Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kisah Nuhono & Phan Ian Ing & ...

Kisah cinta beberapa pasangan yang membawa ke pernikahan campuran antara pribumi dengan non pribumi. antara lain: nuhono dan phan lan ing.

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUHONO Utomo, yang menduda di Semarang sejak tahun 1966, menemukan cinta di Pasar Peterongan. Sejak istrinya meninggal, kedua anaknya tidak bisa lagi menyebut kata "mami". Ia merasa hidup bagaikan berulam jantung. Syahdan, darahnya tersirap ketika menatap seorang perawan Cina yang membantu tantenya jualan bakmi. Sejak itu ia rajin lewat dengan sepeda atau jalan kaki di depan restoran itu. "Minimal enam kali sehari," ujarnya. Perawan itu bernama Phan Lan Ing. Ia mula-mula tak menggubris debar jantung Nuhono (yang memang tak sampai ke telinganya). Bahkan ia memberikan nama ejekan kepada duda itu Si Nasi Goreng, karena duda itu sering lewat bersama penjual nasi goreng. "Saya juga diledek oleh kawan-kawan saya, bahwa saya tak bakal . bisa menyunting si Ing," kata Nuhono mengenang. Ejekan tersebut justru membuat duda ini penasaran. Cintanya makin menyala, seperti api nasi goreng. Nuhono kemudian putar otak. la menulis sebuah surat dengan nama Cina. Isinya seakan-akan ia sudah lama menyambung asmara dengan Ing. Buntutnya: keluarga Ing geger. Gadis itu dilarang ke luar rumah. Yang sangat mengherankan, Ing kemudian dengan nekat menghubungi Nuhono. Ia mendamprat habis-habisan. Tapi kemudian minta ketegasan. Nuhono mau mengawininya atau tidak. Waktu itu Nuhono keplok keras dalam hati. Ia sanggup, walaupun papah Ing tetap menolak. Dengan persetujuan dari mamah Ing, pernikahan dilangsungkan di masjid, tahun 1970, tanpa dihadiri oleh papah Ing. Gadis lulusan SP itu dengan pasih mengucapkan kalimat syahadat. Konflik dengan papa Ing kemudian pupus setelah lahir anak pertama tahun 1971. Anak lelaki itu diberi nama Sukarno Khan --pcrpaduan dari "Sukarno" dan "Jenghis khan". Anak kedua juga lelaki diberi nama Azimuth Nagajayawardhana. "Nama ini berlatar belakang sejarah Majapahit. Ingat ada pasukan Tiongkok ke Jawa Timur di zaman itu," kata Nuhono. Menikah dengan perawan Ing (yang kini ganti nama jadi Rosetianingrum), bagi Nuhono menguntungkan. Lelaki yang berusia 43 rahun itu memberi contoh. Di tahun 1971 ada keharusan "monoloyalitas". Sebagai seorang pegawainegeri ia jadi kikuk karena ia juga akivis partai PNI (kemudian lebur dalam PDI). Akhirnya istrinya memberikan pandangan. "Lihat Cina-Cina itu, tak ada yang jadi pegawai negeri, malah punya rumah di pinggir jalan besar," ujarnya. Dengan semangat itu kemudian Nuhono menolak surat kepalanya untuk mematuhi "monoloyalitas". Tapi nyatanya ia tidak diberhentikan. Dorongan lain juga muncul dari sang istri dalam membenahi ekonomi keluarga. "Lihat itu Cina-Gna, musim rafia, makan rafia, musim plastik makan plastik," kata istrinya. Nasihat itu kemudian menggerakkan hari politikus ini untuk berdagang. Suksesnya tidak jelek. Tentu saja buntut jeleknya ada juga. Ketika terjadi huru-hara anti Cina di Semarang bulan lalu, misalnya, Nuhono merasa kepepet. Ia langsung menurunkan insrruksi agar warga PDI Semarang tidak rerIibat dalam kerusuhan tcrsebut. "Mungkin dalam hati orangorang saya itu timbul curiga bahwa saya akan melindungi Cina karena istri saya Cina," kata Nuhono. Anehnnya, ia kemudian dipanggil oleh yang berwajib -- disangka memberi instruksi agar anggota PDI suraya terlibat secara aktif. Radio BBC sempat memberitakan pemanggilan itu. "Saya benar-benar merasa kepepet jadinya," keluh Nuhono. Bicara soal pembauran, Nuhono merasa hal tersebut akan efektif lewat Lembaga pendidikan. Kedua anaknya yang baru. misalnya, kini bersekolah di SD dan SMP Kesatryan -- sekolah yang dulu khusus Cina tapi kini sudah berhasil dibaurkan. "Harus tak boleh lagi ada sekolah khusus Cina," kata Nuhono. Ia juga menyerukan agar keturunan Cina rela melepas gadis-gadisnya disunting golongan pribumi. "Dan pribumi jangan lagi men-Cina-Cina-kan Cina," katanya. Di Sala terjadi sebaliknya. Ada Theo Kim Tin, 63 tahun, yang kini bernama Tino mempersunting Mukinem, 35 tahun, sejak 10 tahun yang lalu. Tino yang biasa dipanggil Bah Dongo--karena dia punya Warung Dongo --punya alasan kuat mengapa memetik kembang pribumi. "Tujuannya bukan mencari sensasi seks, tapi untuk upaya mencari ketenteraman hidup dalam rezeki," katanya dengan sungguh-sungguh. Pernikahannya itu membuahkan seorang putri. Umurnya 2,5 rahun. Namanya Erni Setiawati. Bah Dongo bukan kelas "nonpri" kaya. Hidupnya melara. Ia pernah jadi tukang cat, kondektur, buruh dan penjaga toko. Pernah berusaha bebas dari kaki majikan dan berusaha sendiri, tapi terus menerus kandas. "Seperti kena sumpah, usaha saya seret," katanya. Waktu itu ia sudah memperistrikan Kim Yan Nyo dan punya enam anak. Akhirnya ia menjual wedang dongo di pinggir jalan Slamet Riyadi. Karena daerah itu terlarang untuk berjualan, tiap hari ia dag-dig-dug, main kucing-kucingan dengan polisi. Sebagai penjual wedang dongo, hidup Tino juga sulit. Pada suatu hari ia dilarang jualan. Akhirnya dia merenung,mungkin pernikahannya yang tidak cocok. Ia mendapat pikiran untuk mengawini seorang wanita Jawa. Kata orang, banyak rezekinya. Tetapi siapa mempelainya? Tino berpikir keras. Saat itu hari sudah malam, istrinya sudah tidur. Ia keluar mencari udara segar. Di antara udara segar itu pembantunya. "Saya ikut prihatin sama kamu sah, tadi kita tak boleh jualan. Bah Theo kan rugi jadinya," kata pembantunya itu. Tegur sapa itu menyentuh hati Tino. Sejak malam itu wanita yang memanggilnya "babah" itu terus diperharikannya. Pada suatu ketika ia merayudan berhasil. Ah, Mukinem. "Ia jadi istri saya yang sah karena kawin secara sah pula menurut cara hukum Islam," kata Tino. Istri pertama Tino sebenarnya tidak setuju. Sudah dijelaskan, masih juga ia menentang. Tapi toh akhirnya menyerah dengan hati pedih. Kepedihan itu belakangan mungkin sedikit cair, karena setelah hidup dengan Mukinem, re7.eki Tino membaik. Wedang dongonya mulai dapat pasaran. Sekarang timbul soal, apa sebabnya Mukinem mau dengan majikannya yang beda usia 25 tahun itu? "Saya juga cinta. Hati saya mantap. Ya, ini merupakan takdir yang mesti kuterima dan kujalani," kata Mukinem. Tino kini hidup tenteram. Sudah punya motor Yamaha baru. Kepada istri tuanya ia pun tak lupa. Segala kebutuhannya ia penuhi, sebagaimana ia merawat Mukinem. Yan Nyo pun tak banyak tingkah. Walhasil di rumah Tino, 2 istri itu tak pernah cekcok. Hanya dalam keributan bulan lalu, rumahnya dilempari batu. Ia ketakutan, naik loteng dan berdoa. Kemudian Mukinem, sambil memapah anaknya, berdiri di mulut pintu. "Di sini rumah Jawa, lho, mas," katanya dengan suara gemetar pada para demonstran. Rumahnya pun selamat. Masih Gelap Di Kudus, Jawa Tengah, Oei Gin Nio, 37 tahun, yang menikah dengan Turmudi, 36 tahun, pada tahun 1971, sempat dikucilkan oleh keluarganya. Wanita yang kini bernama Giniwati itu baru berbaik lagi dengan orang tuanya setelah mengalah-ngalah, dan terutama setelah punya anak satu. Belakangan suaminya mengetahui, kenapa mertuanya, Oei Tiauw Goen, 55 tahun, tak menyukai pribumi. "Orang Jawa dinilai suka kawin dan main cerai, mereka takut kalau anaknya telantar," katanya. Haji Toha, pedagang tembakau yang memperistrikan Oh Lon Kiauw (kini Siti Fatimah) membenarkan. "Kebanyakan mereka tak tahu tata cara orang Islam atau pribumi di dalam ikatan pernikahan," kata haji itu. Keluarga isrtinya juga dulu khawatir kalau-kalau Oh Lon Kiauw dipermainkan, lalu menuntut agar pernikahan menurut Catatan Sipil saja. Setelah diberi penerangan, tuntutan tak dilanjutkan. Di daerah Kudus sebenarnya hidup bersama antara lelaki keturunan Cina dan wanita pribumi--sampai memiliki anak--cukup banyak. Tapi baru sedikit yang tercatat secara resmi. "Kira-kira dua-di antara 1000 yang tercatat," kata Kepala Kantor Catatan Sipil Pemda Kudus. Jadi usaha berbaur sebenarnya sudah dilaksanakan, tetapi masih gelap. Jadi masih ditunggu rupanya keadaan Habis gelap, terbitlah terang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus