Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"GUE mau sembuh. Gue rela ngeluarin uang seratus juta asal bisa sembuh.” Ungkapan penuh harap itu keluar dari bibir Riko, setiap kali rasa bosan itu datang. Bayangkan, dua kali sehari dia wajib menelan obat. Waktunya tak boleh meleset, setiap pukul 09.00 dan 21.00, sejak tubuhnya disusupi human immunodeficiency virus (HIV) pada 2001. Hidupnya kini amat bergantung pada Neviral dan Duviral, dua tablet antiretroviral (ARV) untuk menjinakkan HIV.
Lelaki 30 tahun itu diduga terkena HIV gara-gara pernah bersahabat dengan narkotik. Aneka jenis barang haram itu pernah mampir ke tubuhnya semenjak dia masih di sekolah menengah pertama. Terakhir dia menggunakan putaw, sejenis heroin yang dimasukkan ke tubuh lewat suntikan. Jarum suntiknya dipakai bergantian dengan teman-temannya supaya lebih hemat. ”Kadang-kadang malah dengan sedotan air mineral yang ujungnya ditajamkan,” katanya.
Keluarganya sudah pernah membawanya ke berbagai tempat pengobatan alternatif, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya jalan agar tubuhnya bisa bertahan adalah disiplin menjalani terapi antiretroviral. Terapi ini terbukti dapat menghambat perkembangbiakan sekaligus menurunkan jumlah virus. ”Tapi, sebagai manusia biasa, kadang bosan juga,” katanya.
Apalagi ketersediaan ARV kadang-kadang tidak lancar. Riko, yang merahasiakan penyakitnya dari tetangga-tetangganya di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur, merasa hidupnya selalu berada di bibir jurang. Maklum, berhenti minum sama saja bunuh diri perlahan-lahan. Virus HIV bakal kembali ”bangun” dan menggerogoti tubuhnya. Kesetiaan pengidap HIV pada tablet ARV memang harus sangat tinggi. Hingga kini ARV masih menjadi satu-satunya obat bagi penyandang HIV/AIDS (acquired immune deficiency syndrome) yang sudah lulus uji klinis dan medis serta diakui secara internasional.
Namun usaha penelitian untuk menyembuhkan penyakit yang belum ada obatnya itu tak pernah berhenti. Salah satu terobosan terbaru penanganan HIV/AIDS adalah melalui terapi sel punca (stem cell). Cara ini diperkenalkan di Indonesia pada akhir tahun lalu sebagai alternatif terapi bagi penyandang HIV/AIDS, sehingga harapan hidup mereka makin tinggi. ”Sementara ARV digunakan untuk memperlambat virus agar tidak cepat berkembang biak, sel punca mempercepat replikasi sel imunitas untuk meningkatkan kekebalan tubuh,” tutur Suharto, dokter spesialis kesehatan olahraga yang juga pakar antipenuaan, dalam diskusi bertajuk ”Pengobatan Sel Punca” (Stem Cell Therapy) yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta, akhir April lalu.
Suharto memaparkan, sel punca merupakan sel tubuh yang bisa memperbanyak diri tanpa mengubah ciri-ciri genetisnya dan berubah menjadi sel jenis lain. Ketika membelah, sebuah sel punca memiliki potensi menjadi sel berbeda dengan fungsi khusus, misalnya sel otot, sel darah merah, sel otak, sel hati, dan sel ginjal. Keistimewaannya yang lain adalah kemampuannya mengembara menuju daerah yang mengalami kerusakan jaringan dan bergabung dengan sel lain di jaringan tersebut.
Lebih lanjut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Kedokteran Anti-Penuaan Indonesia (Perkapi) ini menjelaskan, terapi sel punca adalah sebuah metode transplantasi sel yang bertujuan memperbaiki sel dalam tubuh yang rusak atau hampir tidak berfungsi alias sakit. Uniknya, kecanggihan sel punca yang berpotensi untuk pengobatan itu sekarang tidak hanya berasal dari manusia, tapi juga dari mamalia, terutama kelinci. Metode ini dikenal dengan istilah xenotransplantasi.
”Sekarang 200 jenis sel bisa dihasilkan dari teknologi tersebut. Sel-sel yang dibutuhkan pasien itulah yang akan ditransplantasikan,” ujarnya. Di Indonesia, satu-satunya organisasi yang bisa menyediakan stem cell ini adalah Bio-Cellular Research Organization (BCRO Indonesia), organisasi yang beranggotakan tenaga medis hingga profesor di bidang kesehatan. Menurut Suharto, hingga saat ini ada 18 pasien di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, yang sudah melakukan terapi tersebut. Tapi mereka baru sebatas penderita diabetes melitus, down syndrome, gangguan jantung, juga pembuluh darah.
Pada kasus penanganan HIV/AIDS, terapi dilakukan dengan menyuntikkan sel punca ke tubuh manusia. Sel ini kemudian akan memperbanyak sel darah putih yang bisa melawan berbagai penyakit dan meningkatkan kekebalan tubuh (lihat infografik). Walau di Indonesia belum ada pasien HIV yang menjalani terapi ini, penelitian terhadap beberapa pasien dengan HIV/AIDS stadium akhir dari City of Hope Medical Center di Duarte, California, membuktikan manfaat terapi tersebut. ”Tapi terapi ini tidak bisa melenyapkan virus yang sudah bercokol, hanya melemahkan,” tutur Suharto.
Walujo Soerjodibroto, pakar antipenuaan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi berhasil-tidaknya terapi sel punca. Salah satunya, setelah sel punca disuntikkan, tubuh pasien tidak boleh mengalami kenaikan suhu yang mendadak dan tidak boleh terkena cahaya, seperti terkena sinar-X pada rontgen. ”Jika hal itu terjadi, sel punca akan mati dalam perjalanannya menuju organ yang sakit dan si sakit tidak akan bisa disembuhkan,” katanya.
Jika semua proses berhasil baik, penderita dapat hidup normal dengan virus HIV selama kurang lebih lima tahun, tanpa ARV. ”Namun, perlu diingat, jika kondisi penderita menurun, perlu dilakukan kembali pengobatan ARV untuk selanjutnya dilakukan proses terapi sel punca lagi. ”Jadi, sel punca tidak ditransplantasikan sekali, bisa berulang kali,” kata anggota Bio Cellular Research Organization di Indonesia ini.
Namun, untuk melakukan terapi ini pasien harus merogoh kantong dalam-dalam. Sekali terapi biaya yang diperlukan sekitar Rp 120 juta untuk anak-anak. Sedangkan buat pasien dewasa, biayanya melambung hingga Rp 280 juta. ”Biayanya masih terlalu mahal,” kata Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta, Rohana Manggala. Padahal, seiring dengan meningkatnya infeksi HIV, jumlah pengidap AIDS di Indonesia kini sudah makin mencemaskan. Hingga 31 Desember 2008, pasien AIDS di Indonesia mencapai 16.110 orang. Sebanyak 3.362 orang di antaranya meninggal.
Nunuy Nurhayati
Persembahan dari Induk Kelinci
Sel punca (stem cell) bisa diperoleh dari kelinci betina. Sel punca ini relatif lebih aman dan sama efektifnya dengan transplantasi sel punca dari janin manusia, dalam mempercepat pertumbuhan sel kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS.
- Kelinci betina hamil melalui proses inseminasi buatan. Kelinci yang digunakan berasal dari koloni tertutup yang dikembangbiakkan sejak 1973 sehingga bebas dari penyakit genetis ataupun infeksi.
- Embrio dalam rahim kelinci berkembang menjadi janin. Pada tahap ini sel embrio sudah terdiferensiasi menjadi calon organ tubuh, seperti calon jantung, paru, hati, ginjal, tulang, kulit, dan mata.
- Sel diambil dan lewat alat khusus dikembangkan menjadi precursor stem cell, yaitu sel punca dalam bentuk cairan yang siap digunakan.
- Ketika akan melakukan pengobatan sel punca, pengidap HIV harus mengurangi penggunaan obat antiretroviral (ARV), karena kandungan ARV yang tinggi bisa membuat sel pengganti tak bisa berkembang.
- Cairan sel punca disuntikkan di perut atau bokong.
- Melalui mekanisme homing, bersama aliran darah, precursor stem cell yang disuntikkan itu bergerak menuju jaringan atau organ yang menjadi target terapi.
- Setelah mencapai organ sasaran, precursor stem cell akan memperbanyak diri, menggantikan sel imunitas lama yang rusak.
Untuk HIV AIDS, yang disuntikkan adalah sel punca yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh seperti sel mesenchym, thymus, limfa, liver, adrenal cortex, mesenterial lymphnodes, usus, dan bila perlu ditambahkan juga sel paru atau kulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo