GISELA Iftitah Nurcahyaning memang sudah tak lagi menghirup udara bumi ini. Namun kisahnya masih menjadi perbincangan di Desa Ketapang, Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur. Di desa inilah Gisela, 15 September lalu, lahir dengan keadaan amat tak lazim. Perut sang bayi punya jendela alias tidak tertutup sempurna. Akibatnya, sebagian usus Gisela terjuntai mengintip dunia luar.
Fitri Handayani, 19 tahun, dan Syamsul Hidayat, 27 tahun, orang tua Gisela, kontan masygul menyaksikan kemalangan buah hati pertama mereka itu. Bergegas mereka mengusung si upik yang lahir prematur, 8 bulan, ini ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Blambangan, Banyuwangi, guna mendapat penanganan medis yang lebih memadai.
Namun gundah di hati Fitri dan Syamsul kian menggunung saat dokter menganjurkan agar Gisela segera dioperasi. "Saya ndak tega, mosok bayi baru lahir langsung perutnya dibedah," kata Syamsul. Lelaki yang berdagang asongan di Pelabuhan Gilimanuk ini baru mengizinkan dokter mereparasi perut putrinya tiga hari kemudian.
Adalah Abdul Hanan, dokter spesialis bedah anak di RSUD Blambangan, yang memimpin operasi Gisela. "Ini tergolong operasi sulit," kata Hanan, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Maklumlah, pasien masih teramat kecil dan rentan. Umurnya baru tiga hari dengan bobot 3,2 kilogram. Apalagi si bayi dideteksi mengalami kesulitan bernapas yang serius lantaran pertumbuhan organ internal—terutama paru-paru—yang kurang sempurna. Walhasil, pasokan oksigen, cairan infus, dan transfusi darah mutlak diperhitungkan dengan amat cermat. Sementara itu, sepanjang operasi berlangsung, tubuh si upik selalu dibalut selimut hangat untuk mencegah dehidrasi atau penguapan cairan tubuh.
Singkat kata, operasi dimulai. Celah yang ada di perut Gisela dilebarkan, 3 sentimeter ke atas dan 5 sentimeter ke samping. Dinding perut kiri dan kanan juga sedikit dibelah untuk memperlebar rongga perut. Berikutnya, usus yang terjuntai dimasukkan dan ditempatkan pada posisi yang semestinya. Pada waktu itu, menurut Hanan, operasi berlangsung cukup lancar. Seusai pembedahan yang bertempo 45 menit itu, Gisela segera diboyong ke ruangan khusus neonatus (bayi baru lahir) dengan suhu 37 derajat Celsius. Harapan akan hidup Gisela sempat mengangkasa.
Tapi kabar baik tak bertahan lama. Sehari kemudian, Gisela mengalami kesulitan bernapas yang cukup serius hingga akhirnya semua organ tubuhnya gagal berfungsi. Napas yang cuma sesekali itu pun berhenti total. Gisela meninggal.
Perjuangan Gisela, menurut Hanan, memang tak gampang. Bayi kecil ini mengalami hal yang disebut gastroschisis, sebuah kejadian yang amat langka dengan probabilitas 1 di antara 5.000 kelahiran. "Bayi seperti ini tak sanggup bertahan lama," katanya," paling banter hanya dua minggu."
Tapi apa sebetulnya gastroschisis?
Piprim Yuniarso, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, memberikan penjelasan. Secara garis besar, gastroskisis adalah situasi yang muncul lantaran kegagalan pembentukan organ pencernaan semasa janin masih di dalam kandungan. Rongga perut terlalu sempit serta ada jendela terbuka di kanan pusar janin—panjang celah sekitar 3 sentimeter—yang membuat usus terburai keluar. Sebagian usus, terkadang juga separuh lambung, yang terjuntai jadi terendam air ketuban di rahim sang ibu.
Memang, seperti yang dialami Gisela, operasi bisa digelar untuk menempatkan usus yang terburai pada posisi yang layak. Namun tindakan ini juga punya konsekuensi yang tidak enteng. Usus yang dijejalkan masuk tadi mendesak paru-paru dan membuat bayi susah bernapas. Si bayi juga mengalami kesulitan mencerna gara-gara usus telah lama terendam air ketuban hingga menjadi kaku. Belum lagi kemungkinan adanya infeksi gerombolan kuman pada usus yang sempat terburai tadi. Walhasil, lengkap sudah kendala buat meneruskan kehidupan bagi seorang bayi gastroskisis.
Adakah jurus mencegah kondisi yang tragis ini? Sayang, dunia kedokteran belum punya jawaban memuaskan. Piprim mengakui, sejauh ini para ahli belum mengetahui penyebab kekacauan organogenesis (pembentukan organ) pencernaan ini. Mungkin saja sang ibu mengonsumsi obat atau jamu yang berlebihan semasa trimester pertama kehamilan. Ada pula dugaan bahwa usia ibu yang terlalu belia turut mempengaruhi munculnya gastroskisis. Tapi semua dugaan ini pun belum mendapatkan landasan bukti kukuh. "Kita belum tahu pasti penyebabnya dan otomatis juga belum tahu pencegahannya," kata Piprim.
Hanya, Piprim kurang sepakat bila dikatakan bayi gastroskisis tak bisa bertahan hidup lebih dari dua pekan. Bayi yang senasib dengan Gisela bisa ditolong dan hidup sampai dewasa. Syaratnya, pertolongan medis mesti dilakukan di sentra perawatan bayi baru lahir yang komplet dan berteknologi tinggi dengan standar negara maju. "Jadi, ini memang bukan porsi rumah sakit daerah," katanya.
Sebuah artikel di situs internet Rumah Sakit Anak Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, misalnya, layak disimak. Pertanda gastroskisis, menurut situs ini, bisa dideteksi dengan alat ultrasound sejak kehamilan berusia 14 minggu. Alat ultrasound ini juga sanggup mendeteksi ukuran celah dinding perut yang akan terjadi dan seberapa banyak usus yang akan terburai keluar.
Begitu seorang ibu dipastikan mengandung bayi gastroskisis, pemeriksaan rutin dan intensif amat dibutuhkan. Sorotan terutama ditujukan untuk melihat apakah paru-paru si bayi berkembang normal. Jika paru-paru relatif normal, pada kehamilan 36 minggu, dokter segera bersiap melakukan operasi bedah caesar. Proses persalinan biasa tidak dianjurkan karena risiko adanya infeksi kuman saat bayi melewati jalur pintu lahir normal.
Langkah pertama, bayi dibungkus dengan plastik silikon atau kertas timah untuk mencegah penguapan cairan dari bagian tubuh yang terbuka. Kemudian, dalam rentang 12 sampai 24 jam, operasi mutlak dilakukan. Tak boleh buang waktu, apalagi sampai mengulur tiga hari seperti yang dialami Gisela.
Ketika operasi usai, pemantauan kondisi bayi tak boleh surut. Berbagai kelainan, misalnya kekurangan vitamin dan mineral, pencernaan tak normal, dan kesulitan bernapas harus diantisipasi dengan baik agar si bayi sangup melewati masa kritis. Menurut catatan James Glasser, ahli bedah anak di University of Southern Carolina, AS, penanganan pasca-operasi yang baik saat ini telah menggenjot kesempatan hidup bayi gastroskisis sampai 90 persen. Sebagai perbandingan, pada 1960-an, harapan hidup bagi mereka hanya sampai 60 persen.
Persoalannya, untuk bayi gastroskisis, melampaui masa kritis saja belum cukup. Sepanjang hidup, dan bila sanggup mencapai dewasa, mereka tak boleh jauh dari pusat perawatan medis. Setiap saat mereka bisa menuai problem kesehatan yang serius. Maklum, organ internalnya sudah tak sempurna sedari awal.
Mardiyah Chamim, Bibin Bintardi (Tempo News Room, Banyuwangi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini