Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI lantai delapan apartemen di Jalan Hougang Ave, Singapura, itu sesosok tubuh terjun melayang pada 27 Juli silam. Meluncur tanpa hambatan, hanya dalam beberapa detik tubuh itu terempas di lantai dasar blok 328 apartemen tersebut, remuk bersama galah bambutempat menjemur pakaian—dan langsung tewas. Tak adayang menyangka hidup gadis belia itu—usianya baru 20tahun—berakhir demikian tragis. Namanya Windy.
Baru dua hari Windy bekerja pada Nyonya TanTech Heng. Laporan polisi setempat menyebutkan,Windy tewas akibat kecelakaan. Ah, kecelakaan? "Tewaspada pukul 06.00 pagi, saat menjemur pakaian,"begitu bunyi penyelidikan awal, seperti dikutip darikawat Kedutaan Besar Indonesia di Singapura. Catatanresmi menyebut dia tenaga kerja wanita (TKW)Indonesia ke-90 yang meninggal dalam empat tahunterakhir di Kota Singa.
Memang belum ada kesimpulan akhir sebab-musabab kematian Windy. Menurut cerita keluarganyadi Malang, Jawa Timur, gadis itu tak pernah punyapenyakit serius. Dia juga tak takut pada ketinggian."Sejak kecil dia suka naik-turun bukit," ujar Giyem,nenek dara malang itu. Artinya, kecurigaan diabunuh diri, seperti nasib 27 buruh migran asal Indonesialainnya, juga belum terbukti. Dua hari sebelum ajal,dia sempat menelepon ke rumah. "Dia bilangmajikannya orang baik," kata Giyem.
Tapi, tunggu dulu. Windy ternyata punya duanama. Nama aslinya Yunita Hani Pratiwi. Nama itutercatat pada kartu keluarga di kampung asalnya, DesaJatisari, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.Namun di paspor miliknya, namanya berubah menjadisatu kata: Windy. "Supaya majikan mudahmengingatnya," kata Muhammad Ula, agen perusahaan tenagakerja yang mengirim Windy ke Singapura. Rupanya,menurut Ula, ganti nama bagi TKW sudah perkara biasa.
Ula adalah Direktur PT Citra Nusa KaryaSemesta, agen penyalur resmi tenaga kerja di Malang.Menurut pengakuannya, dialah yang mengubah namaYunita ketika mengurus paspor. Caranya denganmengganti kartu tanda penduduk (KTP). Gadis yang berasaldari Jatisari itu pun lalu berubah menjadi pendudukKebon Dalem, Kota Madya Malang. Dengan memakai KTP kota, menurut Ula, urusan tetek-bengekadministrasi bisa lebih lancar. "Tak harus bolak-balik kekampung," katanya.
Tapi kebanyakan buruh migran tak sadar, mengubah nama justru menjadi awal petaka. KeluargaWindy beruntung karena agennya, PT Citra, cepatbertindak. Begitu mendengar kabar TKW itu tewas, merekasegera mengurus jenazah, agar bisa dipulangkan kekampung. Perusahaan itu juga memberi santunan,serta asuransi Rp 10 juta. Dalam kasus lain, banyakTKW yang tewas tapi jenazahnya tak bisa dipulangkan.Soalnya, alamat mereka tak jelas, dan agennya lepastangan. Umumnya mereka berasal dari Jawa Tengah, sekitar Cilacap atau Banyumas. Jalurpengirimannya lewat Jakarta atau Batam.
Figel Karundeng, aktivis Nakerwan, sebuah organisasi nirlaba pembela hak buruh migran danberbasis di Batam, mengatakan ekspor pekerja keSingapura sebenarnya cukup tertib. Berbeda denganMalaysia, di Singapura para pekerja rantau itu masuk lewatjalur legal. "Mereka dikirim atas permintaan majikan,"tutur Figel. Tapi, menurut dia, para agen dancalo—yang punya label keren, "sponsor"—tampaknya selalupunya celah menangguk untung.
Soal-menyulap umur, misalnya. Batas usia minimal bekerja di Singapura adalah 20 tahun. Tapiberkat "kerajinan tangan" para calo, mereka yangberumur 15 sampai 19 tahun pun bisa disulap lebihtua lima tahun. Selain itu, banyak juga perusahaanjasa tenaga kerja (PJTKI) mengalihkan paspor, atauizin bekerja, dari mereka yang minggat meninggalkanmajikan, ke calon tenaga kerja lain. Akibatnya,identitas TKW sering berbeda dari aslinya.
Belum lagi soal gaji. Banyak buruh migran stresakibat tak menerima gaji setengah tahun. Soalnya,semua upah mereka dipotong agen. Menurut Figel,gaji S$ 250, yang harus mereka terima tiap bulan,dibabat habis sampai tersisa hanya S$ 10. Taruhlah S$240 dikalikan enam bulan, maka agen menangguk duitsekitar S$ 1.440. Dengan kurs Rp 4.800, jumlah itusekitar Rp 7 juta. "Itu untuk ganti ongkos danfee agen," katanya.
Bukan hanya soal upah dipangkas, nasib mereka di negeri jiran juga kian terpuruk. Dalamsoal kecakapan, mereka masih kalah dari rekannyaasal Filipina. Noorashikin Abdul Rahman, anggotaThe Working Committee 2, badan resmi yang memperjuangkan hak buruh migran di Singapura, punyacatatan menarik. Buruh migran asal Filipina, katadia, dibayar S$ 320, sedangkan Indonesia S$ 230.Setelah dipotong agen, rata-rata mereka cuma menerimaS$ 10 setiap bulan. "Potongan itu menjadi laba siagen," tutur Noorashikin.
Soal meraup laba yang mengkilap itu, simaklah pengalaman Djoko Santoso. Lelaki 50 tahun iniawalnya pegawai negeri di Dinas Tenaga KerjaKabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tapi sembilan tahun laludia balik gagang menjadi agen tenaga kerja.Pengalamannya bekerja di lembaga pemerintah ituternyata berguna dalam urusan bisnis otot ini.
Bagi dia, satu orang buruh migran bisamendatangkan laba Rp 700 ribu sampai Rp 1,5 juta. Padahal,sampai saat ini Djoko telah mengirimkan tak kurangdari 5.000 TKW. Apalagi Cilacap termasuk lumbungburuh migran. Sampai Juli 2003, daerah itu mengirimsekitar 3.500 TKI ke luar negeri. Mereka mengikutijejak 15 ribu warga Cilacap lainnya yang lebihdulu merantau memburu dolar.
Kini di Cilacap ada sekitar 27 perusahaan agen.Mereka bertindak sebagai kantor cabang, ada jugayang memang berpusat di sana. Bisnis itu juga punyajaringan kuat sampai ke pelosok desa. Mereka mengirim calo untuk menjaring peminat. Umumnyapara gadis dusun terpikat cerita sukses parabatur di Singapura, yang pulang kampungbergemerincing dolar.
Untuk menjaring peminat, agen biasanyamenyebar calo. Misalnya Djoko, yang punya 40 calo dibawah komandonya. Dia berkantor di Purwokerto, tapicalonya menyebar dari Banyumas, Cilacap, Brebes,Purbalingga, sampai Banjarnegara. Para calo inilahyang "bergerilya" dari desa ke desa. Kiatnya punampuh. Mereka mendekati kepala desa, dan menggelarpertemuan terbuka. Tak jarang mereka merekrut calobaru pula.
Kasirun, 45 tahun, Kepala Dusun Wadas Jontor, Desa Patimuan, Cilacap, mengatakan dulunyadia mendapat bonus Rp 200 ribu untuk seorang TKW. Posisinya waktu itu sebagai "subcalo" dariseorang calo di desa itu. Tapi, dia naik pangkat menjadicalo setelah bertemu Djoko, yang bergerak denganPT Assalam Karya Manunggal di Purwokerto. "Sejakjadi calo, saya dapat Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta,"kata Kasirun.
Menurut Djoko, semua tenaga kerja yangmendaftar tidak dikutip biaya. Cuma, mereka harusmengganti ongkos paspor, tiket, dan visa plus penginapansementara. Biaya itu dibayar dengan cara memotong gaji. Besarnya tak tentu, biasanya disesuaikandengan upah si buruh. Misalnya, bagi yang bekerja disektor nonformal di Arab Saudi, hanya dikenakanfee. "Soalnya tak ada istilah potong gaji di sana," ujarnya.Tapi, yang dikirim ke Singapura atau Hong Kong, saatmenerima gaji pertama, langsung kena pangkas."Rata-rata kita potong sampai tujuh bulan," ujarnya.
Sayangnya, untung besar itu tak dipakai untukmeningkatkan kecakapan para TKW. James Loing, agen dari Purwokerto, mengaku banyak agen yangsembrono menyiapkan para TKW. Akibatnya, ketikabekerja, mereka sering mendapat perlakuan kasardari majikan. Masalahnya kerap dipicu olehketerampilan pembantu rumah tangga yang cekak. Jarang adaagen yang menyelenggarakan pendidikan, semisalbahasa atau keterampilan lain.
Padahal, para buruh migran itu umumnya berasal dari desa. Di Singapura, mereka sering bingung menghadapi budaya rumah tangga perkotaan. Menurut dia, banyak yang disiksa majikan, gara-gara soal sepele. Misalnya, kata Loing, "Mereka tak tahu cara menyetrika pakaian mahal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo