BAYI itu belum bernama. Orang tuanya mungkin tak sempat memikirkannya. Ada yang lebih penting dari sekadar memberi nama, rupanya. Lihatlah. Sejak lahir, awal Januari lalu, hari-hari bayi itu tak pernah lepas dari peralatan ''meriah" yang mengelilinginya. Tubuhnya yang masih ringkih dihubungkan dengan sederet peralatan mesin. Sebuah alat bantu pernapasan tersambung ke hidung si kecil. Di bagian mulutnya yang mungil, tertempel selang bergaris tengah dua milimeter. Melalui selang yang tersambung dengan peralatan komputer inilah tetes demi tetes susu dialirkan ke mulut bayi, setiap menit.
Bukan hanya itu ''kemeriahan" yang harus dinikmati sosok mungil yang tergolek di dalam inkubator bersuhu hangat itu. Bila balutan selimutnya dibuka, tampak katup bulat lembut yang menempel di kulit kisut bayi bagian dada dan paha. Katup ini terhubung ke layar monitor komputer yang tiap detik melaporkan gambar pergerakan jantung dan napas si bayi. Melalui monitor bersuara ''tut-tut-tut…" ini pula, perawat bisa mengawasi apakah jantung dan napas si orok masih bekerja dengan baik.
Repot nian. Namun, bayi yang lahir prematur itu tak punya pilihan lain. Semua peralatan serba elektronik itulah yang turut mendukung kehidupan bayi yang sudah nongol ketika usia kehamilan ibunya baru delapan bulan. Saat baru lahir, anak pasangan Lestari-Harun ini hanya berbobot 840 gram. ''Sekarang sudah mendingan," kata perawat jaga di Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Jakarta, tempat bayi itu dirawat. Selapan (35 hari) kemudian, bobot si bayi memang bisa mencapai hampir dua kilogram.
Perawatan bayi prematur memang bukan perkara sepele. Berbeda dengan bayi normal yang bisa menyedot susu, bayi prematur hanya bisa menerima susu yang diteteskan pelan-pelan. Kalau tidak, bayi yang paru-parunya mungkin belum berkembang sempurna itu bisa tersedak hebat. Bayi prematur juga ada yang rongga lambung dan ususnya tidak terbuka sempurna sehingga apa pun yang mengalir dari mulut justru masuk ke paru-paru. Belum lagi bila ada kelainan bawaan atau penyakit yang menuntut perhatian ekstra. Sedikit ceroboh, nyawa bayi melayang.
Dalam urusan bayi baru lahir (neonatus), Rumah Sakit Harapan Kita agaknya boleh berbangga. Tujuh dokter spesialis anak di rumah sakit khusus ini baru saja mendapat pengakuan internasional. Mereka menerima sertifikat ''ahli neonatologi" dari Universitas Groningen (The State University of Groningen), Belanda, yang akhir bulan lalu diserahkan di Jakarta oleh P.J.J. Sauer, Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak Beatrix Children Hospital, Belanda.
Harapan Kita memang menaruh perhatian khusus pada perawatan bayi prematur. Awal 1990, Departemen Kesehatan menetapkan rumah sakit unggulan di bidang penanganan bayi baru lahir. Untuk itu, mereka menjalin kerja sama tak hanya dengan pemerintah Belanda, tapi juga Australia. Salah satu bentuknya adalah dengan belajar khusus di Rumah Sakit Anak Beatrix dan Rumah Sakit Anak dan Wanita Queen Victoria, Adelaide, Australia. Staf medis Harapan Kita dikirim ke dua rumah sakit tersebut untuk magang setengah sampai setahun. Mereka belajar dan berpraktek langsung menangani kasus-kasus sulit. ''Pernah ada pasien bayi prematur 27 minggu dengan berat cuma 630 gram," tutur Ferdy P. Harahap, satu dari tujuh dokter Harapan Kita yang memperoleh sertifikat dari Universitas Groningen.
Sebaliknya, staf medis Beatrix dan Queen Victoria juga melakukan studi lapangan di Harapan Kita. Mereka harus tahu wajah sesungguhnya kondisi peralatan yang dipergunakan Harapan Kita. ''Kalau kelewat berbeda, nanti ilmunya enggak bisa dipakai," kata Titut S. Pusponegoro, dokter yang juga menerima sertifikat.
Sebagai rumah sakit yang memberi perhatian terhadap bayi lahir prematur, Harapan Kita memiliki peralatan yang tergolong komplet. Di rumah sakit ini tersedia tiga unit perawatan intensif neonatus (UPIN). Bayi prematur yang masalahnya paling berat dirawat di UPIN III, yang menyediakan alat-alat bantu khusus seperti untuk pernapasan, jantung, atau pembuluh darah.
Sebenarnya klinik atau unit neonatus bukan cuma menangani bayi prematur. Secara teoretis, neonatus adalah tata laksana perawatan bayi berumur 0-28 hari, baik yang normal maupun yang bermasalah. Berdasar usia kehamilannya, bayi dikelompokkan menjadi tiga: matur atau cukup umur dengan masa hamil 38-40 minggu, prematur (sampai dengan 37 minggu), atau yang berlebih (di atas 40 minggu).
Masalah yang terjadi pada bayi matur biasanya terkait dengan kelainan bawaan atau keadaan kehamilan si ibu. Misalnya, air ketuban yang sudah terkontaminasi terhirup oleh bayi, dan membuat paru-paru si bayi terinfeksi. Sedangkan persoalan utama bayi prematur umumnya adalah belum sempurnanya sistem organ. Karena bobotnya yang ekstrem ringan—di bawah 1.000 gram—penanganan bayi prematur mutlak membutuhkan peralatan dan dokter dengan kecakapan medis yang mumpuni.
Untunglah, meski belum merata, teknologi penanganan neonatus sudah menyebar di berbagai rumah sakit di Indonesia. Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Tangerang, misalnya, juga punya unit khusus neonatus dengan dua set peralatan komplet. Klinik neonatus dengan teknologi yang kurang lebih serupa juga dipunyai Rumah Sakit Bunda, Jakarta, sejak dua tahun lalu. ''Memang masih muda," kata Yafri Razak, dokter yang khusus menangani neonatus di Bunda. Yafri juga mengakui, belum ada dokter Rumah Sakit Bunda yang bersertifikat luar negeri. Namun, Yafri menjamin kualitas penanganan rumah sakit itu tak jauh berbeda dengan Harapan Kita. Salah satu buktinya, Rumah Sakit Bunda pernah menangani bayi prematur dengan bobot hanya 800 gram. ''Alhamdulillah," kata Yafri, ''sampai sekarang, bayi itu sehat."
Semua kecanggihan itu, sayangnya, baru bisa terjangkau pasien-pasien berduit. Soalnya, usaha untuk meloloskan bayi dari lubang jarum masa kritis setelah kelahiran bisa menghabiskan puluhan juta rupiah.
Mardiyah Chamim dan Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini