Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Anak Jendral Menulis Kisah

Tragedi Gerakan 30 September genap 37 tahun. Pekan lalu, anak-anak dari enam jenderal Angkatan Darat yang terbunuh dalam peristiwa itu meluncurkan buku berjudul Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam untuk mengenang peristiwa berdarah di masa silam tersebut. Inilah rekaman pengalaman mereka yang dramatis selama sepekan yang menegangkan itu (28 September-5 Oktober 1965). Miskin konteks, buku yang berpretensi meluruskan sejarah ini menyandarkan isinya semata-mata pada cerita pandangan mata.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serombongan tentara berlari dengan entakan suara sepatu lars yang berderak pada sebuah pagi buta. Di sebuah rumah di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, mereka berteriak, "Mana Nasution? Mana Nasution?" Di rumah yang lain, pada saat hampir bersamaan, mereka beradu argumen dengan pemilik rumah. "Jenderal harus menghadap Presiden Sukarno sekarang!" Yang diminta membantah. Lalu, senapan menyalak dan sang jenderal tersungkur bersimbah darah. Enam jenderal dan seorang perwira menengah tewas di depan rumah mereka atau di sebuah hutan karet di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Adegan di atas—yang melukiskan pembunuhan sejumlah jenderal pada 30 September 1965 dalam film Pengkhianatan G30S/PKI—mungkin sudah kita hafal setiap detailnya. Dulu, di masa Soeharto berkuasa, film itu diputar setiap tahun. Dan detail-detail itu hadir, boleh jadi membuat haru. Tapi kemudian nyaris dilupakan karena menjadi rutin dan membosankan. "Banyak yang melupakan peristiwa itu," kata Yanti Nasution, putri Jenderal A.H. Nasution, perwira yang selamat dari tragedi itu. "Kami pernah menanyai anak sekolah tentang siapa pahlawan revolusi kita. Mereka tak bisa menjawab dengan lengkap," ia melanjutkan. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) memang sudah puluhan tahun lewat. Inilah masa ketika darah tumpah menjelang peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada 1965. Seolah mulai dilupakan setelah reformasi, tragedi itu dibicarakan sebagian orang dengan berbagai versi. "Tapi tidak semuanya benar," kata Amelia Yani. Putri almarhum Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani ini adalah salah satu korban G30S. Salah satu versi disiarkan oleh sebuah stasiun televisi, September tahun lalu. Tersebutlah Bachrum, yang mengaku sebagai seorang prajurit marinir. Dia mengatakan kondisi jenazah tujuh perwira Angkatan Darat yang tewas itu dalam keadaan utuh. Artinya, tanpa bekas-bekas penyiksaan, seperti yang dipercaya orang selama ini. "Lo, dari rumah, ayah kami sudah disiksa. Kok, dibilang tidak ada penyiksaan," kata Amelia. Versi semacam itulah yang kini digugat keluarga para jenderal revolusi. Senin pekan lalu, mereka melansir buku berjudul Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam. Ini sebuah buku hasil kerja keroyokan anak-anak enam jenderal minus Pierre Tendean—yang memang masih bujangan saat dibunuh. Mereka adalah keluarga Letjen Ahmad Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Brigjen D.I. Pandjaitan, Brigjen Soetoyo Siswomihardjo, dan Mayjen S. Parman. Selain itu, mereka juga menambahkan keterangan dari tiga perwira militer untuk melengkapi cerita—terutama pada periode penggalian jenazah dan sesudahnya. Ketiga perwira itu adalah Mayor Subardi (ajudan Ahmad Yani), Letnan Satu Angkatan Laut Mispan Soetarto (orang yang memimpin penggalian jenazah), dan prajurit polisi Sukitman. Yang terakhir adalah polisi yang ikut diciduk ke Lubang Buaya tapi kemudian dibebaskan oleh para penculik. Disiapkan selama empat bulan, buku ini pada tahap pertama akan dicetak 3.000 eksemplar dan akan dijual serta dibagikan kepada anak-anak sekolah. Sejatinya, ini buku yang menarik. Seperti diungkapkan Amelia, Kunang-Kunang menfokuskan cerita pada periode 28 September hingga 5 Oktober 1965 (lihat Ada Upaya Melupakan G30S). Inilah masa yang dialami sendiri oleh mereka, yang ketika itu berusia 4 hingga 20 tahun. "Kami berkonsentrasi pada sisi kemanusiaan, apa yang terjadi dan apa yang kami alami. Kami tak berpretensi membuat opini," kata Agus Widjojo, anak Brigjen Soetoyo Siswomiharjo, yang sekarang menjadi Ketua Fraksi TNI/Polri di MPR. Yang muncul kemudian adalah sebuah drama yang mengharukan—meski tak sepenuhnya baru. Pada malam nahas itu, misalnya, keluarga Ahmad Yani tak tahu apa yang terjadi. Tentang siapa yang menculik Yani, dalam buku itu tertulis, "Mereka menggunakan seragam Cakrabirawa. Kelompok bersepatu rapi dan bersenjata lengkap. Di belakang mereka mengekor serombongan tentara yang tak beralas kaki alias nyeker." Anak-anak memang masih kecil atau remaja ketika itu. Eddy, putra Yani, baru berusia tujuh tahun. Amelia dan Emmy masih berumur belasan. Masalah politik umumnya asing di telinga anak-anak tersebut. Yanti Nasution mengaku tak pernah membicarakan politik di dalam keluarga. Dari berita-berita di media massa, ia memang tahu bahwa ada hubungan yang buruk antara tentara dan PKI. Tapi hal itu tak pernah dibicarakan secara terbuka. Ada peristiwa yang mengonfirmasi perseteruan ayah Yanti dengan Aidit, pemimpin PKI ketika itu. Pada 28 September 1965, Nasution bercerita bahwa ia baru saja berfoto bersama Aidit di Istana Negara. Secara bercanda, Aidit bertanya lencana mana di dada Nasution yang menunjukkan perannya dalam pembasmian pemberontakan PKI Madiun. Nasution menunjuk salah satu. Aidit tertawa dan ia meminta wartawan memotret mereka berdua. Sejarah mencatat, Aidit adalah anggota Politbiro PKI ketika peristiwa Madiun meletus. Bersama Lukman, anggota PKI lainnya, ia melarikan diri ke Cina dan Vietnam ketika itu dan baru kembali pada 1950. Mendengar cerita itu, Ibu Nas marah, "Mengapa mau difoto bersama Aidit? Dia kan membenci ayah." Yanti yang lugu baru sadar, "Inilah untuk pertama kalinya nama Aidit terselip dalam dialog Ayah dan Ibu," katanya. Beberapa bagian dari buku ini memang menunjukkan detail yang menarik. Pada subuh pembunuhan itu, misalnya, terungkap bahwa Nyonya Ahmad Yani tak berada di rumah bersama suaminya. Ia "mengungsi" ke rumah dinas Ahmad Yani yang berada di Jalan Taman Suropati. Sehari-hari keluarga itu tinggal di rumah pribadi mereka juga di Menteng—kedua rumah itu terletak di kawasan Jakarta Pusat. Alasan yang disampaikan kepada keluarga adalah karena ia ingin menyepi semalaman (melekan) menyambut hari ulang tahunnya, yang jatuh pada 1 Oktober. Nyonya Yani memang penganut kebudayaan Jawa yang taat. Tapi keluarga tahu bahwa itu bukan satu-satunya alasan. Sudah lama sebenarnya Ahmad Yani dan istrinya tak akur karena adanya orang ketiga dalam perkawinan mereka. Nyonya Yani sering mengeluh atas perilaku suaminya (lihat Antara Lenso dan Warung Pinggir Jalan). Baru setelah subuh, sang Ibu kembali ke rumah dan menemukan anak-anaknya bertangisan meratapi kepergian ayah mereka. Menurut Amelia, bagian ini dimasukkan ke buku untuk menjawab keingintahuan orang banyak. "Banyak pelayat yang bertanya-tanya mengapa Ibu tak ada di rumah ketika Bapak meninggal," katanya. Drama pembunuhan yang dipaparkan dalam buku itu tak banyak berbeda dengan apa yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C. Noer. Ini masuk akal, karena almarhum Arifin memang mewawancarai keluarga para jenderal itu ketika mempersiapkan film kolosal tersebut. Menurut Willem Syukur, salah seorang anggota tim penulis buku Kunang-Kunang, ia memang tak mendapat kendala yang berarti ketika mengumpulkan data. Sebagian besar anak jenderal memberi keterangan yang jelas dan detail. "Mereka mengungkapkannya dengan emosional, terutama keluaga D.I. Pandjaitan. Catryn Pandjaitan yang paling traumatis. Hingga kini ia masih menjalani terapi (psikologis)," kata Willem. Catryn adalah putri sulung Pandjaitan yang menyaksikan bagaimana di halaman rumah mereka isi kepala ayahnya terburai diterjang peluru para penculik. Persoalannya, bisakah buku ini mengklarifikasi sejumlah persoalan seperti yang mereka niatkan sebelumnya. Tidak selalu (lihat Kesaksian atau Post-Factum?). Meski di dalam buku tidak digambarkan terlalu tegas, Amelia Yani meyakini terjadi penyiksaan berat kepada para jenderal di Lubang Buaya. Sebagian jenderal, misalnya, ditemukan tanpa alat kelamin. "Saya lihat fotonya di Lubang Buaya. Pada alat kelamin mereka ada semacam irisan yang rapi dan di dalam penis itu ada semacam selang putih," kata Amelia. Dia juga percaya bola mata para jenderal hilang karena penganiayaan. Tapi keterangan itu ditolak oleh Lim Joe Thay, dokter Universitas Indonesia yang menjadi anggota tim forensik jenazah (lihat Sebuah Visum 37 Tahun yang Lalu). Menurut Lim, tak ada jenderal yang kemaluannya dipotong, tak ada pula pencungkilan mata. Bola mata jenazah memang mengempis atau hilang, tapi itu disebabkan oleh pembusukan. "Kami memeriksa tulang tengkorak mereka. Tak ada bekas pencungkilan," kata Lim. Keterangan agen polisi Sukitman tak memperkuat argumen pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin tersebut. "Saya mendengar gerombolan itu berbicara, 'Pak Yani wis dipateni (sudah dibunuh). Pak Yani wis dipateni.' Saya juga melihat sejumlah jenderal yang diculik ditembaki dan dimasukkan ke sumur tua," kata Sukitman kepada Adi Prasetya dari TEMPO. Sukitman tak bisa memastikan soal kekejian yang lebih detail. Kalaupun mau disebut penyiksaan, visum et repertum (Tim Iqra TEMPO menyimpan kopi visum tersebut) para dokter menyebutkan para jenderal dipukul oleh benda tumpul, ditusuk, atau ditembak dari jarak dekat. Dalam artikelnya, How did the Generals Die (Jurnal Indonesia No. 43, April 1987), Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, mengatakan dramatisasi pembunuhan jenderal revolusi adalah bentuk propaganda yang dilakukan oleh Angkatan Darat. Koran Berita Yudha, yang dimiliki tentara, misalnya. Pada edisi 9 Oktober 1965, harian itu menulis bahwa mata Tendean dicungkil (lihat Satu Peristiwa, Banyak Ceritera). Tendean juga disebutkan menjadi sasaran latihan tembak oleh para anggota Gerwani. Pada edisi 20 Oktober 1965, harian Api Pancasila menurunkan berita yang menyebutkan telah ditemukan alat pencungkil mata para jenderal di sebuah desa di wilayah Garut, Jawa Barat. Gugatan buku anak jenderal revolusi bahwa keluarga mereka telah difitnah karena dianggap hidup mewah dan berfoya-foya juga gugur justru karena deskripsi dalam buku ini sendiri. Keluarga Yani, misalnya, mengaku bahwa mereka hidup "berbeda" dengan orang kebanyakan. Pernah suatu hari Menteri Panglima Angkatan Darat itu bercanda dengan anak-anak hingga menumpahkan parfum di meja bar di rumah. Yani mengelap sisa parfum dan mengusapkannya ke baju anak-anak. Meja bar tentu saja hanya dimiliki oleh orang istimewa di Indonesia ketika itu. Dalam buku itu juga disebutkan almarhum Ahmad Yani kerap bermain golf, salah satunya dengan pengusaha Bob Hasan (lihat Antara Lenso dan Warung Pinggir Jalan). Tak semua jenderal memang bermewah-mewah. Ibu M.T. Haryono terpaksa harus berjualan anggrek untuk menambah uang makan. "Ibu menjual bunga kesukaan Bapak secara diam-diam. Bapak tahu, tapi ia diam saja karena ia tahu Ibu terpaksa melakukan itu untuk makan," kata Rianto Nurhadi, putra ketiga Mayjen M.T. Haryono. Tentu saja buku ini tak sepenuhnya bisa dibilang gagal. Anggota keluarga memang cukup jeli untuk membatasi rentang waktu deskripsi mereka hanya pada sepekan tragedi yang mereka alami sendiri. Mereka tak ingin terperangkap pada persoalan yang tidak secara langsung mereka lihat. Nah, persoalan muncul tatkala Amelia dan kawan-kawan berpretensi untuk meluruskan sejarah dan membantah sejumlah fakta yang dikemukakan penulis lain—sesuatu yang membutuhkan informasi tambahan dan tidak sekadar kesaksian pandangan mata. Dengan kata lain, buku ini mendua: ingin menjadi mesiah yang menyampaikan kebenaran, tapi menolak masuk ke kancah perdebatan yang lebih luas. Itulah sebabnya Kunang-Kunang jadi miskin konteks. Sejumlah isu krusial juga tak muncul. Misalnya tentang konflik internal Angkatan Darat, peran Soeharto, isu Dewan Jenderal, dan peran Amerika (CIA), yang disebut-sebut berada di belakang Angkatan Darat dalam melawan pengaruh komunis. Keterangan ini sebetulnya dibutuhkan untuk memperkuat argumen yang diyakini anak-anak para pahlawan revolusi itu, bahwa ayah mereka adalah "korban" dan bukan bagian dari konstelasi politik yang terjadi ketika itu. "Lubang" ini bukan tak disadari oleh tim penulis. "Mereka menghindar ketika ditanya soal tersebut," kata Willem Syukur. Walhasil, Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam menjadi buku yang serba tanggung. Sebagai sebuah "penuturan pribadi", buku ini boleh jadi akan berhasil menggugah pembaca tentang kengerian peristiwa Gerakan 30 September. Tapi tidak lebih. Tragedi itu sudah 37 tahun berlalu. Tapi, sepanjang sejarahnya, G30S tampaknya akan terus menjadi peristiwa yang tak pernah berhenti ditafsirkan orang. Arif Zulkifli, Dwi Arjanto, Iwan Setiawan, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus