu? Dalam pengertian biasa, struktur
adalah sifat dasar sebuah bentuk. Diakui ada, tapi dinilai
terlampau sederhana. Akibatnya, struktur seringkali dianggap
sama dengan bentuk yang nampak. Struktur segitiga ya segitiga,
kata orang.
Padahal struktur tidak berbentuk. Ia semacam sistem yang
menunjukkan bagaimana berbagai gaya pada sebuah benda bekerja
sampai benda itu dapat berdiri seimbang. Struktur sebuah
piramida, umpamanya, menunjukkan bagaimana empat gaya bekerja
menelusuri empat sisi pertemuan bidang. Bertumpu di bagian
atas, dan ditarik bersilang di bagian bawah.
Walaupun tak sama, struktur dan bentuk memang mempunyai kaitan
yang sangat erat. Struktur sebuah bentuk, dikatakan tetap, tidak
tergantung pada ukurannya. Sebuah bola sebesar 1 cm memiliki
struktur yang sama dengan bumi yang juga berbentuk bola. Kecuali
bila sebuah bola mengalami perubahan bentuk.
Dalam dunia arsitektur, struktur tentunya memegang peranan
penting. Bila orang salah memperkirakan struktur, sebuah
bangunan dengan sendirinya akan mudah rubuh. Tapi struktur dalam
dunia ini, hingga kini kebanyakan hanya mengikuti hukum logika
yang paling sederhana. Struktur yang umum dikenal, berasal dari
bentuk piramida dan kotak. Struktur kedua bentuk ini dikenal
paling stabil. Karena itu struktur bangunan di sekitar bentuk
ini, cukup diperkirakan saja. Yang jadi lebih penting kemudian,
perhitungan konstruksinya.
Dalam kecenderungan ini tentunya tak akan ada seorang arsitek
yang mau mencoba membuat sebuah bangunan berbentuk piramida tapi
dengan puncaknya di bawah. Ini bisa disebut usaha gila karena
mencari kesulitan yang tak masuk akal.
Tapi kira-kira di sekitar itulah percobaan Frei Otto. Usaha yang
dikatakan mencari kesulitan, justru ditelusurinya. Ia mencari
struktur yang tak umum, dan mencoba menerapkannya ke dalam
bangunan.
Peristiwa bersejarah terjadi di tahun 1955 ketika Frei Otto
membuat percobaannya yang pertama. Ia membuat semacam tenda yang
mempunyai bentuk seperti sadel kuda. Di situ ia menemukan
struktur, tempat dua gaya melenting yang bersilangan bekerja
saling tarik. Menghasilkan sebuah bentuk yang terjadi karena
tegangan.
Penemuannya ini kemudian berkembang dahsyat. Ia kemudian
berhasi! menerapkan struktur ini pada bentuk raksasa.
Perhitungan dan materialnya menjadi lebih rumit. Dalam bentuk
besar, gaya-gaya yang bekerja diatasinya dengan menempatkan
jaringan kabel baja tipis. Dan kain tenda digantinya dengan
selaput tipis yang mempunyai sifat rijit, ditempatkan di antara
jaringan kabel baja itu. Daya lenting dan tarikan, itu yang
belakangan menjadi konsep Frei Otto.
Kesukaan Frei Otto pada struktur yang tak umum, tentu membawa
risiko. Selain perhitungannya jadi merumit, kemungkinan rubuh
pun jadi besar. Tapi justru di situ letak keluarbiasaan arsitek
Jerman ini. Ia memiliki kepekaan yang tak mudah ditiru dalam
mereka kemungkinan sebuah struktur baru. Ia mampu memperkirakan
batas ketahanan sebuah struktur.
Arsitek yang lahir 56 tahun lalu di Siegmar ini memulai
disainnya tidak dengan perhitungan matematis seperti banyak
disangka orang. Seperti seorang pematung, ia mulai dengan
membuat sket dan model. Ia menyebutkan ini sebagai sekedar
mencari bentuk luarnya. Tapi berbeda dari seorang pematung,
bentuk yang disketnya bukan sekedar bagus-bagusan. Itu
dikerjakannya berdasarkan kepekaan dan pengetahuan tentang
struktur yang tinggi. Dari sket itu ia menganalisa aya yang
bekerja -akan tetap bila dibangun dalam skala yang jauh lebih
besar. Setelah corat-coret dan pemikiran itu selesai, disainnya
berlanjut ke perhitungan. Berbagai data masuk ke dalam
perhitungan ini, seperti kekuatan material, perhitungan
konstruksi, daya lenting dan sebagainya. Semua perhitungan ini
dilakukan dengan komputer.
Begitulah, berbeda seperti yang diperkirakan orang, Frei Otto
bukan budak komputer yang mencoba-coba secara spekulatif. Ia
menciptakan sebuah bentuk berdasarkan kepekaannya, baru kemudian
memanfaatkan komputer. Tak jauh dari itu, Frei Otto ternyata
pemikir, teoritikus dan juga doktor di bidang arsitektur. Ia
penyelidik yang gigih, dalam usaha memecahkan rahasia struktur
kehidupan dalam alam. Walaupun tak luar biasa, ia mampu
menunjukkan kesamaan antara struktur yang dibuatnya dengan
berbagai struktur yang terdapat di alam. Sarang laba-laba dan
rentetan telur katak, misalnya.
Kendati lebih berpikir, dan lagi matematis, karya Frei Otto
barangkali paling terasa manusiawi di antara bentuk arsitektur
lain di masa kini. Ia me nyimpang dari bentuk arsitektur modern
pada umumnya, yang konon disebut terlalu fanatik pada
geometrisme dan terlampau ambisius mengejar monumentalitas.
Arsitek Indonesia diduga tidak menganggap sepi pameran ini.
Bermain dengan struktur memang belum terbiasa pada bangunan
umumnya di Indonesia. Tapi bukannya tak ada. Gedung MPR-DPR yang
direncakan oleh Ir. Suyudi sedikit banyak menyertakan
perhitungan struktur ini. Terletak pada kubahnya. Balok beton
yang menumpang di atasnya adalah perhitungan daya lenting
seperti busur panah. Di bawah tanah kedua ujung beton itu
ditarik dan dihubungkan, dengan mempergunakan kabel baja.
Pameran Frei Otto, tentu saja, lebih berguna bagi kalangan
arsitek ketimbang pengamat awam. Siapa tahu kemungkinan yang
satu ini bisa dipacu. Bukan bentuknya barangkali, tapi cara
arsitek kenamaan itu mengamat, membangun kesimpulan dan menyusun
konsep bagi kerjanya.
Jim A. Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini