Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Apa Jadinya Dengan 'The Korean Boom'

Sejarah cadangan devisa, dengan adanya perang Korea di awal 1950-an, Indonesia mengalami the korean boom, cadangan devisa indonesia naik karena harga karet membumbung, naiknya devisa melahirkan inflasi.(eb)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG Korea berkecamuk di awal tahun 1950-an. Dunia gawat, karena Amerika Serikat dan sekutunya berhadapan dengan Uni Soviet dan sekutunya di jairah kecil itu. Tapi bagi perekonomian sebagian negara Asia perang itu justru membawa berkah. Indonesia mengalami apa yang kemudian disebut The Korean Boom. Selama perang itu, karet membubung harganya. Sutikno Slamet, kini 66 tahun, waktu itu pejabat tinggi di Kementerian Keuangan, mengenang masa itu dengan mengatakan "Devisa kita memuncak, mcncapai 500 juta dollar." Tapi ia mengatakan juga "Naiknya devisa melahirkan tekanan inflasi dalam negeri." Cadangan devisa yang baik, menimbulkan kecenderungan untuk impor. Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan pada Kabinet Sukiman (1951) dan kemudian juga Kabinet Ali Sastroamidjojo (1956) mengatalcan "Kalau dulu, cadangan devisa itu semuanya dipakai untuk impor, karena tak punya pilihan lain." Agaknya lebih banyak barang konsumsi ditelan. Tapi "boom Korea" habis di tahun 1952. Pemerintah, yang semula tak begitu mengacuhkan akibat inflatoar yang terjadi, kini harus menghadapi kenyatan keras. Pendapatan pemerintah hampir seluruhnya hasil perdagangan luar negeri--merosot hebat, sementara pembelanjaan menjalar terus. Defisit yang menyolok dalam neraca pembayaran terjadi di tahun 1952. Usaha untuli mengatasi itu tak cukup kuat. Harga dalam negeri mendaki. Cadangan devisa anjlok dari Rp 6 milyar (195") menjadi Rp 3,6 milyar (1953). Buat mengatasi anjloknya cadangan devisa, dilakukan beberapa tindakan. Awal 1952 dilakukan devaluasi rupiah jadi sepertiga dari nilainya semula. Cukai ekspor dalam pelbagai tarif dikenakan, tapi dalam tingkat yang sedik it I.bih rendah dari pajak ekspor yang berIaku sebelumnya. Tapi langkah itu tak juga efektif. Maka lisensi impor dan alokasi pemakaian devisa diperketat. Agaknya inilah yang dimaksudkan Sjafruddin Prawira. Negara, Gubernur sank Indonesia di tahun 1957 (pernah jadi Menteri Keuangan, 1949-1950), ketika ia mengatakan pekan lalu. "Dulu, setiap orang yang membeli devisa, harus punya surat resmi." Pelbagai tindakan dilakukan untuk mengerem impor, hingga Benjamin Higgins, seorang sarJana Amerika yang banyak membahas perkembangan perekonomian Indonesia, dalam tulisan di tahun 1957 mengatakan sistem tarif Impor yang berbeda-beda itu, yang disebut untuk "meransang" impor, sebenarnya suatu "sistem yang merangsang orang Indonesia untuk tidak mengimpor." Tapi toh menjelang akhir 1952 usaha ini mulai nampak hasilnya. Para importir misalnya diharuskan membayar —ang muka sebesar 40% (kemudian naik sampai 75%). Sistem pengontrolan neraca pembayaran ini agaknya efekrif, dalam mengendurkan tekanan pada cadangan devisa. Di tahun 1953, berkurangnya cadangan devisa mencapai Rp 1,5 milyar--mendekati target (Rp 1,3 milyar) . Tapi di tahun 1954 krisis neraca pembayaran yang serius terjadi. Kabinet Ali Sastroamidjojo menggantikan Kabinet Wilopo, Agustus 1953. Dengan niat memindahkan bisnis perdagangan luar negeri ke tangan pengusaha Indonesia, Kabinet Ali membagi-bagikan lisensi impor dan alokasi cadangan devisa keEpada perusahaan nasional yang disebut sebagai "Benteng". Kebijaksanaan ini memang berhasil menggalakkan sejumlah perusahaan nasional. Pengaruhnya juga baik terhadap peredaan inflasi kurang ketatnya alokasi cadangan devisa menyebabkan mengalirnya barang impor, persis ketika daya heli meningkat, sebagai akibat defisit anggaran belanja. Namun korupsi yang terjadi akibat "lisensi istimewa" itu mengurangi efek anti-inflasi yang terkandung. Sementara itu, cadangan devisa merosot Rp 1,2 milyar di pertengahan pertama 1954 (targetnya hanya separuh dari itu). Pemerintahpun dengan cepat melakukan tindakan drasfis. Pemberian lisensi impor dan alokasi cadangan devisa sangat dikurangi. Impor merosot hebat selama 1955. Tapi akibarnya ternyata inflasi karena sebagian penting konsumsi orang Indonesia berasal dari impor. Kabinet Ali diganflkan Kabinet surhanuddin Harahap. Sasaran utama peredaan inflasi, yang memang nyaris menjangkau wilayah! pedalaman. Kabinet surhanuddin Harahap (rerkenal dengan ringkasan "BH") lantas menyederhanakan prosedur impor. Tapi serentak dengan itu, importir harus membayar uang muka Rp 5 juta, guna menjamin pembayaran devisa dan untuk pungutan atas impor. Stabilitas harga memang tercapai. Penawaran uang turun 5% dalam beberapa bulan saja. Harga barang impor turun 15% selama paruhan kedua tahun 1955. Pasar gelap uang dapar dipukul. Namun menurunnya pelbagai harga barang itu disertai dengan akibat merosotnya cadangan devisa dari Rp 2,7 milyar di akhir 1955 menjadi Rp 1,25 milyar di akhir Juni 1956. Padahal, di tahun itu, negara Asia Tenggara lain berhasil meraih cadangan devisa yang besar. Sjafruddin Prawiranegara mengakui, bahwa kecenderungan penggunaan cadangan devisa di masa lalu (dalam demokrasi parlementer) lebih berorientasi pada politik partai pemerintah. "Justru itu, lebih berat dibandingkan dengan zaman sekarang dalam demokrasi parlementer, usia jabatan menteri tak panjang, paling lama dua tahun," katanya pula. Memang ada peniIaian, bahwa beleid Kabinet "BH" (menjelang Pemilu 1955) adalah untuk menarik simpari dengan menurunkan harga barang impor. Sedang garis Kabinct A li ialah menarik simpati dengan lisensi impor serta alokasi cadangan devisa kepada pengusaha nasional. Apapun udang di balik batunya, rasa tak puas meluas terus, terhadap pelbagai beleid yang terutama diarahkan hanya ke masalah neraca pembayaran. Agustus 1953, saat-saat tergusurnya sistem demokrasi parlementer, pembaruan moneter secara drastis dilakukan. Sutikno Slamet, dipanggil dari Washington tempat ia bekerja pada sank Dunia. Ia diangkat jadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Karya. Ia mengadakan devaluasi uang 500-an dan 1000an dikecilkan jadi 10% dari nilai semula. 90% deposito di semua bank yang di atas Rp 25.000 dibekukan, untuk jadi pinjaman bagi pem>rintah. Tindakan ini ada hasiinya. Cadangan devisa naik, sekitar 300 juta dollar, kata Sutikno. Tapi mulai 1961, hasil itu leleh kembali. Ekspor Ihdonesia setelah perang Korea bagain1anapun selalu merosot, antara lain karena penetapan nilai rupiah yang tak realistis, hingga pendaparan dari ckspor tak menggairahkan. Semenrara itu --- seperti dalam masa "Demokrasi Terpimpin" -- belanja pemerintah membengkak oleh pembelian senjata dan provek "mercu suar". Maka cerita yang beredar di tahun 1966, ketika "Demokrasi Terpimpin" rontok, ialah bahwa cadangan devisa Indonesia di tahun itu praktis nol. Dan itu kembali terulang sepuluh tahun kemudian ketika BI terpaksa membayari utang-utang jangka pendek yang dibuat oleh Pertamina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus