Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cukai Halal

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zaim Saidi Direktur Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) PIRAC

BEBERAPA pekan terakhir ini masalah label halal kembali dipertentangkan berbagai pihak. Pemicunya adalah langkah Departemen Agama mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal. Padahal, sekitar setahun lalu, hal serupa sudah terjadi karena Menteri Agama menerbitkan tiga keputusan (No. 518/2001, 519/2001, dan 525/2001) yang diprotes banyak pihak lantaran dianggap menambah masalah. Keputusan itu bermasalah karena secara substansial bertentangan dengan PP No. 69/99 tentang Label dan Iklan Pangan, yang menegaskan bahwa sertifikasi halal bersifat sukarela. Tiga keputusan Menteri Agama di atas dinilai akan menciptakan sistem labelisasi yang tidak adil dan tidak masuk akal, bias negara, birokratis, berbiaya tinggi, serta rawan korupsi-kolusi-nepotisme.

Diam-diam rupanya Departemen Agama tidak sekadar bergeming, bahkan seolah mengumpulkan segenap tenaga dan mengeluarkan "jurus pamungkas" dengan menyusun RPP di atas. Secara substansial, isi RPP ini bukannya merespons keberatan berbagai pihak atas potensi masalah yang akan ditimbulkannya, bahkan lebih kebablasan—dan menaikkan derajat aturan yang dibuatnya dari keputusan menteri menjadi peraturan pemerintah. Sistem labelisasi halal yang tidak adil dan tidak masuk akal, serta berbiaya tinggi, bukan saja dipertahankan, bahkan diposisikan sebagai sumber pendapatan negara bukan pajak. Untuk ini Departemen Agama mengintrodusir "label halal resmi" yang penggunaannya harus seizin mereka dan karena itu pula pencantuman label halal selain darinya dilarang. Secara praktis label halal nantinya akan menjadi semacam cukai rokok atau minuman keras.

Dilihat dari teori penyusunan kebijakan publik, tindakan Departemen Agama ini jelas sangat tidak bisa diterima. Cukai yang dikenakan pada suatu komoditas oleh pemerintah pada dasarnya adalah suatu bentuk intervensi negara yang untuk membenarkannya diperlukan alasan pembenar yang rasional. Dalam hal produk pangan, seperti yang terjadi pada produk rokok dan minuman keras, pengenaan cukai bisa dibenarkan karena dua alasan. Pertama, keduanya tergolong sebagai produk yang berisiko bagi orang yang mengkonsumsinya. Bahkan setelah produk itu dikonsumsi dalam waktu yang relatif lama pun ada kemungkinan baru atau masih terjadi dampak buruk. Kedua, produk-produk itu menimbulkan biaya sosial karena dampak buruknya tidak terbatas pada orang yang secara langsung mengkonsumsinya. Perokok, misalnya, menimbulkan polusi udara dan mencelakakan perokok pasif.

Jelaslah bahwa penarikan cukai bukan sekadar bertujuan menaikkan penerimaan negara sebagaimana diharapkan diperoleh dari pajak. Pengenaan cukai adalah sebentuk "hukuman" atau denda kepada pemakai produk bersangkutan kalau memaksakan diri mengkonsumsinya. Dengan adanya cukai, harga produk tersebut menjadi lebih mahal. Efek yang diharapkan dari adanya kemahalan ini adalah konsumen mengurangi atau menahan diri mengkonsumsinya. Penerimaan negara dari cukai produk bermasalah serupa itu bisa digunakan untuk menanggulangi biaya sosial yang ditimbulkannya.

Bagaimana dengan produk halal? Dapatkah dikenai cukai semacam ini? Jelas tidak. Produk halal tidak membawa suatu masalah (risiko) apa pun. Tidak ada biaya sosial yang ditimbulkannya. Kalau pemerintah mengenakan cukai untuk produk semacam ini, lantas perolehan cukai halal ini akan dipakai untuk apa? Karena tidak dapat ditemukan dasar pembenarannya, kita bisa menggolongkan penarikan biaya semacam ini sebagai perburuan rente alias komersialisasi (agama).

Jadi, dari perspektif kebijakan publik, kalau mau diterbitkan, cukai semacam ini seharusnya justru dikenakan pada produk yang haram. Meskipun tidak ada beban sosial yang ditimbulkannya, produk haram dalam negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia ini selalu saja menimbulkan persoalan. Karena itu, intervensi negara justru harus ada di sini meskipun tidak harus dalam bentuk cukai. Yang lebih wajar adalah dalam bentuk "label haram" sebagai pemenuhan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang produk yang akan dibelinya.

Berbeda dari label halal, yang menurut UU No. 7/1986 tentang Pangan, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan bersifat sukarela, dan harus dipertahankan tetap seperti itu, label haram harus bersifat wajib. Mengatur produk haram jelas lebih mudah dan murah daripada mengatur produk halal. Pengaturan label haram lebih konsisten dengan asas pembenaran intervensi negara, selain lebih mudah dan murah, karena menyangkut situasi perkecualian. Dan bukankah menurut fikih Islam semua jenis makanan adalah halal kecuali yang diharamkan?

Dengan mewajibkan produsen yang memproduksi dan/atau memasarkan produk yang (mengandung) haram menempelkan label haram pada produknya, pemerintah telah memenuhi hak konsumen (muslim) secara lebih mudah dan murah, sekaligus menyelesaikan ribut-ribut yang setiap kali muncul karena kontroversi label halal. Karena sudah ada PP yang mengaturnya (PP No. 69/99), RPP Jaminan Produk Halal di atas tidak perlu ada. Agak lucu juga sebenarnya soal labelisasi halal itu sendiri, yang tujuannya menyelesaikan suatu masalah tapi justru telah menjadi masalah baru. Boleh jadi ini karena kekonyolan kita sendiri yang menganggap sesuatu yang tidak bermasalah (produk halal) sebagai masalah. Lebih runyam lagi kekeliruan berpikir ini telah memberikan celah bagi kelompok tertentu untuk memainkannya dan menjadikannya sumber pendapatan. Persoalan labelisasi halal (atau haram) seharusnya tidak ditangani oleh mereka yang sarat kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus