NUHONO Utomo, yang menduda di Semarang sejak tahun 1966,
menemukan cinta di Pasar Peterongan. Sejak istrinya meninggal,
kedua anaknya tidak bisa lagi menyebut kata "mami". Ia merasa
hidup bagaikan berulam jantung. Syahdan, darahnya tersirap
ketika menatap seorang perawan Cina yang membantu tantenya
jualan bakmi. Sejak itu ia rajin lewat dengan sepeda atau jalan
kaki di depan restoran itu. "Minimal enam kali sehari," ujarnya.
Perawan itu bernama Phan Lan Ing. Ia mula-mula tak
menggubris debar jantung Nuhono (yang memang tak sampai ke
telinganya). Bahkan ia memberikan nama ejekan kepada duda itu Si
Nasi Goreng, karena duda itu sering lewat bersama penjual nasi
goreng. "Saya juga diledek oleh kawan-kawan saya, bahwa saya tak
bakal . bisa menyunting si Ing," kata Nuhono mengenang. Ejekan
tersebut justru membuat duda ini penasaran. Cintanya makin
menyala, seperti api nasi goreng.
Nuhono kemudian putar otak. la menulis sebuah surat dengan
nama Cina. Isinya seakan-akan ia sudah lama menyambung asmara
dengan Ing. Buntutnya: keluarga Ing geger. Gadis itu dilarang ke
luar rumah.
Yang sangat mengherankan, Ing kemudian dengan nekat
menghubungi Nuhono. Ia mendamprat habis-habisan. Tapi kemudian
minta ketegasan. Nuhono mau mengawininya atau tidak. Waktu itu
Nuhono keplok keras dalam hati. Ia sanggup, walaupun papah Ing
tetap menolak.
Dengan persetujuan dari mamah Ing, pernikahan dilangsungkan
di masjid, tahun 1970, tanpa dihadiri oleh papah Ing. Gadis
lulusan SP itu dengan pasih mengucapkan kalimat syahadat.
Konflik dengan papa Ing kemudian pupus setelah lahir anak
pertama tahun 1971. Anak lelaki itu diberi nama Sukarno Khan
--pcrpaduan dari "Sukarno" dan "Jenghis khan". Anak kedua juga
lelaki diberi nama Azimuth Nagajayawardhana. "Nama ini berlatar
belakang sejarah Majapahit. Ingat ada pasukan Tiongkok ke Jawa
Timur di zaman itu," kata Nuhono.
Menikah dengan perawan Ing (yang kini ganti nama jadi
Rosetianingrum), bagi Nuhono menguntungkan. Lelaki yang berusia
43 rahun itu memberi contoh. Di tahun 1971 ada keharusan
"monoloyalitas". Sebagai seorang pegawainegeri ia jadi kikuk
karena ia juga akivis partai PNI (kemudian lebur dalam PDI).
Akhirnya istrinya memberikan pandangan. "Lihat Cina-Cina itu,
tak ada yang jadi pegawai negeri, malah punya rumah di pinggir
jalan besar," ujarnya.
Dengan semangat itu kemudian Nuhono menolak surat kepalanya
untuk mematuhi "monoloyalitas". Tapi nyatanya ia tidak
diberhentikan. Dorongan lain juga muncul dari sang istri dalam
membenahi ekonomi keluarga. "Lihat itu Cina-Gna, musim rafia,
makan rafia, musim plastik makan plastik," kata istrinya.
Nasihat itu kemudian menggerakkan hari politikus ini untuk
berdagang. Suksesnya tidak jelek.
Tentu saja buntut jeleknya ada juga. Ketika terjadi
huru-hara anti Cina di Semarang bulan lalu, misalnya, Nuhono
merasa kepepet. Ia langsung menurunkan insrruksi agar warga PDI
Semarang tidak rerIibat dalam kerusuhan tcrsebut. "Mungkin dalam
hati orangorang saya itu timbul curiga bahwa saya akan
melindungi Cina karena istri saya Cina," kata Nuhono. Anehnnya,
ia kemudian dipanggil oleh yang berwajib -- disangka memberi
instruksi agar anggota PDI suraya terlibat secara aktif. Radio
BBC sempat memberitakan pemanggilan itu. "Saya benar-benar
merasa kepepet jadinya," keluh Nuhono.
Bicara soal pembauran, Nuhono merasa hal tersebut akan
efektif lewat Lembaga pendidikan. Kedua anaknya yang baru.
misalnya, kini bersekolah di SD dan SMP Kesatryan -- sekolah
yang dulu khusus Cina tapi kini sudah berhasil dibaurkan. "Harus
tak boleh lagi ada sekolah khusus Cina," kata Nuhono. Ia juga
menyerukan agar keturunan Cina rela melepas gadis-gadisnya
disunting golongan pribumi. "Dan pribumi jangan lagi
men-Cina-Cina-kan Cina," katanya.
Di Sala terjadi sebaliknya. Ada Theo Kim Tin, 63 tahun,
yang kini bernama Tino mempersunting Mukinem, 35 tahun, sejak 10
tahun yang lalu. Tino yang biasa dipanggil Bah Dongo--karena dia
punya Warung Dongo --punya alasan kuat mengapa memetik kembang
pribumi. "Tujuannya bukan mencari sensasi seks, tapi untuk upaya
mencari ketenteraman hidup dalam rezeki," katanya dengan
sungguh-sungguh. Pernikahannya itu membuahkan seorang putri.
Umurnya 2,5 rahun. Namanya Erni Setiawati.
Bah Dongo bukan kelas "nonpri" kaya. Hidupnya melara. Ia
pernah jadi tukang cat, kondektur, buruh dan penjaga toko.
Pernah berusaha bebas dari kaki majikan dan berusaha sendiri,
tapi terus menerus kandas. "Seperti kena sumpah, usaha saya
seret," katanya.
Waktu itu ia sudah memperistrikan Kim Yan Nyo dan punya
enam anak. Akhirnya ia menjual wedang dongo di pinggir jalan
Slamet Riyadi. Karena daerah itu terlarang untuk berjualan, tiap
hari ia dag-dig-dug, main kucing-kucingan dengan polisi.
Sebagai penjual wedang dongo, hidup Tino juga sulit. Pada
suatu hari ia dilarang jualan. Akhirnya dia merenung,mungkin
pernikahannya yang tidak cocok. Ia mendapat pikiran untuk
mengawini seorang wanita Jawa. Kata orang, banyak rezekinya.
Tetapi siapa mempelainya? Tino berpikir keras. Saat itu hari
sudah malam, istrinya sudah tidur. Ia keluar mencari udara
segar. Di antara udara segar itu pembantunya.
"Saya ikut prihatin sama kamu sah, tadi kita tak boleh
jualan. Bah Theo kan rugi jadinya," kata pembantunya itu. Tegur
sapa itu menyentuh hati Tino. Sejak malam itu wanita yang
memanggilnya "babah" itu terus diperharikannya. Pada suatu
ketika ia merayudan berhasil. Ah, Mukinem. "Ia jadi istri saya
yang sah karena kawin secara sah pula menurut cara hukum Islam,"
kata Tino.
Istri pertama Tino sebenarnya tidak setuju. Sudah
dijelaskan, masih juga ia menentang. Tapi toh akhirnya menyerah
dengan hati pedih. Kepedihan itu belakangan mungkin sedikit
cair, karena setelah hidup dengan Mukinem, re7.eki Tino membaik.
Wedang dongonya mulai dapat pasaran. Sekarang timbul soal, apa
sebabnya Mukinem mau dengan majikannya yang beda usia 25 tahun
itu? "Saya juga cinta. Hati saya mantap. Ya, ini merupakan
takdir yang mesti kuterima dan kujalani," kata Mukinem.
Tino kini hidup tenteram. Sudah punya motor Yamaha baru.
Kepada istri tuanya ia pun tak lupa. Segala kebutuhannya ia
penuhi, sebagaimana ia merawat Mukinem. Yan Nyo pun tak banyak
tingkah. Walhasil di rumah Tino, 2 istri itu tak pernah cekcok.
Hanya dalam keributan bulan lalu, rumahnya dilempari batu. Ia
ketakutan, naik loteng dan berdoa. Kemudian Mukinem, sambil
memapah anaknya, berdiri di mulut pintu. "Di sini rumah Jawa,
lho, mas," katanya dengan suara gemetar pada para demonstran.
Rumahnya pun selamat.
Masih Gelap
Di Kudus, Jawa Tengah, Oei Gin Nio, 37 tahun, yang menikah
dengan Turmudi, 36 tahun, pada tahun 1971, sempat dikucilkan
oleh keluarganya. Wanita yang kini bernama Giniwati itu baru
berbaik lagi dengan orang tuanya setelah mengalah-ngalah, dan
terutama setelah punya anak satu. Belakangan suaminya
mengetahui, kenapa mertuanya,
Oei Tiauw Goen, 55 tahun, tak menyukai pribumi. "Orang Jawa
dinilai suka kawin dan main cerai, mereka takut kalau anaknya
telantar," katanya.
Haji Toha, pedagang tembakau yang memperistrikan Oh Lon
Kiauw (kini Siti Fatimah) membenarkan. "Kebanyakan mereka tak
tahu tata cara orang Islam atau pribumi di dalam ikatan
pernikahan," kata haji itu. Keluarga isrtinya juga dulu khawatir
kalau-kalau Oh Lon Kiauw dipermainkan, lalu menuntut agar
pernikahan menurut Catatan Sipil saja. Setelah diberi
penerangan, tuntutan tak dilanjutkan.
Di daerah Kudus sebenarnya hidup bersama antara lelaki
keturunan Cina dan wanita pribumi--sampai memiliki anak--cukup
banyak. Tapi baru sedikit yang tercatat secara resmi.
"Kira-kira dua-di antara 1000 yang tercatat," kata Kepala
Kantor Catatan Sipil Pemda Kudus. Jadi usaha berbaur sebenarnya
sudah dilaksanakan, tetapi masih gelap. Jadi masih ditunggu
rupanya keadaan Habis gelap, terbitlah terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini