Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masalah susu kental manis rupanya masih berlanjut. Kini terkait kepada makna Kebijakan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tentang Susu Kental Manis (SKM) diatur dalam surat edaran SE HK.06.5.51.511.05.18.2000 tahun 2018 tentang Label dan Iklan pada Produk Susu Kental dan Analognya (Kategori Pangan 01.3). Surat edaran ini menjadi perbincangan sejumlah kalangan beberapa bulan lalu. Beragam tanggapan bermunculan.
Baca juga: Ahli Gizi: Ada Dua Jenis Susu Kental Manis
Ada yang mendukung. Ada pula yang menilai kebijakan itu bertentangan dengan Perka BPOM Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kategori Pangan. "Di Perka tahun 2016 mengkategorikan SKM sebagai susu yang masuk pada bagian dari analognya. Sedangkan dalam surat edaran tahun ini, BPOM mengatakan SKM tidak setara dengan susu jenis lain seperti susu sapi, susu pasteurisasi, susu sterilisasi, dan susu formula," jelas Peneliti LBH Jakarta, Pratiwi Febry, di Jakarta, pekan ini.
Agar tidak menjadi bumerang ke depan, Pratiwi berharap Kementerian Kesehatan RI berkoordinasi dengan BPOM untuk mengevaluasi pengkategorian Susu Kental Manis agar tidak membingungkan masyarakat. Sementara itu, Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Kesehatan Masyarakat Kemenkes dr. Eni Gustina, MPH, mengatakan, dalam Perka BPOM tahun 2016 SKM memang masuk dalam kategori susu karena memiliki protein sebanyak 7 persen.
Meski demikian, konsumsi SKM secara rutin sebagai minuman, seperti anjuran yang terdapat pada label kemasan sejumlah produk tetap tidak dibenarkan. Sebab, sebagian besar kandungan susu kental manis adalah gula. Eni mencontohkan di Nusa Tenggara Timur, pemberian ASI ekslusifnya tinggi yaitu mencapai 60 persen di atas rata-rata nasional. Setelah 6 bulan anak-anak dilepas karena para ibu yakin ada susu lain yang bisa menggantikan.
"Hampir semua ibu di sana memberi Susu Kental Manis. Mereka membeli sachet kecil yang terjangkau," papar Eni. Konsumsi SKM oleh anak-anak di NTT sudah berlangsung lama. Tak heran jika NTT menjadi wilayah dengan kasus stunting tertinggi di Indonesia. "Berdasarkan hasil Pantauan Status Gizi (PSG) tahun lalu prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 40,3 persen," pungkasnya.
Baca juga: Waspada Anak Susah Makan, Stunting Mengintai
TABLOIDBINTANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini