Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vanessa Burnt dulunya gadis periang. Di bangku kuliah, di Peterhouse College, Cambridge, Inggris, dia cukup populer. Wajahnya cakep dengan rambut panjang. Nilai mata kuliahnya pun cemerlang. La, tiba-tiba, pertengahan Agustus 2002, nona 22 tahun ini ditemukan tewas lantaran bunuh diri.
"Saya yakin Lariam bertanggung jawab atas kenekatan anak saya," kata Michael Burnt, ayah Vanessa, di hadapan pengadilan pada Maret 2003.
Michael Burnt kemudian memang menggugat Roche Pharmaceutical, produsen Lariam. Namun gugatan itu patah karena tak ada bukti kuat bahwa Lariamlah penyebab bunuh diri Vanessa. "Kami turut menyesal atas peristiwa ini. Tapi, sejauh ini, Lariam masih diakui sebagai obat penangkal malaria jitu oleh berbagai lembaga, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)," demikian komentar resmi pejabat Roche seperti dikutip BBC Health News.
Gugatan memang tidak berujung sukses bagi keluarga Burnt. Namun perkara kematian Vanessa turut menyiram bensin bagi kontroversi panas tentang Lariam. Ini kontroversi yang akhirnya memaksa Food and Drug Administration (FDA), badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, pada 9 Juli 2003, merilis panduan peringatan ketat penggunaan Lariam. Langkah yang agresif ini tergolong langka. Maklum, sepanjang sejarah FDA, hanya 17 merek dari ratusan ribu merek obat yang harus disertai panduan ketat.
Inilah inti amanat FDA: dokter wajib menjelaskan secara langsung dan komplet risiko Lariam kepada pasien. Fakta bahwa Lariam berisiko menyebabkan gangguan jiwa yang serius tak boleh disembunyikan—gangguan jiwa yang bukan mustahil terus bertahan bahkan jauh sesudah konsumsi Lariam distop. Obat ini pun tak boleh diresepkan pada pasien yang punya riwayat diri atau keluarga mengidap depresi berat, skizofrenia, dan gangguan kejiwaan yang berat lainnya.
Lariam, dengan senyawa aktif meflokuin, adalah pisau bermata ganda. Di satu sisi, dia diyakini sebagai penangkal jitu malaria, penyakit yang menghinggapi puluhan juta warga dunia. Di Indonesia, misalnya, setiap tahun muncul 15 juta penderita malaria—30 ribu di antaranya meninggal per tahun.
Nah, mengingat seriusnya ancaman malaria, keampuhan meflokuin sempat memikat perhatian dunia dan dianggap sebagai penyelamat potensial. Apalagi Plasmodium sp., parasit penyebab malaria, sudah kebal terhadap obat-obatan generasi sebelumnya semisal kina dan klorokuin. Walhasil, pamor Lariam melejit dan telah diresepkan pada sedikitnya 22 juta orang di seluruh dunia. Sebagian besar konsumennya adalah turis dan tentara yang ditugasi tinggal di daerah rawan malaria.
Namun, di sisi lain, Lariam yang dipasarkan pada 1985 dicurigai sanggup menggedor keseimbangan sistem saraf pusat. Sebagai akibatnya, muncul gangguan psikiatris seperti depresi, kecemasan, paranoia, halusinasi, bahkan sampai menyulut niat bunuh diri. Data FDA menunjukkan, selama empat tahun terakhir dilaporkan terjadi 11 kasus bunuh diri, 12 percobaan bunuh diri, 41 kasus serius ingin bunuh diri, dan 144 kasus depresi di antara pengguna Lariam.
Investigasi yang digelar United Press International (UPI), Mei 2002, kian memunculkan sisi gelap Lariam. UPI merekrut puluhan relawan yang diberi berbagai jenis obat antimalaria, termasuk meflokuin. Secara rutin dalam dua bulan eksperimen, para relawan menjalani evaluasi fisik dan mental menyeluruh. Hasilnya, kelompok relawan yang minum Lariam dilaporkan kena depresi lima kali lebih banyak dibandingkan dengan relawan yang tanpa Lariam.
Obat yang dijuluki nightmare drug itu juga pernah diduga terkait dalam insiden mengerikan di Fort Braggs, pangkalan militer Amerika di North Carolina. Hanya dalam enam pekan, Juni-Juli 2002, empat perempuan tewas di markas militer yang dihuni 40 ribu prajurit AS ini. Keempatnya dibantai oleh suami mereka sendiri—para prajurit yang baru pulang dari tugas di medan berat Afganistan dan telah berbulan-bulan rutin minum Lariam. Tiga dari empat prajurit tega hati ini akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.
Tidak jelas betul bagaimana Lariam mempengaruhi perilaku keempat prajurit itu hingga mereka tega hati bertindak kejam. Hasil investigasi yang digelar Departemen Pertahanan AS juga tidak secara spesifik memaparkan depresi yang diderita keempat prajurit Fort Braggs tadi. Tapi ada lusinan kisah korban Lariam, termasuk Vanessa Burnt, yang bisa kita gali untuk menggambarkan efek Lariam pada tubuh.
Pada 1999, Michael Burnt menuturkan, anak gadisnya memutuskan untuk melancong ke dataran Asia. Vanessa malah berkeinginan menghabiskan waktu satu tahun untuk mengajari anak-anak kecil di Cina. Nah, demi menjaga diri dari malaria yang merajai Asia Tenggara, Vanessa minum tablet Lariam.
Apa daya, sejak minum Lariam satu tablet seminggu, Vanessa kerap mengeluhkan lesu dan gelisah. Aktivitas pelancongan pun tak bertahan lama. Setelah beberapa pekan di Asia, Vanessa kembali ke kampung halamannya di Sketty, Swansea, Inggris. "Dia mengeluhkan bayang-bayang tak jelas yang sering menghantui matanya," kata Michael Burnt.
Tak cuma hantu bayangan, semangat hidup Vanessa seolah terbang. Sehari dia tidur sampai 14 jam, bobot tubuhnya membengkak, dan dia terlalu lemas untuk bisa kuliah. Situasi yang depresif ini tak pernah tuntas hingga akhirnya Vanessa bunuh diri dengan cara menelan obat penenang sampai overdosis.
Lalu bagaimana orang mesti bertindak? Dr. Syafrudin, peneliti malaria dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, membenarkan bahwa sampai kini para ahli belum mengetahui persis bagaimana mengatasi efek samping Lariam.
Syafrudin melanjutkan, jalan terbaik guna menangkal malaria adalah jangan sampai tergigit nyamuk Anopheles sp. yang membawa parasit malaria. Selain menjaga kebersihan lingkungan, kelambu, sarung tangan, selimut, dan baju lengan panjang bisa jadi jalan keluar. Tentu saja solusi ini tak sepenuhnya ideal karena siapa pun tidak mungkin mengerubuti diri dengan selimut sepanjang waktu. Lagi pula iklim tropis yang panas pasti membuat orang kegerahan dan enggan berkelambu atau berselimut.
Untunglah, Syafrudin menambahkan, selama ini dokter di Indonesia relatif jarang meresepkan Lariam—karena dua hal. Pertama, harganya mahal, sekitar US$ 5 tiap tablet. Bandingkan dengan klorokuin, yang hanya beberapa sen rupiah per tablet. Kedua, "Meflokuin juga turunan dari quinine yang sudah resistan di sini," kata Syafrudin, "Dikhawatirkan, penggunaan Lariam justru meningkatkan resistansi parasit malaria." Karena itu, Pusat Informasi dan Penanganan Malaria, di Manado, memutuskan tidak merekomendasikan Lariam sebagai tindak pencegahan malaria.
"Kami juga lebih memilih klorokuin untuk pencegahan," kata Syafrudin. Mereka yang pergi ke pedalaman dan daerah rawan malaria perlu minum satu tablet klorokuin 300 miligram per minggu. "Itu sudah cukup kuat untuk menangkal malaria," kata Syafrudin. Jika sedang musim penularan, biasanya menjelang musim hujan, dosis pencegahan ditingkatkan menjadi dua tablet klorokuin seminggu.
Namun, biarpun sudah minum klorokuin, sebaiknya Anda tetap waspada. Tak ada jaminan tindak pencegahan ini bisa sukses seratus persen. Segeralah kunjungi dokter jika terasa panas-dingin khas malaria hinggap di tubuh.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo