Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kerepotan Tujuh Milyar Dollar

Konferensi reguler OPEC ke-59 berlangsung di Bali. harga minyak dipastikan naik dan cadangan devisa indonesia meningkat, pemanfaatan cadangan devisa yang tinggi ini menjadi perdebatan sengketa. (eb)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG antara Irak dan Iran. ibarat film yang diputar pelan, masih terus saja sejak tiga bulan. Di tengah kerepotan itu pula konperensi reguler OPEC ke-59 berlangsung di Bali. Akan terjadikah insiden antara Iran dan Irak, yang menurut abjad, biasanya duduk bersebelahan (dengan catatan Menteri Perminyakan Iran kebetulan tertangkap oleh tentara Irak di sebuah pertempuran, sementara menteri Irak belum ditangkap Iran)? Mungkin saja. Tapi yang agaknya diharapkan oleh banyak anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak mentah ItU adalah: naiknya harga minyak di sali. Menteri pertambangan dan Energi Dr. Subroto, yang menjadi Presiden OPEC, tak menutup kemungkinan itu. "Sekedar untuk menutup inflasi," katanya. Arab Saudi -- yang bersama Uni Emirat Arab (Abu Dhabi) dan Qatar mulanya menginginkan pembekuan harga -- dikabarkan tak akan bersitegang kalau mayoritas OPEC menghendaki kenaikan harga minyak. Diperkirakan Sheik Zaki Yamani akan menerima kenaikan setinggi US$ 2 per barrel, di atas harga patokannya,Arabian Light Crude yang US$32 per barrel itu. Indonesia, yang memiliki jenis minyak yang khusus bisa dipastikan akan memasang harga di atas US$ 2 per barrel. Mulai 1 Desember lalu, Pertamina menaikkan harga premium dari US$ 2 per barrel jadi US$ 3,70 per barrel. Satu soal yang dihadapi ialah kenaikan ini saja akan merupakan tambahan devisa sekitar US$ 200 juta. Dan tambahan sebesar itu diperkirakan akan masuk antara Desember ini sampai APBN 1980/1981 yang berakhir di penghujung Maret 1981 Nah, kalau harga minyak ekspor Indonesia dinaikkan lagi setelah sidang oPEC di Bali -- yang biasanya mulai berlaku sejak 1 Januari 1981 --maka akan makin gemuk saja penghasilan dari uang minyak kita. Dengan sendirinya itU berarti cadangan devisa Indonesia akan semakin besar-- yang ternyata juga menimbulkan diskusi besar, bagaikan diskusinya orang miskin yang mendadak dapar lotere. Pada akhir Oktober lalu, cadangan devisa Indonesia mencapai hampir US$ 7 milyar. Suatu kenaikan yang cukup besar bila dibandingkan dengan posisi cadangan devisa pada awal tahun anggaran 1980/1981, yang mencapai US$ 4,65 milyar. Seoradg ahli keuangan dengan pasti mengatakan, inilah cadangan devisa terbesar dalam sejarah Republik. TAK disangsikan lagi, para pengelola ekonomi negeri ini merasa gembira melihat cadangan internasional yang melimpah itu. Menko Ekuin/Ketua sappenas Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, di depan DPR baru-baru ini, menyebutkan manfaat sang cadangan yang sebagian besar datang dari uang minyak itu. "Dengan demikian pemerintah punya kesempatan untuk melakukan penghematan dalam impor pangan," katanya. Pembantu ekonomi utama Presiden Soeharto itu juga merasa lebih aman, karena "tanpa adanya cadangan devisa yang kuat, ekonomi kita akan mudah terombang-ambing oleh pengaruh dari luar--yang dapat melemahkan pembangunan sekarang." Cadangan devisa itu, menurut Widjojo, akan digunakan juga untuk mengobati masalah kemiskinan di kota dan desa, pengangkutan, dan transmigrasi. Juga untuk mendirikan proyek besar seperti proyek hydrocracker, pengilangan minyak di Balikpapan dan Cilacap, proyek Methanol di Pulau Bunyu dan proek Olefin yang terkenal di daerah LNG Arun, Aceh. Debat soal cadangan devisa itu pun menjadi ramai tak lama setelah Menko Ekuin bicara di depan DPR. Dan mencapai puncaknya ketika Ketua Fraksi Karya Pembangunan (F-KP) Soegiharto dikutip mengatakan dengan gagah bahwa bantuan (utang) luar negeri "tak perlu lagi" karena cadangan devisa yang kuat. Ucapan Ketua F-KP itu, seperti diketahui, mengundang reaksi yang tidak sebentar. Sampai-sampai Ketua Umum Golkar H. Amir Murtono yang ketika itu baru kembali dari Mekkah, terpaksa merasa perlu turun tangan "membenahi" ucapan Soegiharto -- sekalipun, menurut beberapa anggota F-KP yang tergolong muda, ucapan Soegiharto itu sebenarnya sudah dikonsultasikan terlebih dulu dengan tim ekonomi F-KP (TEMPO, 6 Desember 1980). Soegiharro memang tidak sendirian. Orang-orang di luar fraksinya, seperti dari F-PP dan F-PDI, juga mendukungnya. Toh Presiden Soeharto merasa perlu untuk menjelaskan duduk perkara hubungan cadangan devisa dengan pinjaman luar negeri. Banyak orang kabarnya menjadi tercengang ketika Presiden Soeharto, dalam pidato tanpa teks di depan masyarakat Indonesia di Neu, Delhi, telah mengoreksi beberapa pendapat yang keliru di seputar cadangan devisa itu. Kata Presiden ketika melawat ke India awal bulan ini "Orang-orang yang tidak mengerti menyangka, bahwa cadangan devisa kita yang sudah mencapai US$ 7,5 milyar dapar begitu saja digunakan oleh pemerintah. Padahal cadangan devisa tersebut adalah untuk mengamankan impor. Di lain pihak ada kepercayaan dari dunia internasional, maupun bank, untuk memberi uluran tangan. Kenapa kita tidak manfaarkan itu dahulu." Memang banyak orang yang, seperti kata Presiden, belum mengerti betul apa itu sebenarnya yang disebut cadangan devisa. Komentator peristiwa ekonomi Kaptin Adisumarta dalam Kompas awal Desember bcrusaha menggambarkan ujud cadangan devisa itu secara populer. Cadangan devisa ini, "bukan almari besi penuh emas batangan dan lembaran dollar, DM atau Yen. Ujudnya hanyalah kumpulan catatan, jumlah rekening dari semua saldo dalam bentuk mata-uang asing, yang ada di dalam semua bank devisa di luar dan dalam negeri, yang menjadi kepunyaan semua macam badan dan orang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia, baik uang itu berasal dari ckspor, dari transfer, dari tiket pesawat terbang, atau da1am benruk travecheque." Adapun pemiliknya memang macam-macam. Bisa perorangan, swasta dalam negeri dan asing, sampai pemerintah. Tapi pemilik yang terbesar adalah, tenru saja, pemerintah. Pemerintah adalah penghasil devisa terbesar, terutama dari uang ekspor minyak. Dalam buku RAPBN 1980/1981, hisa dibaca perkembangan penerimaan dari uang minyak dibandingkan dcngan yang non minyak. Uang dari ekspor minyak tetap akan merupakan andalan RAPBN Indonesia. Dalam tahun 1978, angka-angka yang dikumpulkan dalam buku RAPBN 1980/1981, menunjukkan jumlah uang minyak yang melonjak US$ 7,4 milyar lebih. Dan dalam tahun 1979, penerimaan dari ekspor minyak membesar menjadi US$ 8,87 milyar lebih sedikit. Bisa dipastikan dalam tahun 1980 yang sebentar lagi berakhir ini, uang minyak makin meluber. Angka-angka yang dikumpulkan Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sampai Juli 1980, uang minyak sudah mencapai US$ 8,56 milar lebih. Sejak dua tahun lalu sebenarnya memang sudah timbul spekulasi tentang bagalmana menggunakan cadangan devisa yang makin bertambah. Dan kerika cadangan internasional itu mencapai hampir US$ 7 milyar, tak kurang dari Menko Ekuin Widjojo sendiri yang seakanakan garuk-garuk kepala. "Kalau kita tidak punya ya susah, tapi begitu punya juga susah," katanya. Ada suatu perdebatan di antara para . konom tentang Apa itu sebenarnya yang dinamakan cadangan internasional yang optimal? Jawaban yang tepat rupanya belum ada--atau belum bisa dipecahkan oleh ilmu ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) berpendapat, baras yang baik adalah cadangan devisa yang bisa membiayai tiga bulan impor. Tapi IMF yang dikenal beraliran konservatif, berbeda dengan sank Dunia yang tergolong berpandangan progresif. Salah seorang staf sank Dunia, seperti diceritakan seorang ekonom Indonesia yarlg baru kembali dari Washington (AS), berpendapar, buat Indonesia cadangan devisa yang cukup sebenarnya anrara 6 gampai 12 bulan. Ada yang berpendapat, gambaran seperti dikemukakarj orang Bank Dunia itu agak berlebihan. "Satu pendapat yang sebetulnya ingin membela kedudukan Indonesia di mata IGGI," kata seorang ekonom di Jakarta. Sebab dengan cadangan internasional sebanyak sekarang, "sulit bagi negaara-negara donor itu untuk memberi Indonesia bantuan selunak dan sebanyak waktu-waktu yang lampau," tambahnya. Sang ekonom, yang baru kembali dari Amerika, mengatakan banyak orang di sana berspekulasi bahwa cadangan devisa yang dimiliki Indonesia sekarang ini sebenarnya sudah berjumlah US$ 11 milyar. Suatu dugaan yang sulit dibuktikan. Tapi kenapa akan timbul inflasi kalau cadangan itu dibelanjakan di dalam negeri? "Sebab kapasitas produksi kita masih kecil," kata Dr. Hadi Soesastro dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Hadi lalu menunjuk pada penyebaran penduduk Indonesia yang 80% tinggal di daerah pedesaan "Mereka itu sebenarnya belum diikutsertakan dalam sistem ekonomi," katanya. Ia beranggapan uang yang berputar di daerah pedesaan hanya sekitar 20%. Maka, menurut Hadi Soesastro, cadangan internasional yang dibelanjakan di dalam negeri tak akan membuat produksi berputar secepat naik rurunnya uang, yang terutama terpusat di kotakota. Timbulnya situasi di mana orang berbondong-bondong akan menubruk barang itulah yang disebut inflasi. Ekonom dari CSIS itu kemudian melihat penggunaan cadangan itu dari aspek sosial. "Hasil dari uang minyak yang kita pakai--dan tidak disimpan sebagai cadangan --semua tersalur melalui anggaran." Siapa pun tahu bahwa penana,nan di bidang prasarana, pendidikan dan kesehatan, misalnya, efeknya baru bisa dirasakan dalam jangka yang cukup panjang. Dan hanya pemerintah yang mampu melakukan selama itu. Maka selama menunggu selesainya pembuaran prasarana itu, selama itu pula terjadi inflasi. Kaptin Adisumarta, dalam wawancara dengan TEMPO, menamakan inflasi yang rimbul akibat investasi di bidang prasarana itu sebagai "inflasi struktural". Yang menjadi soal, kata komentator ekonomi .itu, adalah besarnya tingkat mflasi itu. "Kalau masih 10% masih baik, sampai 20% juga masih aman, tapi jika mencapai 30% ke atas itu berbahaya," katanya. Sikap hati-hati agaknya dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola anggarannya. Banyak pengamat umumnya sependapat, tak akan terjadi pertambahan pengeluaran pemerintah dari apa yang sudah tercantum dalam APBN. Hanya subsidi BBM yang mungkin akan melampaui anggaran. Menteri Keuangan Ali Wardhana di DPR baru-baru ini mengungkapkan, subsidi BBM dalam semester satu sudah mencapai Rp 600 milyar. Padahal anggarannya Rp 800 milyar. Tapi pengeluaran subsidi BBM yang lebih besar itu sebagian bakal ditanggung dari penerimaan minyak, yang ternyata lebih besar dari perkiraan semula. Semula direncanakan penerimaan dari uang minyak itu didasarkan pada harga ekspor minyak mentah, yang maksimal US$ 30 per barrel. Tapi sejak 1 Desember saja, empat bulan sebelum akhir anggaran, harga patokan Minas crude sudah US$ 35,20 per barrel. Lagi-lagi uang minyak yang menjadi taruhan. Itu pula sebabnya Dr Soedradjad Djiwandono berpendapat rezeki nomplok (windfal) yang dinikmati Indonesia sekarang ini harus secepamya disertai dengan suatu upaya peningkatan ekspor secara strukrural. "Jangan sampai kita dinina-bobokkan oleh keungtungan yang temporer," katanya. Menteri PPLH Emil Salim sependapat, hasil uang minyak itu digunakan untuk memperbaiki komposisi struktur ekonomi Indonesia. "Kuncinya mengarahkan peranan dari penjual bahan mentah menjadi pengolah bahan mentah sendiri. Jadi, industrialisasi," katanya. Dalam hubungan ini menarik didengar pendapat Dr soediono, Dosen Fakultas Ekonomi UGM. "Memanfaatkan kekayaan dari minyak harus disertai program yang jelas. Kalau tidak, akan terjadi penumpukan yang terus-menerus dari cadangan devisa," katanya. Menurut Budiono, dengan menyimpan cadangan itu di bank-bank di luar negeri, itu berarti memberi kredit murah kepada negara lain. "Seharusnya, begitu kita menjual barang, kita harus cepat menerima kembali dalam bentuk barang," katanya. Sampai batas tertentu pendapat seperti dikemukakan oleh Boediono itu memang sudah dijalankan oleh pemerintah. Adanya cadangan devisa yang besar ini telah menyebabkan pemerintah tidak bersikap kaku lagi dalam membiayai beberapa proyek pembangunan. Untuk proyek bydrocracker di Dumai misalnya, semula pemerintah beranggapan perlu dicari pembiayaan di luar anggaran. Tapi kini biaya proyek yang sekitar US$ 850 juta itu akan dipikul sepenuhnya oleh pemerintah. Hal yang sama sebelumnya sudah dilakukan untuk proyek perluasan pengilangan minyak di Cilacap dan Balikpapan. Nampaknya proyek Olefin dan Methanol juga akan dibiayai lewat anggaran pemerintah. Tapi Dr Soedradjad, ekonom lulusan universitas Boston,AS, memberi sedikit caratan terhadap proyek-proyek pemerintah itu. Sebab sampai sekarang dia melihat masih terJadi slsa anggaran proyek (SlAP) yang cukup besar pada setiap akhir tahun anggaran. Pemerintah sendiri sebenarnya bukan tak menyadari bahaya berlebihnya uang anggaran itu. Dengan bekal cadangan devisa yang lumayan besarnya itu, pemerintah nampaknya tidak ingin main pinjam dari bank-bank di luar negeri. Belakangan ini konsorsium perbankan seperti Morgan Guarantee Trust dan American Express (Amex)--keduanya berpusat di New York--merasa senang unruk mencarikan pinjaman komersial untuk Indonesia. Dan bank-bank di Eropa dan Amerika yang sekarang kebanyakan uang, dengan senang hati akan menawarkan kredit berjangka l0 sampai 12 tahun, dengan tingkat bunga antara 0,8 sampai 0,9 di atas Libor (tingkat bunga antar bank di London), dengan masa bebas-bunga (grace period) antara 3 - 4 tahun. Meskipun demikian, yang dipinjam Indonesia masih di bawah utang yang dibuat Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan Aljazair. Venezuela yang anggota OPEC dengan produksi di aras 2 juta barrel sehari, tapi berpenduduk sekitar 14 juta, ternyata berani meminjam sampai US$ 6.830 juta selama 1979. Juga Mexico, yang beIum lama dikaruniai minyak, telah meminjam sampai US$ 8.234 juta tahun lalu. Dan RRC, yang barusan saja membuka tirainya, sudah pandai membuat utang US$ 3.395 juta. Dibanding dengan semua itu, Indonesia cuma meminjam US$ 1.061 juta selama 1979. Sikap Indonesia yang kelihatannya seperti malu-malu kucing itu sebenarnya bertentangan dengan ilmu orang dagang. Seperti halnya dalam dunia dagang, maka semakin besar cadangan devisa, semakin lebar pula kemampuan ncgara itu untuk memperoleh pinjaman luar negeri. Maka tepat pula pendapat Hamzah Haz, anggota DPR dari F. PP. yang melihat cadangan devisa itu sebaiknya digunakan sebagai usaha memancing utang. Suaru pendapat yang sebenarnya juga dimaksudkan oleh Ketua F-KP Soegiharto. Tapi Mr Sjafruddin Prawiranegara, bekas Gubernur Bank Sentral di tahun 1957, beranggapan, "adalah tidak logis kalau cadangan devisa itu didiamkan, sementara Indonesia masih melakukan utang luar negerl. Dengan kata lain "Kalau sudah punya uang banyak, ya tak usah meminjam lagi." Pendapat seperti dikemukakan bekas Gubernur BI itu memang mewakili suara orang awam. Tapi bagi pemerintah Indonesia, keberhati-hatian meminjam utang komersial itu bukan karena menganut jalan pikiran seperti diungkapkan oleh Safruddin. Sikap pemerinrah yang konservatif itu seperti kata Hadi Soesastro, disebabkan rasa was-was terhadap uang minyak. "Betul uang minyak itu tidak menurun, tapi juga tak bisa dikatakan bakal terus meningkat kalau saja tidak pecah perang Irak-Iran," katanya. Dan perang antara Irak dan Iran, ibarat film yang diputar pelan, masih saja terus. Indonesia ternyata sedikit repot juga, dengan senyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus