Rokok. Sebuah produk yang mengundang benci tapi juga rindu begitu dahsyat. Dia dipuji karena turut menggemukkan pundi-pundi pendapatan negara. Tapi dia juga dilaknat karena menggerus kesehatan dan memperpendek umur.
Ferry Salim, aktor film dan sinetron ternama, turut merasakan sihir rokok. Lelaki ganteng ini menyatakan tak bisa lepas dari rokok lantaran ayahnya perokok berat. Saat duduk di bangku kelas 6 SD, Ferry diam-diam mencoba meniru sang ayah, mengisap lintingan tembakau. Sial, bukannya merasakan nikmatnya asap tembakau, percobaan pertama membuat bibir Ferry terbakar sampai jontor. "Saya dimarahi orang tua dan dilarang merokok," katanya.
Dimarahi bukanlah akhir cerita. Ferry tetap coba-coba merokok dan keterusan sampai sekarang. Meskipun bukan perokok berat, bintang film Ca Bau Kan ini tak bisa lepas dari jeratan asap rokok. "Saya merokok cuma kalau lagi bete alias senewen," tuturnya.
Ferry bukannya tak sadar dampak buruk yang dipicu rokok. Itulah sebabnya dia berusaha tidak merokok di hadapan kedua anaknya, Brandon, 5 tahun, dan Brenda, 3 tahun. Di rumah, Ferry selalu mengajarkan bahaya rokok dan melarang kedua anaknya merokok, bahkan sekadar coba-coba. Pria yang selalu tampil necis ini juga sepakat dengan digelarnya "Hari tanpa Tembakau Sedunia", yang jatuh setiap tanggal 31 Mei. Agar udara bumi lebih sedap dihirup.
Dan di dunia selebriti bukan cuma Ferry seorang yang tersihir rokok. Setidaknya hal ini tecermin dari survei singkat yang baru-baru ini dilakukan Dr. Tjandra Yoga Aditama, dokter ahli paru di Bagian Pulmonologi Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Survei ini merupakan bagian dari kampanye global Hari tanpa Tembakau, yang dilansir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dengan bantuan Meidiana Hutomo, artis sinetron, Dr. Tjandra menyebarkan kuesioner di kalangan selebriti Indonesia. Di akhir proses survei, terjaring 126 responden, 48 lelaki dan 78 perempuan, dari beragam latar belakang seperti bintang sinetron dan film, model, penyanyi, dan presenter.
Hasilnya, 64,6 persen responden laki-laki dan 33 persen responden perempuan yang perokok.Sementara survei kesehatan rumah tangga (SKRT), 2002, menunjukkan ada 75 persen _141 juta orang—penduduk Indonesia yang perokok aktif.
Orang-orang beken yang disurvei itu juga disodori pertanyaan tentang adakah niat mereka untuk stop merokok. Hasilnya, 13 orang menyatakan belum atau tidak mau berhenti merokok. Alasannya beragam. Sebagian segan memulai, sebagian lain keberatan karena sedang menjalani peran sinetron yang mengharuskan mereka menyedot asap tembakau. Sementara itu, 74 orang responden lain menyatakan niat hendak berhenti merokok. Kendati baru tahap keinginan, adanya niat stop merokok ini menandakan para selebriti juga mafhum akan bahaya rokok.
Seperti diketahui, sedikitnya 400 zat kimia terkandung dalam asap nikotin rokok, 19 di antaranya telah dipastikan bersifat karsinogen atau memicu kanker. Penelitian juga menunjukkan ada 25 jenis penyakit yang ditimbulkan oleh asap rokok yang terhirup. Penyakit itu tersebar dari kepala sampai ujung jempol kaki, mulai dari beragam jenis kanker, kegagalan fungsi organ internal, kelainan tumbuh kembang, impotensi, kemandulan, keguguran, mengerutnya sel-sel paru, sampai kemunduran daya ingat. Di Indonesia, 57 ribu nyawa melayang setiap tahun gara-gara asap rokok.
Persoalannya, memahami bahaya rokok tidak membuat para perokok jera. Peringatan risiko kesehatan kerap hanya dianggap angin lalu. Sebagian bahkan menilai rokok sudah merupakan bagian dari gaya hidup. "Enggak merokok itu kesannya kurang gaul," tutur Tjandra menirukan komentar selebriti yang menjadi responden surveinya.
Kesan itu bukan muncul begitu saja. Dunia hiburan di seluruh dunia, bahu-membahu dengan industri rokok, dengan sadar dan gencar menanamkan citra rokok sebagai cermin gaya hidup modern.
Organisasi SmokefreeMovies, disponsori WHO dan Universitas California San Francisco, juga merekam data statistik yang layak disoroti. Dari 25 film besar produksi Amerika tiap tahun, 90 persennya mengekspos penggunaan rokok dan 80 persen menampilkan merek rokok yang kerap diiklankan di media massa. Tidak sedikit pula film yang menyajikan citra menyesatkan rokok sebagai pengusir stres: setiap habis mengisap rokok, sang tokoh selalu tampil jreng, bersemangat, dengan ide-ide yang cemerlang.
Semua tampilan rokok di berbagai film itu tak ada urusannya dengan ihwal kebebasan berekspresi. Tak ada yang gratis di Hollywood. SmokefreeMovies menyebut dokumen autentik tentang aktor film laga Sylvester Stallone, yang dibayar US$ 500 ribu untuk menyuguhkan adegan mengisap rokok merek tertentu dalam lima buah filmnya. Produser License To Kill, 1988, beroleh imbalan US$ 350 ribu untuk menempatkan tokoh Larks yang perokok di film beken serial James Bond ini.
Lebih dari sekadar soal duit dan keuntungan materi, penempatan rokok dalam film sungguh berdampak luas. Penelitian WHO menunjukkan, kecenderungan merokok pada remaja yang mengidolakan selebriti perokok 16 persen lebih tinggi dibanding rekan mereka yang memuja idola non-perokok. Berbekal data inilah WHO tahun ini membidik kalangan selebriti sebagai sasaran kampanye Hari tanpa Tembakau. Kali ini Who menyerukan tema global: Tobacco-Free Films. Tobacco-Free Fashion. Action!
Akankah kampanye ini berhasil? Tentu jawaban menggembirakan tak bakal muncul dalam sesaat. Terutama karena perkawinan antara dunia hiburan dan rokok telah begitu panjang dan mendalam.
Di Indonesia, jumbuhnya industri rokok dan dunia hiburan juga tidak kepalang tanggung. Hampir semua acara besar seperti konser musik, teater, dan festival film disponsori oleh perusahaan rokok. Maklumlah, industri rokok agresif menguras kocek para perokok sehingga sektor ini mampu menyetor cukai untuk negara Rp 27 triliun tiap tahun. Industri rokok yang kaya-raya pun dengan mudah menggoda para artis dengan iklan yang bayarannya menggiurkan.
Grup musik Padi, misalnya, mengaku tidak kuasa menolak iklan yang disodorkan sebuah perusahaan rokok. Soalnya, mereka butuh duit besar untuk menggelar konser musik dari kota ke kota. "Dari mana lagi duit kalau bukan dari perusahaan rokok? Perusahaan lain maunya cuma mau pasang iklan spanduk," kata Satrio Yudhi Wahono alias Piyu, juru bicara Padi (TEMPO, 17 Maret 2003).
Tak hanya Padi, penyanyi muda yang lain, individu maupun band, sadar atau pun tidak juga mendukung produk rokok. Kelompok musik Gigi dan penyanyi Nugie, contohnya, juga mengaransir jingle iklan produk rokok dengan irama rock dan balada yang keren.
Lalu, apa yang mesti kita lakukan?
Dr. Tjandra menyebutkan, saat ini berbagai peraturan sedang didesakkan untuk diberlakukan di Indonesia. Misalnya, larangan merokok bagi mereka yang belum 18 tahun dan aturan penjualan yang lebih ketat. Informasi pada kemasan rokok—seperti light, mild, dan low—juga harus dilarang karena pada dasarnya bahaya semua jenis rokok adalah sama. "Itu informasi menyesatkan," katanya.
Namun, tampaknya kita tak boleh semata bersandar pada peraturan pemerintah. Terlalu sering aturan di negeri ini ditawar dan ditekuk demi kepentingan pengusaha. Gerakan moral seperti kampanye penyadaran mudah-mudahan sanggup mengerem sihir rokok dengan lebih bermakna.
Mardiyah Chamim dan Dewi Retno (TNR)
Perubahan Tubuh Setelah
Berhenti Merokok
20 menit
Tekanan darah dan denyut nadi kembali normal.
8 jam
Kadar oksigen dalam darah kembali normal.
24 jam
Racun karbonmonoksida dalam tubuh mulai dikikis. Paru mengeluarkan lendir (mukus) dan rontokan sel-sel rusak (debris).
48 jam
Nikotin tidak dapat lagi dideteksi dalam tubuh. Kemampuan mencium dan merasa jadi lebih baik.
72 jam
Bernapas lebih lega karena bronkus paru lebih elastis. Level energi mulai meningkat. Sirkulasi darah membaik.
10 tahun
Risiko kanker paru sudah sama seperti non-perokok. Sel-sel rusak pra-kanker sudah digantikan sel-sel normal.