Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Semalam Melawan Kanker

Pasien kanker payudara tak perlu berlama-lama tinggal di rumah sakit. Di Surabaya, pasien hanya perlu menginap satu malam setelah operasi dilakukan.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDERITAAN pasien kanker acap kali tak melulu hanya karena penyakit itu sendiri. Kanker benar-benar membuat kantong kering. Selama ini, pasien kanker ganas harus dirawat berhari-hari di rumah sakit. Ini berarti biaya segunung mesti disiapkan pasien. Ternyata, menginap semalam bagi penderita kanker bukan sesuatu yang mustahil. Mungkin tak banyak yang tahu, diam-diam Klinik Onkologi Surabaya (KOS) telah lama mampu mengerjakan perawatan hanya dalam waktu sehari bagi penderita kanker payudara.

Diah Unun, seorang ibu rumah tangga, mengenyam perawatan sehari (overnight stay) itu dua tahun silam, ketika ia divonis menderita kanker payudara. "Kanker di payudara saya jenis mucoid carcinoma yang ganas," ujar Unun. Beberapa hari seusai menerima vonis dokter, Unun menyatakan kesiapannya menjalani operasi pengangkatan payudara. Sehari setelah operasi, ia diperbolehkan pulang. Total jenderal ia mengeluarkan Rp 7 juta untuk terapi yang diterimanya. "Alhamdulillah, sampai sekarang, saya tidak punya keluhan apa-apa," kata Unun.

Perawatan semalam agaknya merupakan salah satu layanan "unik" klinik yang dua pekan lalu menggelar seminar untuk memperingati hari jadinya yang kelima itu. Menurut Ario Djatmiko, salah seorang pendiri KOS dan juga spesialis bedah onkologi dari Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya, program layanan sehari itu adalah yang pertama di Indonesia. Untuk layanan ini, semua tahapan operasi—dari pemeriksaan klinis, rontgen, biopsi, sampai operasi bedah—dilakukan dalam 24 jam. Syaratnya, antara lain, pasien harus berusia maksimal 60 tahun, tidak memiliki penyakit ikutan (komplikasi), dan tidak rentan terhadap proses pembiusan.

Setelah semua tahap usai, pasien bisa beristirahat di rumah atau kembali bekerja. Secara psikologis, lingkungan rumah atau kantor yang mengisi keseharian pasien sangat membantu pemulihan. Selain itu, metode ini bisa menekan pengeluaran yang tak perlu. Pasien operasi kanker, normalnya, membutuhkan 10-14 hari rawat inap di rumah sakit. "Layanan overnight bisa menghemat ongkos rawat inap yang cukup lumayan," kata Ario Djatmiko.

Dari segi terapi, perawatan semalam ini mungkin tak berbeda dengan terapi konvensional. Setelah diperbolehkan kembali ke rumah, pasien tetap diharuskan rutin melakukan kontrol dan, bila perlu, menjalani radioterapi (penyinaran)—fasilitas yang belum dimiliki KOS.

Perawatan sehari itu, seperti diakui Idral Darwis, pakar onkologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sejauh ini memang baru KOS yang menerapkannya. Efektif tidaknya program ini tentu tak bisa disimpulkan saat ini karena KOS sendiri baru berusia lima tahun. Untuk penyakit seperti kanker, pengamatan mesti dilakukan bertahun-tahun.

Sejauh ini, menurut data KOS, dari 197 pasien yang memilih overnight stay, 74 persen sanggup beraktivitas normal sehari setelah operasi. Tingkat kejadian infeksi, kematian jaringan, dan perdarahan juga tercatat di kisaran 0,5-2 persen. Artinya, menurut kesimpulan Ario, tingkat keberhasilan operasi KOS tidak jauh berbeda dengan yang dialami M.D. Anderson Cancer, klinik kanker terkenal di Amerika Serikat.

Operasi boleh hebat. Namun, sehebat apa pun pelayanan dan terapi untuk kanker, salah satu faktor penting yang tidak bisa disepelekan adalah deteksi dini. Simaklah pengalaman artis kawakan Rima Melati yang diutarakan kepada publik yang menghadiri seminar yang digelar KOS itu. Alkisah, sebelas tahun silam, Rima mendeteksi benjolan sebesar kacang hijau pada buah dadanya. Meski sebelumnya pernah terserang kanker usus, Rima sama sekali tak menduga bahwa benjolan tersebut adalah kanker. "Benjolan itu terus membesar karena sering saya raba," tuturnya.

Pada 1990, Rima berobat ke Klinik Daniel de Hoed, Rotterdam, Belanda. Syukurlah, tim dokter klinik itu berhasil memangkas kanker tanpa harus mengangkat payudara istri aktor Frans Tumbuan ini. Dan setelah serangkaian pengobatan, kondisi tubuh perempuan yang kini berusia 60 tahun ini berangsur membaik. Semua keberhasilan itu tak lepas dari deteksi dini kanker. Karena itu, Rima bisa menyarankan kepada kaumnya agar mewaspadai kesehatan payudara. "Kanker payudara sering datang tiba-tiba tanpa disertai rasa sakit," katanya.

Pesan Rima memang tak salah. Semakin dini kanker terdeteksi, menurut Roem Soedoko, pakar onkologi (ilmu tentang kanker) dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya, potensi kesembuhan juga kian besar. Dari 100 penderita kanker payudara yang berobat pada stadium dini, lima tahun kemudian terdapat 85 orang yang masih hidup. Sebaliknya, dari 100 penderita yang berobat pada stadium lanjut, lima tahun berikutnya hanya lima orang yang bertahan hidup.

Sayangnya, penderita kerap tak menyadari bahwa ada kanker—sel yang berkembang-biak secara liar—pada tubuhnya. Di Indonesia, menurut perkiraan Ario Djatmiko, 80 persen pasien datang berobat ketika kanker payudara sudah mencapai stadium lanjut. Alhasil, akar kanker sudah menyebar ke berbagai organ tubuh. Dan, "Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk upaya penyembuhan," kata Ario dengan prihatin.

Berbekal keprihatinan atas kanker payudara inilah dua saudara kembar, Ario Djatmiko dan Ario Djatmoko, tergerak mendirikan KOS. Klinik ini dilengkapi alat mamografi—deteksi kelenjar susu—yang bernama stereotactic. Alat berbasis teknologi laser ini sanggup mengendus kanker saat masih berdiameter 3 milimeter yang disebut pre-clinic onset. Pada kondisi seperti ini, yang disebut periode emas, kanker belum mendatangkan rasa tidak nyaman pada pasien dan bisa ditangani secara tuntas. Sebagai perbandingan, kanker payudara baru bisa teraba tangan biasa bila diameternya sudah sekitar 1,5 sentimeter. Penanganan kanker pada periode ini, menurut Ario Djatmiko, sebetulnya sudah tergolong terlambat.

Karena itu, pemeriksaan diri secara rutin sebaiknya dilakukan para wanita. Ini terutama berlaku pada kelompok yang berisiko terserang kanker: perempuan yang berusia di atas 30 tahun (25 tahun untuk yang punya saudara atau ibu yang terkena kanker payudara), tidak menikah, menikah tapi tidak punya anak, melahirkan anak pertama di atas usia 35 tahun, dan tidak pernah menyusui anak. Dengan catatan, "Mamografi hanya efektif untuk perempuan di atas 30 tahun," kata Idral.

Selain itu, pemeriksaan payudara sendiri (sadari) perlu pula dilakukan wanita sejak mereka menginjak usia 20 tahun. Idealnya, sadari diulang setiap bulan tujuh hari sesudah masa haid—untuk perempuan menopause dilakukan setiap bulan pada tanggal yang sama. Caranya, sesuai dengan panduan pada situs www.dharmais.co.id, berdiri di depan cermin dengan posisi lengan di bawah, kemudian di atas kepala, dan di pinggang. Dengan saksama, perhatikanlah bentuk, ukuran, warna, dan tekstur payudara. Bila dijumpai benjolan, bagian yang memerah dan berkerut seperti kulit jeruk, serta puting yang bersisik atau mengeluarkan cairan, jangan tunda-tunda lagi untuk datang ke dokter. Semakin cepat berobat, semakin besar peluang menang melawan keganasan kanker.

Mardiyah Chamim dan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus