"Ini buku sejarah…
kisah perjalanan spesies kita
tentang detail cetak biru tiap-tiap sel manusia."
Francis Collins, Direktur National Human Genome Research Institute (NHGRI), menorehkan kalimat tersebut di jurnal Nature, Februari 2001 lalu. Itu merupakan publikasi pertama draf peta gen manusia, sebuah milestone pencarian jatidiri manusia. Kini, cetak biru peta gen manusia telah rampung. Francis Collins pertengahan bulan lalu mengumumkan keberhasilan proyek pemetaan gen manusia.
Sebenarnya, Proyek Pemetaan Gen Manusia bukan cerita baru. Ide proyek prestisius ini telah mengemuka sejak pertengahan dekade 1980. Kemudian, pada 1 Oktober 1989, pemerintah Amerika Serikat mendirikan Pusat Penelitian Gen Manusia Nasional. James D. Watson, salah seorang penemu struktur dobel heliks deoxyribonucleic acid (DNA), dipercaya memimpin proyek tersebut. Tepat setahun kemudian, proyek pemetaan gen manusia secara resmi dimulai. Belakangan, proyek pemetaan gen manusia menjadi milik dunia. Enam negara besar—Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Cina, dan Jepang—mengambil bagian dalam proyek yang menghabiskan dana US$ 13,6 miliar (sekitar Rp 109 triliun) tersebut.
Saat dimulai, proyek ini diperkirakan akan menghabiskan waktu 15 tahun. Maklumlah, para peneliti harus membelejeti 30 ribu hingga 35 ribu gen manusia. Mereka juga harus menyusun 3 miliar rangkaian DNA (dengan kodifikasi huruf A, C, G, dan T). Secara teknis, tim peneliti melakukan pemetaan gen, pemetaan fisik, penyusunan DNA, penyusunan variasi gen, dan identifikasi gen. Proyek tersebut menggunakan gen 24 orang donor yang identitasnya dirahasiakan.
Agar lebih mudah dan terfokus, tim peneliti membuat program kerja lima tahunan. Setiap menyelesaikan tahap besar, mereka menggelar pertemuan internasional untuk menyusun program berikutnya. Untunglah, berkat bantuan teknologi superkomputer yang makin canggih, proyek ini bisa diselesaikan dua tahun lebih cepat dari jadwal. Akurasi peta yang dihasilkan mencapai 99,99 persen. Teknologi komputer dan bioteknologi yang saat ini ada tak memungkinkan mencapai akurasi 100 persen.
Selain menyangkut teknis biologi molekuler yang rumit, pemetaan gen manusia juga menyeret persoalan etika. Kasus proyek kloning makhluk hidup (terutama rencana kloning manusia) memberi pelajaran betapa landasan etika sangat penting bagi proyek riset genetika. Karenanya, pada 1996 proyek itu membuat divisi ethical, legal and social implication (ELSI). Divisi inilah yang mencoba menjawab pelbagai pertanyaan mendasar. Misalnya, etiskah seorang berdarah negro berharap anak yang berkulit putih dan bermata biru? Bolehkah seseorang mengubah orientasi seksualnya? Dan tentu saja masih banyak deretan pertanyaan yang sulit dijawab.
Usaha membuat peta genetis sebenarnya pernah dilakukan jauh sebelumnya. Pada 1911, Alfred Sturtevant, peneliti pada Laboratorium Thomas Hunt Morgan, Universitas Columbia, mulai meneliti peta gen lalat buah (Drosophila melanogaster). Meskipun masih sangat sederhana, Sturtevant berhasil memetakan kumpulan gen lalat buah yang mengalami mutasi.
Keberhasilan pemetaan gen manusia langsung menuai harapan besar. Soalnya, informasi seluk-beluk genetis akan menjadi landasan bagi pengobatan pelbagai penyakit yang belum ada obatnya. Lebih jauh lagi, manusia akan dapat mencegah munculnya penyakit yang disebabkan faktor genetis.
Sebagai awalnya, industri farmasi akan segera memanfaatkan peta gen manusia untuk pengobatan kanker kulit, diabetes melitus, leukemia, dan eksim pada anak-anak. Selama ini para dokter hanya memberi obat-obatan yang mereduksi rasa sakit atau mengeliminasi akibat penyakit tersebut. Kelak, "Kanker, diabetes, dan eksim dapat disembuhkan secara tuntas," ujar Profesor Allan Bradley, Direktur Welcome Trust Sanger Institute, Inggris.
Tak pelak, hasil riset gen manusia juga berimbas ke bursa saham Wall Street. Harga saham perusahaan farmasi dan bioteknologi yang terlibat proyek pemetaan gen manusia langsung meroket. Tengok saja saham Calera Genom, yang tahun lalu masih dijual US$ 7 per saham. Kini, saham Calera diperdagangkan pada level US$ 126. Sedangkan Human Genome Science Inc. berhasil mendongkrak harga sahamnya dari US$ 19 menjadi US$ 141 per saham, hanya dalam tempo setahun.
Francis Collins, Direktur National Human Genom Research Institute itu, seharusnya juga menuliskan:
"Ini buku sejarah...
kisah tentang bisnis dan kekuasaan."
Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini