SETIAP tahun, sejak 1951, tempe bongkrek minta korban di
kalangan penduduk Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Karena
itu pada 1962 Pemda Jawa Tengah mengeluarkan larangan membuat
jenis makanan ini. Tapi hari-hari di ujung tahun 1979 baru lalu
makanan rakyat yang populer itu kembali beraksi. Ada 113 orang
harus digotong ke rumahsakit, 40 di antaranya sakit berat, 18
jiwa melayang.
Minggu lalu dr. Marbaniati, Kepala Pemberantasan & Pencegahan
Penyakit Menular (P3M) Kabupaten Banjarnegara menemukan selonjor
tempe bongkrek sisa para korban, kemudian mengirimkannya ke P3M
Provinsi Ja-Teng di Semarang dan ke Laboratorium Kriminil Mabak
Jakarta. Menurut Marbaniati, racun bongkrek ditimbulkan oleh
bakteri yang disebut pseudomonas cocovenenance. Bakteri ini
dapat tumbuh dengan cepat pada ampas kelapa (bahan tempe
bongkrek) yang lembab. Begitu pula racunnya bisa lebih ganas
bila bongkrek dibuat dengan alat dari tembaga. Bongkrek yang
tidak beracun, biasanya dibuat dengan alat dari kayu.
Diduga racun seperti itulah yang telah menghinggapi 13 lonjor
tempe bikinan Mbok Wiryadi dari Dukuh Pacet, Desa Petir,
Kecamatan Purwanegara Kabupaten Banjarnegara. Mbok Wiryadi
mengaku baru pertama kali membuat bongkrek karena ingin membeli
selembar celana bagi Tasromi, anaknya.
Linglung
Minggu sore 30 Desember 1979 lalu, Mbok Wiryadi membeli ampas
kelapa seharga Rp 100 dari Muhrodji, tetangganya, berikut ragi
seharga Rp 10. Berharap mendapatkan keuntungan paling sedikit
untuk membeli celana anaknya, mula-mula ia menjual tempenya di
Pacet, dukuhnya sendiri dan sisanya di Pasar Bedug, Desa
Kaliajir. Di Dukuh Pacet ada 31 orang yang makan, 15 di
antaranya sakit parah termasuk Mbok Wiryadi sendiri dan 7
meninggal -- 6 di antaranya keluarga dekatnya serta Tasromi, si
anak yang minta celana.
Di Dukuh Pakuran, Desa Pucungbedug, dari 8 yang makan, 5 dirawat
3 meninggal. Tapi di Dukuh Buaran, tempe yang dihidangkan
sebagai sambal goreng dalam sebuah pesta dan dimakan 37 orang,
hanya menyebabkan seorang sakit. "Itu karena porsi tempenya
sedikit," kata dr. Marbaniati. Di Desa Kaliajir, 2 dukuh
terkena. Di antara 22 yang makan di Dukuh Bodong, 16 dirawat,
sisanya meninggal. Sedang di Dukuh Silongok, 15 yang makan,
hanya 3 yang sakit dan 1 meninggal.
Tempe bongkrek, menurut penduduk yang menggemarinya memang enak.
Harganya pun murah. Selonjor hanya Rp 15 dan cukup untuk bahan
sayur sekeluarga sekali makan. Tapi untuk mengatakan bongkrek
makanan murah, dr. Marbaniati keberatan. Karena katanya masih
banyak makanan lain yang lebih murah, misalnya sayuran. Di
sepanjang Desa Petir -- Pucungbedug -- Kaliajir, semuanya di
Kecamatan Purwanegara, banyak tanaman singkong, kangkung, bayam
dan jenis kacang-kacangan. "Saya cenderung menyebut penduduk
ketagihan," kata Marbaniati. Karena larangan menjual bongkrek
cukup ketat hingga lama tidak muncul, begitu tampak dijual di
pasar penduduk menyerbunya.
Larangan itu disahkan oleh DPRDGR Jawa Tengah 1962. Sebelum
diundangkan Pangdam VII/Diponegoro pada 1961 juga sudah
mengeluarkan larangan. Sanksi bagi pelanggar larangan 1962 itu
denda Rp 5.000 atau 3 bulan kurungan. "Tapi ketika itu
pembuatnya sendiri juga meninggal, hingga tak seorang pun yang
terkena sanksi hukum," kata Marbaniati.
Sebuah seminar pernah diadakan Universitas Jenderal Sudirman,
Purwokerto, pada 1975. Maksudnya antara lain menemukan bahan
penawar agar tempe bongkrek bebas dari racun. Meskipun seminar
melahirkan beberapa saran, ternyata belum memberi manfaat.
Adakah Mbok Wiryadi juga akan dikenai sanksi hukum? "Bagaimana
saja nanti setelah ia keluar dari rumah sakit," ujar Marbaniati
lagi. Karena 6 jiwa keluarganya sendiri ikut melayang, kabarnya
Mbok Wiryadi kini jadi linglung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini