PERANG antara Irak dan Iran. ibarat film yang diputar pelan,
masih terus saja sejak tiga bulan. Di tengah kerepotan itu pula
konperensi reguler OPEC ke-59 berlangsung di Bali.
Akan terjadikah insiden antara Iran dan Irak, yang menurut
abjad, biasanya duduk bersebelahan (dengan catatan Menteri
Perminyakan Iran kebetulan tertangkap oleh tentara Irak di
sebuah pertempuran, sementara menteri Irak belum ditangkap
Iran)? Mungkin saja. Tapi yang agaknya diharapkan oleh banyak
anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak mentah ItU
adalah: naiknya harga minyak di sali.
Menteri pertambangan dan Energi Dr. Subroto, yang menjadi
Presiden OPEC, tak menutup kemungkinan itu. "Sekedar untuk
menutup inflasi," katanya. Arab Saudi -- yang bersama Uni Emirat
Arab (Abu Dhabi) dan Qatar mulanya menginginkan pembekuan harga
-- dikabarkan tak akan bersitegang kalau mayoritas OPEC
menghendaki kenaikan harga minyak. Diperkirakan Sheik Zaki
Yamani akan menerima kenaikan setinggi US$ 2 per barrel, di atas
harga patokannya,Arabian Light Crude yang US$32 per barrel itu.
Indonesia, yang memiliki jenis minyak yang khusus bisa
dipastikan akan memasang harga di atas US$ 2 per barrel. Mulai
1 Desember lalu, Pertamina menaikkan harga premium dari US$ 2
per barrel jadi US$ 3,70 per barrel. Satu soal yang dihadapi
ialah kenaikan ini saja akan merupakan tambahan devisa sekitar
US$ 200 juta. Dan tambahan sebesar itu diperkirakan akan masuk
antara Desember ini sampai APBN 1980/1981 yang berakhir di
penghujung Maret 1981
Nah, kalau harga minyak ekspor Indonesia dinaikkan lagi
setelah sidang oPEC di Bali -- yang biasanya mulai berlaku sejak
1 Januari 1981 --maka akan makin gemuk saja penghasilan dari
uang minyak kita. Dengan sendirinya itU berarti cadangan devisa
Indonesia akan semakin besar-- yang ternyata juga menimbulkan
diskusi besar, bagaikan diskusinya orang miskin yang mendadak
dapar lotere.
Pada akhir Oktober lalu, cadangan devisa Indonesia mencapai
hampir US$ 7 milyar. Suatu kenaikan yang cukup besar bila
dibandingkan dengan posisi cadangan devisa pada awal tahun
anggaran 1980/1981, yang mencapai US$ 4,65 milyar. Seoradg ahli
keuangan dengan pasti mengatakan, inilah cadangan devisa terbesar
dalam sejarah Republik.
TAK disangsikan lagi, para pengelola ekonomi negeri ini
merasa gembira melihat cadangan internasional yang melimpah itu.
Menko Ekuin/Ketua sappenas Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, di
depan DPR baru-baru ini, menyebutkan manfaat sang cadangan yang
sebagian besar datang dari uang minyak itu. "Dengan demikian
pemerintah punya kesempatan untuk melakukan penghematan dalam
impor pangan," katanya.
Pembantu ekonomi utama Presiden Soeharto itu juga merasa
lebih aman, karena "tanpa adanya cadangan devisa yang kuat,
ekonomi kita akan mudah terombang-ambing oleh pengaruh dari
luar--yang dapat melemahkan pembangunan sekarang."
Cadangan devisa itu, menurut Widjojo, akan digunakan juga
untuk mengobati masalah kemiskinan di kota dan desa,
pengangkutan, dan transmigrasi. Juga untuk mendirikan proyek
besar seperti proyek hydrocracker, pengilangan minyak di
Balikpapan dan Cilacap, proyek Methanol di Pulau Bunyu dan proek
Olefin yang terkenal di daerah LNG Arun, Aceh.
Debat soal cadangan devisa itu pun menjadi ramai tak lama
setelah Menko Ekuin bicara di depan DPR. Dan mencapai puncaknya
ketika Ketua Fraksi Karya Pembangunan (F-KP) Soegiharto dikutip
mengatakan dengan gagah bahwa bantuan (utang) luar negeri "tak
perlu lagi" karena cadangan devisa yang kuat.
Ucapan Ketua F-KP itu, seperti diketahui, mengundang reaksi
yang tidak sebentar. Sampai-sampai Ketua Umum Golkar H. Amir
Murtono yang ketika itu baru kembali dari Mekkah, terpaksa
merasa perlu turun tangan "membenahi" ucapan Soegiharto --
sekalipun, menurut beberapa anggota F-KP yang tergolong muda,
ucapan Soegiharto itu sebenarnya sudah dikonsultasikan terlebih
dulu dengan tim ekonomi F-KP (TEMPO, 6 Desember 1980).
Soegiharro memang tidak sendirian. Orang-orang di luar
fraksinya, seperti dari F-PP dan F-PDI, juga mendukungnya. Toh
Presiden Soeharto merasa perlu untuk menjelaskan duduk perkara
hubungan cadangan devisa dengan pinjaman luar negeri. Banyak
orang kabarnya menjadi tercengang ketika Presiden Soeharto,
dalam pidato tanpa teks di depan masyarakat Indonesia di Neu,
Delhi, telah mengoreksi beberapa pendapat yang keliru di seputar
cadangan devisa itu.
Kata Presiden ketika melawat ke India awal bulan ini
"Orang-orang yang tidak mengerti menyangka, bahwa cadangan
devisa kita yang sudah mencapai US$ 7,5 milyar dapar begitu saja
digunakan oleh pemerintah. Padahal cadangan devisa tersebut
adalah untuk mengamankan impor. Di lain pihak ada kepercayaan
dari dunia internasional, maupun bank, untuk memberi uluran
tangan. Kenapa kita tidak manfaarkan itu dahulu."
Memang banyak orang yang, seperti kata Presiden, belum
mengerti betul apa itu sebenarnya yang disebut cadangan devisa.
Komentator peristiwa ekonomi Kaptin Adisumarta dalam Kompas awal
Desember bcrusaha menggambarkan ujud cadangan devisa itu secara
populer. Cadangan devisa ini, "bukan almari besi penuh emas
batangan dan lembaran dollar, DM atau Yen. Ujudnya hanyalah
kumpulan catatan, jumlah rekening dari semua saldo dalam bentuk
mata-uang asing, yang ada di dalam semua bank devisa di luar dan
dalam negeri, yang menjadi kepunyaan semua macam badan dan orang
yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia, baik uang itu berasal
dari ckspor, dari transfer, dari tiket pesawat terbang, atau
da1am benruk travecheque."
Adapun pemiliknya memang macam-macam. Bisa perorangan,
swasta dalam negeri dan asing, sampai pemerintah. Tapi pemilik
yang terbesar adalah, tenru saja, pemerintah. Pemerintah adalah
penghasil devisa terbesar, terutama dari uang ekspor minyak.
Dalam buku RAPBN 1980/1981, hisa dibaca perkembangan penerimaan
dari uang minyak dibandingkan dcngan yang non minyak.
Uang dari ekspor minyak tetap akan merupakan andalan RAPBN
Indonesia. Dalam tahun 1978, angka-angka yang dikumpulkan dalam
buku RAPBN 1980/1981, menunjukkan jumlah uang minyak yang
melonjak US$ 7,4 milyar lebih. Dan dalam tahun 1979, penerimaan
dari ekspor minyak membesar menjadi US$ 8,87 milyar lebih
sedikit. Bisa dipastikan dalam tahun 1980 yang sebentar lagi
berakhir ini, uang minyak makin meluber. Angka-angka yang
dikumpulkan Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sampai Juli
1980, uang minyak sudah mencapai US$ 8,56 milar lebih.
Sejak dua tahun lalu sebenarnya memang sudah timbul
spekulasi tentang bagalmana menggunakan cadangan devisa yang
makin bertambah. Dan kerika cadangan internasional itu mencapai
hampir US$ 7 milyar, tak kurang dari Menko Ekuin Widjojo sendiri
yang seakanakan garuk-garuk kepala. "Kalau kita tidak punya ya
susah, tapi begitu punya juga susah," katanya.
Ada suatu perdebatan di antara para . konom tentang Apa itu
sebenarnya yang dinamakan cadangan internasional yang optimal?
Jawaban yang tepat rupanya belum ada--atau belum bisa dipecahkan
oleh ilmu ekonomi.
Dana Moneter Internasional (IMF) berpendapat, baras yang
baik adalah cadangan devisa yang bisa membiayai tiga bulan
impor. Tapi IMF yang dikenal beraliran konservatif, berbeda
dengan sank Dunia yang tergolong berpandangan progresif. Salah
seorang staf sank Dunia, seperti diceritakan seorang ekonom
Indonesia yarlg baru kembali dari Washington (AS), berpendapar,
buat Indonesia cadangan devisa yang cukup sebenarnya anrara 6
gampai 12 bulan.
Ada yang berpendapat, gambaran seperti dikemukakarj orang
Bank Dunia itu agak berlebihan. "Satu pendapat yang sebetulnya
ingin membela kedudukan Indonesia di mata IGGI," kata seorang
ekonom di Jakarta. Sebab dengan cadangan internasional sebanyak
sekarang, "sulit bagi negaara-negara donor itu untuk memberi
Indonesia bantuan selunak dan sebanyak waktu-waktu yang lampau,"
tambahnya.
Sang ekonom, yang baru kembali dari Amerika, mengatakan
banyak orang di sana berspekulasi bahwa cadangan devisa yang
dimiliki Indonesia sekarang ini sebenarnya sudah berjumlah US$
11 milyar. Suatu dugaan yang sulit dibuktikan.
Tapi kenapa akan timbul inflasi kalau cadangan itu
dibelanjakan di dalam negeri? "Sebab kapasitas produksi kita
masih kecil," kata Dr. Hadi Soesastro dari Centre for Strategic
and International Studies (CSIS). Hadi lalu menunjuk pada
penyebaran penduduk Indonesia yang 80% tinggal di daerah
pedesaan "Mereka itu sebenarnya belum diikutsertakan dalam
sistem ekonomi," katanya. Ia beranggapan uang yang berputar di
daerah pedesaan hanya sekitar 20%.
Maka, menurut Hadi Soesastro, cadangan internasional yang
dibelanjakan di dalam negeri tak akan membuat produksi berputar
secepat naik rurunnya uang, yang terutama terpusat di kotakota.
Timbulnya situasi di mana orang berbondong-bondong akan menubruk
barang itulah yang disebut inflasi.
Ekonom dari CSIS itu kemudian melihat penggunaan cadangan
itu dari aspek sosial. "Hasil dari uang minyak yang kita
pakai--dan tidak disimpan sebagai cadangan --semua tersalur
melalui anggaran." Siapa pun tahu bahwa penana,nan di bidang
prasarana, pendidikan dan kesehatan, misalnya, efeknya baru bisa
dirasakan dalam jangka yang cukup panjang. Dan hanya pemerintah
yang mampu melakukan selama itu. Maka selama menunggu selesainya
pembuaran prasarana itu, selama itu pula terjadi inflasi.
Kaptin Adisumarta, dalam wawancara dengan TEMPO, menamakan
inflasi yang rimbul akibat investasi di bidang prasarana itu
sebagai "inflasi struktural". Yang menjadi soal, kata komentator
ekonomi .itu, adalah besarnya tingkat mflasi itu. "Kalau masih
10% masih baik, sampai 20% juga masih aman, tapi jika mencapai
30% ke atas itu berbahaya," katanya.
Sikap hati-hati agaknya dilakukan oleh pemerintah dalam
mengelola anggarannya. Banyak pengamat umumnya sependapat, tak
akan terjadi pertambahan pengeluaran pemerintah dari apa yang
sudah tercantum dalam APBN.
Hanya subsidi BBM yang mungkin akan melampaui anggaran.
Menteri Keuangan Ali Wardhana di DPR baru-baru ini
mengungkapkan, subsidi BBM dalam semester satu sudah mencapai Rp
600 milyar. Padahal anggarannya Rp 800 milyar.
Tapi pengeluaran subsidi BBM yang lebih besar itu sebagian
bakal ditanggung dari penerimaan minyak, yang ternyata lebih
besar dari perkiraan semula. Semula direncanakan penerimaan dari
uang minyak itu didasarkan pada harga ekspor minyak mentah, yang
maksimal US$ 30 per barrel. Tapi sejak 1 Desember saja, empat
bulan sebelum akhir anggaran, harga patokan Minas crude sudah
US$ 35,20 per barrel.
Lagi-lagi uang minyak yang menjadi taruhan. Itu pula
sebabnya Dr Soedradjad Djiwandono berpendapat rezeki nomplok
(windfal) yang dinikmati Indonesia sekarang ini harus secepamya
disertai dengan suatu upaya peningkatan ekspor secara
strukrural. "Jangan sampai kita dinina-bobokkan oleh keungtungan
yang temporer," katanya.
Menteri PPLH Emil Salim sependapat, hasil uang minyak itu
digunakan untuk memperbaiki komposisi struktur ekonomi
Indonesia. "Kuncinya mengarahkan peranan dari penjual bahan
mentah menjadi pengolah bahan mentah sendiri. Jadi,
industrialisasi," katanya.
Dalam hubungan ini menarik didengar pendapat Dr soediono,
Dosen Fakultas Ekonomi UGM. "Memanfaatkan kekayaan dari minyak
harus disertai program yang jelas. Kalau tidak, akan terjadi
penumpukan yang terus-menerus dari cadangan devisa," katanya.
Menurut Budiono, dengan menyimpan cadangan itu di bank-bank di
luar negeri, itu berarti memberi kredit murah kepada negara
lain. "Seharusnya, begitu kita menjual barang, kita harus cepat
menerima kembali dalam bentuk barang," katanya.
Sampai batas tertentu pendapat seperti dikemukakan oleh
Boediono itu memang sudah dijalankan oleh pemerintah. Adanya
cadangan devisa yang besar ini telah menyebabkan pemerintah
tidak bersikap kaku lagi dalam membiayai beberapa proyek
pembangunan. Untuk proyek bydrocracker di Dumai misalnya, semula
pemerintah beranggapan perlu dicari pembiayaan di luar anggaran.
Tapi kini biaya proyek yang sekitar US$ 850 juta itu akan
dipikul sepenuhnya oleh pemerintah.
Hal yang sama sebelumnya sudah dilakukan untuk proyek
perluasan pengilangan minyak di Cilacap dan Balikpapan.
Nampaknya proyek Olefin dan Methanol juga akan dibiayai lewat
anggaran pemerintah. Tapi Dr Soedradjad, ekonom lulusan
universitas Boston,AS, memberi sedikit caratan terhadap
proyek-proyek pemerintah itu. Sebab sampai sekarang dia melihat
masih terJadi slsa anggaran proyek (SlAP) yang cukup besar pada
setiap akhir tahun anggaran.
Pemerintah sendiri sebenarnya bukan tak menyadari bahaya
berlebihnya uang anggaran itu. Dengan bekal cadangan devisa yang
lumayan besarnya itu, pemerintah nampaknya tidak ingin main
pinjam dari bank-bank di luar negeri.
Belakangan ini konsorsium perbankan seperti Morgan
Guarantee Trust dan American Express (Amex)--keduanya berpusat
di New York--merasa senang unruk mencarikan pinjaman komersial
untuk Indonesia. Dan bank-bank di Eropa dan Amerika yang
sekarang kebanyakan uang, dengan senang hati akan menawarkan
kredit berjangka l0 sampai 12 tahun, dengan tingkat bunga antara
0,8 sampai 0,9 di atas Libor (tingkat bunga antar bank di
London), dengan masa bebas-bunga (grace period) antara 3 - 4
tahun.
Meskipun demikian, yang dipinjam Indonesia masih di bawah
utang yang dibuat Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan
Aljazair. Venezuela yang anggota OPEC dengan produksi di aras 2
juta barrel sehari, tapi berpenduduk sekitar 14 juta, ternyata
berani meminjam sampai US$ 6.830 juta selama 1979. Juga Mexico,
yang beIum lama dikaruniai minyak, telah meminjam sampai US$
8.234 juta tahun lalu. Dan RRC, yang barusan saja membuka
tirainya, sudah pandai membuat utang US$ 3.395 juta. Dibanding
dengan semua itu, Indonesia cuma meminjam US$ 1.061 juta selama
1979.
Sikap Indonesia yang kelihatannya seperti malu-malu kucing
itu sebenarnya bertentangan dengan ilmu orang dagang. Seperti
halnya dalam dunia dagang, maka semakin besar cadangan devisa,
semakin lebar pula kemampuan ncgara itu untuk memperoleh
pinjaman luar negeri. Maka tepat pula pendapat Hamzah Haz,
anggota DPR dari F. PP. yang melihat cadangan devisa itu
sebaiknya digunakan sebagai usaha memancing utang. Suaru
pendapat yang sebenarnya juga dimaksudkan oleh Ketua F-KP
Soegiharto.
Tapi Mr Sjafruddin Prawiranegara, bekas Gubernur Bank
Sentral di tahun 1957, beranggapan, "adalah tidak logis kalau
cadangan devisa itu didiamkan, sementara Indonesia masih
melakukan utang luar negerl. Dengan kata lain "Kalau sudah punya
uang banyak, ya tak usah meminjam lagi."
Pendapat seperti dikemukakan bekas Gubernur BI itu memang
mewakili suara orang awam. Tapi bagi pemerintah Indonesia,
keberhati-hatian meminjam utang komersial itu bukan karena
menganut jalan pikiran seperti diungkapkan oleh Safruddin. Sikap
pemerinrah yang konservatif itu seperti kata Hadi Soesastro,
disebabkan rasa was-was terhadap uang minyak. "Betul uang minyak
itu tidak menurun, tapi juga tak bisa dikatakan bakal terus
meningkat kalau saja tidak pecah perang Irak-Iran," katanya.
Dan perang antara Irak dan Iran, ibarat film yang diputar
pelan, masih saja terus. Indonesia ternyata sedikit repot juga,
dengan senyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini