Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Revolusi Ibu Para Sel

Teknologi sel induk yang menjanjikan sebetulnya sudah kita kuasai. Tetapi banyak kontroversi yang mesti dipertimbangkan.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah revolusi tengah mengintip. Dia siap menggebrak jantung rumah-rumah di seluruh dunia. Rasakan denyut awal sang revolusi yang bertiup beberapa pekan lalu: bank darah tali pusat berdiri di Moskow, Rusia. Cryomedica, namanya, memang bukan sekadar bank biasa. Yang disimpan di dalamnya bukanlah gepokan duit atau lantakan emas, melainkan sejumput darah yang diambil dari tali pusat (umbilical cord, istilah Jawa: ari-ari) orok yang baru lahir. Cryomedica sanggup menampung darah tali pusat dari 4.000 nasabah, dengan daya simpan sampai puluhan tahun. "Seperti halnya Bank Swiss, kami juga menyediakan nomor rekening, locker, dan save deposit box," kata Paul Backer, Direktur Cryomedica. Sebetulnya bank darah ari-ari itu bukanlah yang pertama dan satu-satunya di dunia. Ada beberapa bank serupa yang beroperasi di Amerika dan Eropa. Sejauh ini diperkirakan ada sekitar 50 ribu orang yang menjadi nasabah bank penyimpanan darah tali pusat. Mereka bersedia membayar lumayan mahal, US$ 200 setiap bulan, untuk penyimpanan dalam rentang tak terbatas. Merekalah orang-orang yang antusias menyongsong revolusi teknologi kedokteran. Siapa tahu, 5, 10, 15, atau 20 tahun lagi anak atau keluarga mereka jatuh sakit dan sejumput darah yang ada di dalam locker bank itulah yang akan jadi dewa penolong. Adalah teknologi sel induk (stem cell) yang dinanti-nanti dan diidamkan puluhan ribu nasabah bank sejenis Cryomedica. Garis besarnya, teknologi ini memanfaatkan potensi keajaiban sel induk (the mother of cell)—juga dinamakan sel tandan, sel bibit, sel tunas, dan sel batang—yang bersifat pluripoten alias sanggup berkembang menjadi lebih dari 220 jenis sel penyusun tubuh manusia. Ibu para sel ini ada dua macam. Pertama, yang bersumber dari sel embrionik hasil pembuahan sperma dan sel telur, yang disebut juga sel induk embrionik (embryonic stem cell). Kedua, yang diambil dari sumsum tulang belakang (bone marrow), pada gigi susu anak-anak, dan pada darah tali pusat bayi. Dalam konteks terapi, sel induk akan dikembangkan di dalam cawan petri di laboratorium sampai usia 5-14 hari. Lalu, jika semua sudah siap, biakan sel induk disuntikkan pada organ manusia yang sakit. Misalnya otot-otot jantung Anda sudah rusak dihajar pengerasan dinding pembuluh (arterosklerosis). Maka, sel induk bisa disuntikkan langsung ke otot jantung yang gering itu, dan beberapa waktu berselang sel-sel pembuluh darah jantung yang baru akan tumbuh menggantikan deretan sel yang rusak. Tak ubahnya reparasi mobil, onderdil yang rusak diganti dengan yang baru. Peluang keajaiban sel induk itu juga berlaku untuk menolong mereka yang ginjalnya gagal berfungsi. Pasien hanya perlu disuntik sel induk tepat pada ginjal yang mogok bekerja lantaran rusak. Selanjutnya, akan bermunculan tunas-tunas sel baru pada organ yang penting ini. Regenerasi terjadi. Pasien pun tidak perlu lagi prosedur mahal, semisal cuci darah atau dialisis yang mesti dilakukan seumur hidup (lihat, Kado Belum Jadi). Sayangnya, perkembangan riset sel induk belum melaju mulus karena diwarnai pekatnya debat etis dan moral. Presiden Amerika Serikat George W. Bush, misalnya, tahun lalu resmi mengharamkan penelitian sel induk. Tuan Bush khawatir, jangan-jangan ada ilmuwan yang sengaja tidak berhenti pada keperluan terapi. Ilmuwan jahil semacam ini bisa saja memelihara sel induk sampai menjadi calon janin dan kemudian menanamnya di rahim seorang perempuan. Akhirnya, terciptalah pabrik bayi kloning yang liar tak terkendali. Namun, Profesor Sangkot Marzuki, Direktur Institut Eijkman, Jakarta, yakin bahwa pelarangan ala Tuan Bush tidak bakal berjalan efektif. Para ilmuwan, yang memang punya naluri mencari dan terus mencari, akan berusaha menyiasati peraturan ketat Bush. Orang-orang pintar ini akan mencoba menggelar riset di negara-negara yang lebih liberal di bidang teknologi sel induk, di Eropa ataupun Asia. Singapura, misalnya, gencar menawarkan paket numerasi yang menggiurkan guna memikat para ilmuwan top dari seluruh dunia. Dengan guyuran dana US$ 8 miliar, Singapura bertekad menjadi pusat riset sel induk paling progresif dalam tempo 15 tahun ke depan. Sebenarnya, Amerika pun merasa cemas dengan kecenderungan bergesernya pusat riset genetika ke negara-negara yang lebih liberal. Karena itulah Amerika giat mengirimkan delegasi ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. "Saya dan kawan-kawan di Institut Eijkman termasuk yang dilobi oleh para delegasi Amerika itu," kata Sangkot. Utusan dari negeri jauh itu, Sangkot melanjutkan, bertugas membujuk dunia untuk mengamini pendapat Amerika: melarang pengembangan sel induk secara total. Tak boleh ada kloning manusia dan tak boleh pula ada pembiakan sel induk untuk keperluan terapi kesehatan. Soal kloning manusia memang tak perlu ada perdebatan. Ihwal yang satu ini bisa dipastikan lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Lihat saja domba Dolly yang mati muda—umur 6 tahun—yang menunjukkan kualitas organ tubuh makhluk hasil kloning kurang tahan banting. Nasib Dolly dipastikan terjadi pada kloning manusia. Belum lagi jika harus menimbang kompleksitas lain, misalnya apa yang harus dilakukan pada makhluk yang gagal dikloning. Apakah harus dibunuh begitu saja? Untuk itulah, "Kita juga menolak dengan tegas kloning manusia," kata Sangkot. Tetapi, lain halnya dengan teknologi sel induk untuk terapi kesehatan. Akan terlalu banyak peluang dan manfaat kemanusiaan yang terabaikan jika kita mencegat pengembangan stem cell pada kondisi sekarang ini. Memang, ada begitu banyak sisi sel induk yang belum kita ketahui. Aplikasi pun masih sebatas percobaan pada hewan. Secara umum, teknologi sel induk memang belum teruji. Jadi, dengan situasi yang masih amat dini, Sangkot menekankan, ada baiknya para ilmuwan diberi waktu dan kesempatan untuk mengembangkan riset sel induk. Lagi pula, dua pekan lalu saat bersejarah di dunia bioteknologi dan genetika telah tiba: genom manusia sudah komplet dipetakan (lihat, Membuat Cetak Biru Manusia). Langkah penting yang menghasilkan rincian 30 ribu gen manusia ini diharapkan berfungsi sebagai akselerator, mempermudah proses pengembangan teknologi sel induk bagi terapi kesehatan. Profesor Bambang Hidayat, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), juga sepakat dengan Sangkot. "Kita tidak perlu bersikap terlalu reaktif. Belum apa-apa sudah melarang," kata Bambang. Kekhawatiran Bush bahwa riset sel induk bisa diselewengkan menjadi pabrik kloning tidak bisa digunakan sebagai pembenar pelarangan. "Masa, rasa khawatir tidak sanggup mencegah penyelewengan membuat riset stem cell dilarang secara total," katanya. Memang, baik Bambang maupun Sangkot mengakui, riset sel induk mutlak dilakukan dalam koridor yang ekstrahati-hati. Tidak bisa sembrono. Terutama karena banyak muatan etika dan moral yang amat sensitif. Kaum Katolik, misalnya, menilai kehidupan sudah bermula sejak konsepsi—pertemuan sel telur dengan sperma—yang menghasilkan zigot. Jadi, biarpun hanya dipertemukan di laboratorium dengan campur tangan mesin, sel induk embrionik tetap dianggap sebagai calon individu manusia yang harus dihormati. "Bagaimana mungkin kita boleh membunuh sesuatu yang harus kita hormati?" tanya Profesor Dr. K. Bertens dari Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta. Memusnahkan calon manusia, biarpun untuk tujuan luhur menolong manusia lain, menurut Romo Bertens adalah tindakan yang tak bisa dibenarkan. Perdebatan serupa juga muncul di kalangan muslim, meskipun tidak sekencang yang terjadi pada kalangan Katolik. Seperti tersebut dalam Al-Quran, Allah meniupkan roh pada saat embrio berusia 120 hari dalam kandungan. Jadi, "Allah menyempurnakan kejadian fisiknya dahulu, kemudian meniupkan roh di dalamnya," kata Profesor Dr. Quraish Shihab, ahli ilmu Al-Quran. Berdasar dalil tersebut, Quraish melanjutkan, tak sedikit ulama yang menyalakan lampu hijau. Mereka mentoleransi pembiakan sel induk embrionik dengan pertimbangan kadar manfaatnya jauh lebih tinggi dibanding mudaratnya. Jika dianalogikan, teknologi ini hampir serupa dengan sistem kerja alat kontrasepsi, yakni menghambat proses penyempurnaan janin manusia. Namun, tunggu dulu, Quraish belum serta-merta setuju dengan penerapan teknologi sel induk embrionik. Alasannya, betapapun sedikit, sel induk yang dikorbankan telah menggenggam unsur kehidupan. Memang, sel itu belum memasuki taraf yang disebut "manusia" karena umur sel belum 120 hari. Tapi tetap saja ada sebentuk zat yang telah mengarah pada kehidupan. Karena itu, Quraish menyarankan kita supaya bersikap hati-hati. "Biarlah semuanya bergulir lebih matang, tentu sembari tetap dipelajari dengan teliti," katanya. Romo Bertens juga bersuara senada. "Saya menyarankan moratorium empat tahun," katanya. Selama rentang waktu itu, para ahli bisa tenang mempelajari dengan saksama segala aspek yang terkandung dalam pengembangan riset sel induk embrionik. Bertens juga menganjurkan para ahli agar sementara berkonsentrasi pada riset sel induk yang bukan embrionik—tali pusat, sumsum tulang belakang, dan gigi susu anak-anak. Dan tampaknya dunia sudah melaksanakan saran Romo Bertens. Buktinya, ya itu tadi, puluhan ribu orang telah berbondong-bondong menyimpan tali pusat bayi mereka di locker bank. Bagaimana dengan Indonesia? Jika Anda berminat, sabar menanti bertahun-tahun, dan berkantong tebal tentu, Profesor Sangkot menyarankan Anda supaya menjajaki kemungkinan menyimpan darah tali pusat bayi di rumah sakit lokal, terutama yang memiliki sentra pelayanan bayi tabung (IVF—in-vitro fertilization), karena tekniknya tidak jauh beda dengan penyimpanan sel telur dan sperma. "Gampang kok, teknologinya sudah kita kuasai," kata Sangkot yakin. Asal sudah ada kesepakatan dan aturan main yang jelas, ahli genetika ini menjamin kita sudah bisa mengucapkan selamat datang kepada revolusi sel induk. Mardiyah Chamim, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus