Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kesaksian dari Tiga Zaman Kelam

Sungguh banyak waktu, tenaga, ketekunan, keuletan, dan ketajaman analisis yang telah dikerahkan untuk menyibak teka-teki ini. Begitu banyak kegelisahan, ketegangan, kekecewaan, dan kegembiraan yang telah dilalui sekadar untuk memastikan identitas penulis yang memakai nama samaran Tjamboek Berdoeri dengan kisahnya yang unik: Indonesia dalam Api dan Bara. Itu semua memang tidak sia-sia.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dan buku ini memang unik, tiada duanya, karena ia membedah sepenggal sejarah yang mencakup tiga zaman secara sambung-menyambung dan utuh: bagian akhir kekuasaan kolonial Belanda, periode saudara-tua Dai-Nipon berkuasa untuk membangun Asia Timur Raya, dan awal Revolusi Augustus ’45 dengan "selingan" usaha mendomplengnya administrasi Belanda pada tentara sekutu, plus agresi/aksi polisional Belanda untuk mengembalikan "Je Maintiendrai" (Aku Mempertahankan/ Memelihara) kerajaan belanda atas "Nederlandsch-Indie". Yang dikisahkan dari dan mengenai setiap periode itu bukan sekadar pemberitaan, laporan, atau ulasan jurnalistik biasa, sesuai dengan kelaziman. Tulisan ini sangat berfokus, hasil pengamatan yang tajam dan tuntas, tidak sekadar permukaannya, tetapi benar-benar in depth. Dengan sangat kuat dikesankan bahwa tulisan itu tidak ditulis oleh seseorang yang sekadar menceritakan yang telah ditonton atau disaksikannya. Ia merupakan hasil pengamatan dan penjabaran secara intensif, inklusif, dan partisipatif, namun--dan ini kekuatannya yang istimewa--tanpa menjadi berbias (melenceng arah--bahasa Indonesia: bias) atau bias (berprasangka/ berat sebelah--bahasa Inggris: bias). Ia menggunakan kaidah-kaidah/nilai-nilai secara ketat, konsisten, dan obyektif, tanpa terseret oleh emosi, tanpa menjadi subyektif. Ia berhasil memaparkan situasi dan perubahan/pergeseran yang berfokus pada yang tampaknya remeh tetapi sesungguhnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau arus dasar secara sosial, perilaku (behavioral), etnis, atau golongan masyarakat. Dan jelas karena dirinya sendiri termasuk di dalamnya, penulis itu secara kritis membedah suasana hati dan suasana pikiran (mood/feelings dan state of mind) golongan menengah rata-rata dan terpelajar (khususnya dari sudut pandangan yang berasal dari pendidikan Belanda). Itu pun masih disertai dengan usaha keras menyelami perasaan dan tingkah laku berbagai golongan atau berbagai pangsa masyarakat lain: di bawahnya ataupun yang di atasnya (baik yang rakyat jelata maupun yang elite). Dan semua itu dilengkapi--ini juga salah satu kekuatannya yang penting sekali--dengan rasa humor yang kental, keseimbangan (balanced), sehingga yang dipresentasikan itu menjadi bebas-kedengkian, bebas-dendam dan balas-dendam, tidak berprasangka buruk dan tidak sekadar menghakimi secara sewenang-wenang. Berbagai ulah dan tingkah laku (bahkan harapan-harapan atau keengganan-keengganan) berbagai golongan dan kelompok masyarakat terungkap dalam peristiwa pembentukan Stadswacht (penjaga kota), Covim (organisasi pengerah tenaga wanita), Hua Chiao Feng Kung Hui (Kakyo Shokai), Tokubetsu Kakyo Keibotai, kelembagaan tonarigumi itu. Semua diungkap dengan penuh humor, sangat rinci, dan pemahaman akan berbagai perangai yang berperan. Dengan cemeti setajam sembilu, tetapi tanpa kepahitan tanda pecahnya empedu kedengkian. Jadi, buku ini semacam pencaharan yang menyehatkan. Yang mencengkeram perhatian dan kepedulian penulis khususnya adalah begitu banyak (selalu berulangnya) malapetaka, kengerian, dan penderitaan yang mesti ditanggung oleh golongan etnik Tionghoa dalam berbagai pergantian zaman itu. Teristimewa yang berupa perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, yang terjadi sejak awal revolusi dan memuncak selama gerakan mundur pihak Indonesia yang diserbu dua kali agresi/aksi polisional Belanda. Peristiwa-peristiwa yang menjadi perhatian dan kecemasan penulis terutama adalah yang terjadi di sekitar dan di dalam Kota Malang. Dengan teknik jurnalisme purna dan sebagai vokasi (panggilan hidup), penulis mengungkapkan berbagai peristiwa rasistik dan kejahatan terhadap hidup dan manusia itu, dan dirinya seperti benar-benar berada dan terlibat langsung di tengah-tengah setiap peristiwa itu. Dan, boleh dikata, nyaris semua peristiwa itu dibeberkannya dalam buku itu. Tidak hanya di mana peristiwa itu terjadi, tapi juga jumlah korban, dalam keadaan bagaimana, dan bagaimana pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dan terjadi, diapakan dan bagaimana keadaan para korban itu setelah dihabisi: ditinggalkan/digeletakkan begitu saja, atau cara mereka dikubur, serta apa dan bagaimana (dan oleh siapa) yang dilakukan setelah tempat-tempat kejadian itu dilacak dan ditemukan. Dalam buku itu dipaparkan begitu banyak data, sehingga orang sekarang, termasuk para keluarga korban-korban itu, berkesempatan--dan dimungkinkan--mengangkat kembali peristiwa-peristiwa penuh kekelaman yang masih merupakan setengah-misteri dan setengah-tabu itu. Ada usaha untuk menyelesaikannya sesuai dengan kepentingan, kewajiban, adat bagi keluarga, atau siapa pun yang ditinggalkan oleh para korban. Tapi penulis tetap setia pada langkahnya. Ada bagian dengan tipifikasi yang tepat sekali mengenai "Djamino" dan "Djoliteng", yaitu golongan gepeupel (penulis menggolongkan ini sebagai massa, padahal lebih tepatnya adalah mob, gerombolan, yang ikut-ikutan dalam kekacauan/kerusuhan, tetapi "tidak jahat") dan golongan gespuis (disebut penulis sebagai "sampah masyarakat", tepatnya scum, gerombolan penjahat, pembuat kerusuhan/kekacauan, dan melakukan kejahatan dalam semua bentuk dan eksesnya.) Golongan-golongan masyarakat ini memang ada dan dialami pada setiap pergantian zaman itu. Hal lain yang kurang dibuka dalam buku ini ialah peristiwa-peristiwa pembakaran, perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan, dan sebagainya. Padahal itu tidak hanya terjadi di tempat-tempat yang menjadi pusat perhatian penulis, yaitu di Kota Malang dan sekitarnya. Jauh-jauh hari, bahkan sejak masuknya bala tentara Dai-Nipon tanpa perlawanan berarti dari tentara Belanda dan awal revolusi, bersama dengan kembalinya tentara Belanda yang mendompleng pendaratan tentara sekutu, di sepanjang pantai utara terjadilah berbagai peristiwa penggusuran etnis Tionghoa (yang memang belum jelas duduk status kewarganegaraannya): perampokan, pembunuhan, dan segala penganiayaan lainnya. Rangkaian peristiwa itu berakhir dengan eksodus besar-besaran dari tempat-tempat tinggal di pantai utara itu ke arah selatan. Yang penting di catat di sini, dan yang agaknya terlewatkan oleh Tjamboek Berdoeri, adalah kenyataan bahwa penghadangan, perampokan, dan pembunuhan terjadi pula di tengah jalan gelombang eksodus itu. Dan menghadapi ini, tidak cuma terjadi kebungkaman, ketidakberdayaan, dan pembiaran. Di samping kepedulian dan kecemasan mendalam yang diungkapkan oleh Tjamboek Berdoeri, telah dilakukan juga usaha-usaha yang berani dan penuh risiko oleh sejumlah tokoh. Di antaranya tokoh-tokoh Kota Malang seperti a.l. Siauw bersaudara (Siauw Giok Tjhan dan Siauw Giok Bie), yang berinisiatif menemui para tokoh perjuangan kemerdekaan seperti Soetomo (sosok yang dengan Allahu Akbar-nya yang menggelegar menyemangati para pejuang, terutama di Jawa Timur) dan mendesak diambilnya berbagai tindakan untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan tidak berperikemanusiaan yang justru merugikan dan mendiskreditkan revolusi itu. Hingga seberapa jauh inisiatif itu membuahkan hasil, di zaman sekarang tersedia berbagai bahan untuk menyelidiki dan menilainya. Buku ini diterbitkan (sesuai dengan rencana) dengan kata pengantar Ben Anderson yang panjangnya tidak kurang dari 60 halaman, ditambah juga dengan semacam introduksi Arief W. Jati kurang-lebih 26 halaman, dan sebuah pengantar lagi dari Stanley Adi Prasetyo yang secara tuntas melengkapkan (dan mendokumentasikan) bagian besar riwayat hidup dan riwayat kerja sang penulis, Tjamboek Berdoeri--Kwee Thiam Tjing. Yang masih menjadi ganjalan adalah bahwa seluruh buku ini--termasuk kata-kata pengantarnya--diterbitkan dalam bahasa "asli" si penulis asli, yaitu dengan gaya Melayu-Tionghoa, ejaan yang dipakai pada penulisan tahun 1947, dan di sana-sini masih dipakai ungkapan-ungkapan bahasa Belanda, bahasa Belanda-Indo. Agaknya, editor dan penerbit mengalah pada desakan kuat dan bagaikan terobsesi dari Ben Anderson, yang sedemikian terpukau dan terpikat oleh gaya, bahasa, dan orisinalitas tulisan itu. Penerbitan dalam bentuk dan gaya seperti itu khususnya berguna dan memenuhi "syarat-syarat" bagi suatu penelitian ilmiah atau mengenai orisinalitas suatu masa. Tetapi, bagaimanapun, yang selayaknya lebih dipentingkan adalah manfaat bagi lingkungan luas pembaca. Penerbitan sebagaimana adanya sekarang merupakan suatu beban bagi pembaca pada umumnya. Seakan-akan pembaca umumnya itu diharuskan memakai dua pasang (kalau tidak lebih!) kacamata baca. Sepasang kacamata untuk membaca keseluruhan buku, dan sepasang lagi untuk menerjemahkan (juga keseluruhan buku!) gaya bahasa/penulisan dan ejaan lama itu. H.D. Oey, penerjemah, warga senior Kota Malang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus