Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Avianti Armand
*) Arsitek
PEMENANG International Design Competition Envisioning Jakarta diumumkan pada 25 April lalu. Juara kedua sayembara yang diselenggarakan dalam rangkaian International Architecture Biennale Rotterdam (IABR) 2009 ini adalah Adi Purnomo, yang bekerja sama dengan mahasiswa Universitas Pelita Harapan. Proposal karya mereka berjudul Let’s Catch The Water! Jakarta–Sponge City. Sebuah proposal sederhana yang memaparkan fakta luar biasa: anjuran bagi semua lapisan masyarakat untuk aktif terlibat menyediakan air bersih bagi Jakarta, kota yang tiap tahunnya kekurangan pasokan air bersih hingga 1.028.000.000 meter kubik, padahal total curah hujan dalam kurun yang sama mencapai 2.973.000.000 meter kubik. Dalam sayembara yang bertema Gotong Royong City/Reciprocity ini, ada satu lagi peserta dari Indonesia yang mendapat penghargaan khusus, yaitu Budi Pradono, dengan karyanya Eco gate as Border Device.
Kemenangan yang membanggakan. IABR yang ke-4 tahun ini telah berhasil memposisikan dirinya sebagai satu ajang yang sangat penting untuk pemikiran kritis dan progresif mengenai arsitektur dan urbanisme. Dalam setiap penyelenggaraannya, kita bisa menyaksikan bagaimana para arsitek kelas dunia, dengan pengetahuan, keahlian, dan kekuatan imajinasi mereka, berusaha menyumbangkan pemikiran lewat desain atas berbagai masalah mendesak dalam masyarakat kontemporer.
Adi Purnomo bukan nama yang asing di kalangan arsitek dalam negeri, meski kurang dikenal di kalangan luas. Padahal arsitek pilihan majalah Tempo 2004 ini adalah satu dari 100 arsitek yang terlibat dalam Ordos 100. Proyek pembangunan perumahan di gurun Mongolia, 350 mil di barat Beijing, itu juga melibatkan 100 konsultan arsitek dari 27 negara, pilihan Jacques Herzog dan Pierre de Meuron—arsitek stadion Olimpiade Beijing. Ordos 100 adalah sebuah megaproyek yang didanai Cai Jiang, seorang local tycoon, sebagai bagian dari cultural district yang akan dibangun dengan biaya US$ 1 triliun.
Mamo—panggilan akrab Adi Purnomo—dan karyanya, pada 2005, pernah diliput oleh a+u. Ini adalah majalah arsitektur dan urbanisme terbitan Jepang yang merupakan bench mark bagi para arsitek. Bukan saja karena publikasi tersebut selalu mengangkat isu terkini dan menampilkan karya spektakuler arsitek dunia, tapi juga karena penyebarannya yang mendunia.
Publikasi internasionalnya yang lain adalah Domus, majalah arsitektur, desain, dan seni. Majalah yang berbasis di Milan, Italia, itu pada April lalu meliput dua karya Mamo: hunian di Medan dan rumah galeri di Puri Indah, Jakarta. Space, media arsitektur terbitan Korea Selatan, pada edisi Mei ini juga menampilkan proyek yang sama. Juni nanti, MARK, majalah arsitektur berbahasa Inggris keluaran Belanda yang sekarang dinilai paling progresif, juga akan mengulas ihwal Mamo dan karya-karya terakhirnya.
Adi Purnomo tidak sendiri. Budi Pradono juga hampir tak dikenal di negeri sendiri, paling tidak jika dibandingkan dengan para Idola Cilik. Sama seperti Mamo, ia dan karyanya pernah muncul di a+u 2005. Hasil desainnya, Tetaring, sebuah restoran di Nusa Dua, Bali, masuk deretan Honourable Mention dalam Architectural Review Award 2005, sebuah penghargaan bergengsi yang mengangkat nama arsitek yang kini mendunia seperti Sou Fujimoto dan PLOT. Melalui karya yang sama, arsitek yang pernah melanglang ke lima benua ini menyabet penghargaan The City Scape Architectural Review Awards 2004 di Dubai.
Eko Prawoto, arsitek yang menetap di Yogyakarta, juga sebuah nama yang samar. Padahal Taipei Times, Juni 2006, secara khusus memuat liputan tentang dia dan proyek sosialnya: rumah untuk korban gempa di Desa Ngibikan, Yogyakarta. Karya-karyanya juga muncul dalam buku New Direction in Tropical Asian Architecture yang ditulis oleh Phillip Goad, dan diterbitkan Pesaro Publication, Australia. Beberapa proyek instalasinya pernah menyinggahi Jepang dan Spanyol. Terakhir, ia dan karyanya muncul sebagai satu titik dalam Phaidon Atlas of 21st Century World Architecture 2009, sebuah panduan penting bagi para peziarah arsitektur di seluruh dunia.
Masih ada sejumlah nama lain, arsitek Indonesia dengan pengakuan internasional yang hanya sayup terdengar di sini. Seperti Andra Matin, Djuhara+Djuhara, Anthony Liu, dan Ferry Ridwan. Dalam Phaidon Atlas yang sama, karya desain mereka muncul, menandai Indonesia dalam peta arsitektur dunia. Dalam terbitan a+u yang sama, ada pula Zenin Adrian dengan sebuah rumah kecil berdesain unik berbiaya murah. Andra Matin dan karyanya juga muncul dalam New Direction in Tropical Asian Architecture. Tidak terlalu serius tapi penting dan bergengsi, Andra Matin adalah satu dari 101 The World’s Most Exciting Architects pilihan majalah Wallpaper—sebuah majalah life style yang avant garde terbitan Inggris—dalam Wallpaper Architecture Directory 2007.
Sedikit sekali yang tahu bahwa di satu waktu, pada April 2009, karya Andra Matin dipamerkan di GA Gallery, Sendagaya, Tokyo. Tempat tersebut merupakan sebuah galeri yang selalu menampilkan karya arsitektur pilihan GA, publikasi arsitektur dari Jepang yang liputannya meluas hingga ke mancanegara dan melingkupi berbagai macam isu, terutama edging architectures. Di galeri itu, dua panel berisi gambar-gambar dan konsep desain untuk satu hunian di Bandung karya Andra Matin bersisian dengan panel lain karya Tadao Ando, Jun Aoki, Wiel Arets, Shigeru Ban, Sou Fujimoto, Zaha Hadid, Toyo Ito, Rick Joy, Mathias Klotz, Kengo Kuma, Ryue Nishizawa, Kazuyo Sejima, dan Alvaro Siza—para dewa dalam dunia arsitektur. Di galeri itu, di antara Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, Arab Saudi, Cina, dan negara lain, menyelip Indonesia. Satu, tapi membanggakan.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah pemeo lama, ”nabi tak diterima di negerinya sendiri”, berlaku hingga kini? Kelihatannya begitu. Pada saat industri kreatif menjadi sebuah kekuatan ekonomi penting di negara besar seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina, di Indonesia para pelaku dalam negeri mendapat ancaman signifikan dari pesaing luar. Globalisasi membawa juga gelombang arsitek luar negeri masuk dan merebut berbagai proyek besar di dalam negeri: hotel-hotel mewah di Bali, bangunan perkantoran di pusat bisnis, dan hampir semua mal besar di Jakarta. Memang ada arsitek lokal yang berhasil meyakinkan klien besar seperti Ridwan Kamil, yang mengerjakan master plan untuk Rasuna Epicentrum, atau Arkonin dan DCM, yang mendesain beberapa high rise di Jakarta. Tapi selebihnya hanya kebagian jatah menjadi mitra lokal.
Apakah ini soal kemampuan? Tentu tidak. Pengakuan internasional di atas adalah buktinya. Ada beberapa yang mungkin bisa jadi alasan. Mungkin cuma soal kepercayaan. Memang sulit meyakinkan klien atau developer untuk mempertaruhkan modalnya pada sebuah nama dan kemampuan ”lokal”. Mungkin juga soal gengsi. Tentu lebih bergaya jika bisa membayar RTKL untuk mendesain mal raksasa di situs bersejarah Hotel Indonesia, dibanding dengan Eko Prawoto, misalnya. Atau lebih menjual jika disebut bahwa gedung perkantoran sewa di Kuningan ini didesain oleh Arquitectonica daripada Djuhara+Djuhara.
Mungkin para arsitek luar ini memang lebih berpengalaman. Tapi ada satu kelemahan yang luput dilihat para klien, bahwa desainer luar negeri tidak mungkin mengenal konteks tempat bangunan ini akan berdiri sebaik para arsitek lokal yang hidup dan bersinggungan terus-menerus dengannya. Arsitek lokal lebih memahami segala hal yang terjadi, kendala dan potensi, kejutan dan kemungkinannya. Contohnya adalah proposal Adi Purnomo yang menabrakkan fenomena banjir tahunan dengan defisit air di Jakarta.
Bagaimana jika ini terus dibiarkan, dan pada akhirnya setiap proyek penting di negara ini ditangani arsitek asing? Mungkin sudah saatnya media mengangkat hal ini menjadi sebuah masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo