Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mbok Wiryadi Ingin Membeli Celana

Korban keracunan tempe bongkrek di kab. banjarnegara, ja-teng 113 orang dirawat dirumah sakit, 18 orang meninggal, sebenarnya pemda ja-teng telah melarang pembuatan tempe bongkrek tersebut sejak thn 1962.(ksh)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP tahun, sejak 1951, tempe bongkrek minta korban di kalangan penduduk Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Karena itu pada 1962 Pemda Jawa Tengah mengeluarkan larangan membuat jenis makanan ini. Tapi hari-hari di ujung tahun 1979 baru lalu makanan rakyat yang populer itu kembali beraksi. Ada 113 orang harus digotong ke rumahsakit, 40 di antaranya sakit berat, 18 jiwa melayang. Minggu lalu dr. Marbaniati, Kepala Pemberantasan & Pencegahan Penyakit Menular (P3M) Kabupaten Banjarnegara menemukan selonjor tempe bongkrek sisa para korban, kemudian mengirimkannya ke P3M Provinsi Ja-Teng di Semarang dan ke Laboratorium Kriminil Mabak Jakarta. Menurut Marbaniati, racun bongkrek ditimbulkan oleh bakteri yang disebut pseudomonas cocovenenance. Bakteri ini dapat tumbuh dengan cepat pada ampas kelapa (bahan tempe bongkrek) yang lembab. Begitu pula racunnya bisa lebih ganas bila bongkrek dibuat dengan alat dari tembaga. Bongkrek yang tidak beracun, biasanya dibuat dengan alat dari kayu. Diduga racun seperti itulah yang telah menghinggapi 13 lonjor tempe bikinan Mbok Wiryadi dari Dukuh Pacet, Desa Petir, Kecamatan Purwanegara Kabupaten Banjarnegara. Mbok Wiryadi mengaku baru pertama kali membuat bongkrek karena ingin membeli selembar celana bagi Tasromi, anaknya. Linglung Minggu sore 30 Desember 1979 lalu, Mbok Wiryadi membeli ampas kelapa seharga Rp 100 dari Muhrodji, tetangganya, berikut ragi seharga Rp 10. Berharap mendapatkan keuntungan paling sedikit untuk membeli celana anaknya, mula-mula ia menjual tempenya di Pacet, dukuhnya sendiri dan sisanya di Pasar Bedug, Desa Kaliajir. Di Dukuh Pacet ada 31 orang yang makan, 15 di antaranya sakit parah termasuk Mbok Wiryadi sendiri dan 7 meninggal -- 6 di antaranya keluarga dekatnya serta Tasromi, si anak yang minta celana. Di Dukuh Pakuran, Desa Pucungbedug, dari 8 yang makan, 5 dirawat 3 meninggal. Tapi di Dukuh Buaran, tempe yang dihidangkan sebagai sambal goreng dalam sebuah pesta dan dimakan 37 orang, hanya menyebabkan seorang sakit. "Itu karena porsi tempenya sedikit," kata dr. Marbaniati. Di Desa Kaliajir, 2 dukuh terkena. Di antara 22 yang makan di Dukuh Bodong, 16 dirawat, sisanya meninggal. Sedang di Dukuh Silongok, 15 yang makan, hanya 3 yang sakit dan 1 meninggal. Tempe bongkrek, menurut penduduk yang menggemarinya memang enak. Harganya pun murah. Selonjor hanya Rp 15 dan cukup untuk bahan sayur sekeluarga sekali makan. Tapi untuk mengatakan bongkrek makanan murah, dr. Marbaniati keberatan. Karena katanya masih banyak makanan lain yang lebih murah, misalnya sayuran. Di sepanjang Desa Petir -- Pucungbedug -- Kaliajir, semuanya di Kecamatan Purwanegara, banyak tanaman singkong, kangkung, bayam dan jenis kacang-kacangan. "Saya cenderung menyebut penduduk ketagihan," kata Marbaniati. Karena larangan menjual bongkrek cukup ketat hingga lama tidak muncul, begitu tampak dijual di pasar penduduk menyerbunya. Larangan itu disahkan oleh DPRDGR Jawa Tengah 1962. Sebelum diundangkan Pangdam VII/Diponegoro pada 1961 juga sudah mengeluarkan larangan. Sanksi bagi pelanggar larangan 1962 itu denda Rp 5.000 atau 3 bulan kurungan. "Tapi ketika itu pembuatnya sendiri juga meninggal, hingga tak seorang pun yang terkena sanksi hukum," kata Marbaniati. Sebuah seminar pernah diadakan Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, pada 1975. Maksudnya antara lain menemukan bahan penawar agar tempe bongkrek bebas dari racun. Meskipun seminar melahirkan beberapa saran, ternyata belum memberi manfaat. Adakah Mbok Wiryadi juga akan dikenai sanksi hukum? "Bagaimana saja nanti setelah ia keluar dari rumah sakit," ujar Marbaniati lagi. Karena 6 jiwa keluarganya sendiri ikut melayang, kabarnya Mbok Wiryadi kini jadi linglung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus