Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belum reda ingatan kita dengan kejadian geng kenakalan remaja beberapa bulan lalu. Akhir-akhir ini kita kembali dikejutkan dengan maraknya berbagai aksi perundungan oleh anak-anak usia sekolah. Kejadian-kejadian ini berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Tercatat kejadian bullying dalam beberapa minggu terakhir terjadi di Gresik, Kuningan, Cilacap, Balikpapan, hingga Buton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari data yang dikumpulkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), tercatat sebanyak 23 kasus perundungan yang terjadi di berbagai satuan pendidikan sejak Januari hingga September 2023. Dari 23 kasus tersebut, sebanyak 50 persen bullying terjadi di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), disusul tingkat Sekolah Dasar (SD) 23 persen, dan sisanya terjadi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau melihat fenomena di atas, tampak sekali bahwa mayoritas kejadian perundungan ini terjadi pada tingkat anak-anak praremaja menuju remaja (SD-SMP)," jelas pengamat pendidikan Ahmad Fahrizal Rahman, S.T., M.Pd, saat dihubungi Tempo.
Sekretaris Yayasan Almuslim Jawa Timur itu menyatakan usia-usia praremaja ini adalah usia anak dengan kondisi emosi yang belum stabil. Mereka masih dalam proses mencari jati diri dan berusaha mencari pengakuan eksistensi diri dari lingkungan sekitar, ditambah kurangnya kedekatan anak dengan orangtua dan kesalahan pola asuh terhadap anak yang tidak tepat.
"Keluarga yang suka menghukum dengan cara fisik dan menggunakan kata-kata kasar, maka anak akan merasa hal demikian itu dibenarkan sehingga ketika bermasalah dengan temannya maka dia akan berperilaku kasar juga ke temannya," lanjut lulusan S-2 jurusan Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang itu.
Pola asuh yang otoriter tersebut juga bisa menyebabkan anak-anak melampiaskannya ketika bergaul di lingkungan luar rumah karena ketika di rumah, mereka tidak berdaya saat berhadapan dengan orang tua mereka. Mengapa kejadian ini bisa sampai terjadi dalam skala nasional?
"Hal ini karena mudahnya mereka mengakses aplikasi-aplikasi media sosial ataupun media tontonan online. Banyak berita di media massa maupun adegan film yang menampilkan kekerasan yang beredar akhir-akhir ini. Itu juga bisa menjadi contoh bagi anak-anak remaja tersebut. Mereka menganggap aksi-aksi kekerasan tersebut sebagai perbuatan jagoan yang keren," papar alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya itu.
Pengaruh lingkungan
Berbagai faktor tersebut di atas, baik kondisi di rumah yang kurang kondusif, akses media video yang bebas tanpa batas, hingga pengaruh lingkungan sekitar, menyebabkan begitu maraknya kejadian perundungan. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga lembaga perlindungan ibu dan anak telah menetapkan konten/materi pendidikan antiperundungan. Hal ini ditekankan kembali melalui Permendikbudristek no. 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.
Akan tetapi, tentu penerapan permendikbudristek tersebut membutuhkan proses yang tidak singkat. Apalagi dengan jumlah sekolah yang begitu banyak di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
"Sekali lagi, penekanan peran orang tua dalam pembentukan perilaku baik pada anak juga sangat diperlukan. Kegiatan tersebut tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah. Kemampuan sekolah dalam membina para siswa terbatas hanya pada saat kegiatan PBM di sekolah. Dengan waktu aktif sekolah maksimal hanya 7 sampai 8 jam per hari untuk sekolah satu hari penuh, tentu pengawasan pihak sekolah tidak berlangsung maksimal di jam luar sekolah," jelasnya.
Kerjasama seluruh pihak, baik orang tua, sekolah, hingga lingkungan masyarakat sangat perlu untuk ditingkatkan demi pembentukan perilaku yang baik pada anak-anak.