Mayang, 17 tahun, siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) Nurabadi, tampak riang. Gadis penyandang cacat mental ini tak menyadari ketidakberesan giginya. Sebuah tim—dokter, perawat, dan guru pendamping yang mahir berbahasa isyarat—memeriksa gigi Mayang dengan ekstrasabar. Akhirnya, dokter menyimpulkan, "Gigi Mayang bolong dua. Besok, gigi yang satu harus dicabut." Tanpa rasa takut, Mayang mengangguk dan kembali bernyanyi gembira.
Adegan pemeriksaan gigi yang "tidak normal" tersebut terjadi di salah satu sayap Lembaga Kedokteran Gigi (Ladokgi) TNI Angkatan Laut R.E. Martadinata, Jakarta Pusat. Klinik khusus bagi penyandang cacat ini—fisik dan mental—sebetulnya sudah beroperasi beberapa bulan lalu. Namun, Ladokgi secara resmi membuka program ini dua pekan lalu.
Yang menarik, pasien penyandang cacat yang tidak mampu sama sekali tak ditarik biaya. "Gratis," kata Kolonel Laut Moeryono Aladin, Kepala Ladokgi R.E. Martadinata. Biaya operasional, menurut Moeryono, didapat dari subsidi silang dengan memanfaatkan pemasukan dari pasien klinik eksekutif.
Bagi Moeryono, klinik penyandang cacat ini sungguh penting. Penyandang cacat—terutama cacat mental—tak paham apa yang menimpa tubuhnya. Karang gigi (plak) atau gigi berlubang sering terabaikan. Penyandang cacat mental juga jarang, bahkan tak pernah, menyikat gigi dengan benar. Sehingga, kondisi gigi yang buruk kemungkinan besar membayangi penyandang cacat.
Padahal, umumnya penyandang cacat merasa tak nyaman berobat di klinik umum. Itulah sebabnya, Ladokgi membuat ruang khusus. Sejauh ini, tercatat ada sepuluh panti SLB yang memanfaatkan layanan Ladokgi. Setiap Jumat, puluhan siswa panti SLB, rentang usia balita sampai 30 tahun, datang komplet bersama rombongan guru pendamping. Dengan suasana bermain yang kental, para siswa antre menunggu giliran pemeriksaan.
Menurut Hasan Basyri, Kepala Departemen Klinik Ladokgi, tak ada peralatan istimewa yang dibutuhkan klinik ini. Dokter dan perawat juga tak perlu melewati pendidikan khusus. Satu-satunya senjata menghadapi penyandang cacat mental, menurut Hasan, adalah kesabaran yang ekstratinggi. Air muka, sebagai gerbang awal komunikasi, sebisa mungkin dipasang ramah dan menyenangkan. "Tak boleh cemberut," kata Hasan.
Untuk memudahkan pemeriksaan, tim dokter berdiskusi lebih dahulu dengan guru pendamping. Maklum, para guru lebih paham tingkah keseharian dan cara memenangkan hati pasien. Guru pendamping ini juga memandu jalannya pemeriksaan, misalnya memberi aba-aba buka mulut, tutup mulut, berkumur, atau sikat gigi.
Mieke Saleh Sastra, Ketua Yayasan Pendidikan Luar Biasa Nusantara, mengaku sangat terbantu dengan adanya program Ladokgi. Ternyata, tidak semua orang bersikap cuek terhadap kesehatan gigi penyandang cacat mental. Karena itu, "Sebisa mungkin kami membantu dokter berkomunikasi," katanya.
Sri Harini, staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi UI RS Cipto Mangunkusumo, menilai positif kehadiran klinik khusus penyandang cacat milik Ladokgi. Hal ini akan merangsang tumbuhnya kesadaran masyarakat memelihara kesehatan gigi.
Layanan seperti ini ternyata bukan hanya ditawarkan Ladokgi. Sebelumnya, RS Harapan Kita, Jakarta, juga membuka klinik gigi khusus anak penyandang cacat mental. RSCM pun menawarkan layanan serupa. Hanya, mengingat ongkos peralatan yang mahal, klinik itu tidak dirancang secara khusus. RSCM, menurut Harini, lebih menekankan treatment pada peningkatan keterampilan orang tua. Misalnya, "Kami melatih cara memandu anak cacat menyikat gigi dengan benar," kata Harini. Dengan demikian, si anak diajarkan untuk mandiri merawat gigi.
Mardiyah Chamim dan Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini