Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Indonesia dan Kondisi Kris-krisan

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Donnald K. Emmerson *)
*) Senior fellow pada Asia/Pacific Research Center di Stanford University

KRISIS Indonesia sering disebut krismon: krisis moneter. Namun, apa yang dialami negara dan bangsa ini sudah jelas melampaui batas masalah moneter saja. Dari anjloknya rupiah pada 1997 sampai Sidang Tahunan MPR 2000--tiga tahun vivere yang cukup pericoloso--yang dihadapi Indonesia tidak hanya krismon, tapi juga krisek(onomi), krispol(itik), krisbud(aya), krisling(kungan), kriskek(erasan), krisref(ormasi), kriskon(stitusi), krisdis(integrasi), krisper(caya diri), krisgus(dur), dan pelbagai kris yang lain. Ibaratnya, Nusantara ditusuk terus kris-krisan dari semua penjuru angin.

Belakangan ini, dalam penyajian berita dan komentar tentang Indonesia, media massa asing cenderung menekankan empat di antara sekian banyak krisis itu: krisek, kriskek, krisdis, dan krisgus.

Peliputan tentang krisis ekonomi cenderung abstrak dan berisi angka. Pada 10 Agustus, misalnya, pembaca Wall Street Journal diberi tahu bahwa sejak 1 Januari 2000 nilai dolar bursa efek di Indonesia menciut 44,19 persen--prestasi terparah di antara 34 bursa efek di pelbagai negara yang dipantau secara tetap oleh koran itu.

Ketimbang krisis ekonomi, lebih mudah mendramatisasi dua krisis lainnya yang menyangkut gejala kekerasan dan bahaya disintegrasi. Aceh, Maluku, dan Papua berulang-ulang ditonjolkan sebagai contoh berkobarnya krisis-krisis itu. Peliputan media massa ini sering menyoroti kejadian yang mengerikan--pembunuhan, pengungsian, dan lain-lain--tapi jarang memberikan penjelasan secukupnya. Karena itu, pendengar radio, penonton televisi, dan pembaca media cetak kerap bingung menjawab pertanyaan: mengapa baru sekarang krisis kekerasan ini ada? Mengapa terjadi di daerah-daerah tersebut? Akankah Indonesia runtuh?

Krisis keempat yang banyak diperhatikan media asing adalah krisis kepemimpinan. Mereka cenderung menafsirkannya sebagai kisah pahit getirnya seseorang yang buta dan aneh tapi pandai dan berani: Gus Dur. Pada awal jabatan kepresidenannya, penilaian yang banyak dipelihara di luar Indonesia berciri positif. Gus Dur dihargai karena kepintaran, toleransi, dan tekadnya untuk menegakkan demokrasi. Namun, lama-kelamaan simpati mulai diganti skeptisme. Di kalangan pengamat asing, semakin dipertanyakan: apakah Gus Dur masih patut dikelompokkan sebagai pemecah masalah? Ataukah ia sudah terpeleset menjadi bagian dari masalah itu sendiri?

Dalam soal kepemimpinan ini, di antara ribuan foto tentang Indonesia yang disebarkan di luar negeri sejak jatuhnya rupiah pada 1997 sampai sekarang, ada dua yang paling menjatuhkan gengsi pemimpin di Indonesia. Yang pertama menunjukkan Presiden Soeharto tengah membungkuk seakan-akan sedang didikte oleh bos IMF Michel Camdessus yang berdiri tegak dengan lengan bersilang. Foto kedua, yang baru saja beredar di koran, majalah, dan internet, memperlihatkan Presiden Abdurrahman Wahid ketiduran saat ceramahnya dibaca di muka MPR. Sementara foto pertama merongrong penghargaan terhadap Soeharto, yang kedua mengurangi gengsi Gus Dur.

Banyak pemerhati Indonesia di luar negeri, khususnya di Amerika, yang merasakan urgensinya pengambilan tindakan tegas yang dapat membuka jalan bagi penyelesaian krisis-krisis yang sedang melanda Indonesia. Megawati sering dikritik karena kelihatan pasif terhadap keadaan yang penuh kris-krisan itu. Gambaran presiden yang lebih pasif lagi--yang sedang tidur--mau tidak mau diterima sebagai tanda ketidakmampuan yang mencolok pada pemimpin Indonesia yang paling utama: Presiden Abdurrahman Wahid.

Namun, sorotan-sorotan yang semakin kritis ini, khususnya di Amerika, belum menghasilkan konsensus bahwa Indonesia memang sudah tak dapat tertolong lagi. Di kalangan pemerintah bahkan sebaliknya. Yang menjadi pertanyaan mereka bukan apakah dapat membantu Indonesia, melainkan bagaimana seharusnya bentuk, skala, tujuan, dan syarat bantuan itu.

Di Washington, di antara pihak yang mengurusi atau mempengaruhi kebijakan Amerika terhadap Indonesia, ada yang mau menggunakan kesempatan adanya kris-krisan ini untuk menolong Indonesia, termasuk lembaga swadaya masyarakat, untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Pihak lain ada yang ingin membantu melancarkan perjuangan menuju sistem demokrasi dan hukum yang lebih mantap. Kelompok lain lagi memberikan prioritas pada proses reformasi di TNI dan pemberdayaan polisi sebagai penjaga keamanan. Ada pula yang memberikan beberapa syarat sebelum bantuan mengalir, misalnya pengekangan milisi di perbatasan Timor Timur atau pemberian hukuman kepada figur militer yang tampaknya terlibat dalam berbagai keganasan di bawah rezim Soeharto.

Terhadap Indonesia, yang terjadi di Washington bukanlah kekhawatiran apokaliptis dan juga bukan sikap acuh tak acuh. Indonesia dilihat sebagai negara besar yang cukup besar pula dampak keruntuhannya. Pemerhati asing itu juga insaf bahwa bukan faktor luar yang paling menentukan apakah bangsa Indonesia bisa diselamatkan atau tidak. Kuncinya adalah kemampuan di dalam, termasuk kerelaan dan kemahiran politisi di Jakarta untuk bekerja sama meletakkan serta memelihara dasar stabilitas politik yang dapat menopang pembangunan ekonomi dan pelembagaan demokrasi. Dengan begitu, keadaan yang serba kris-krisan ini dapat diakhiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum