Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Aktris Marshanda sempat dikabarkan menghilang.
Psikiater mengatakan pengetahuan publik tentang gangguan kesehatan jiwa ini masih minim.
Banyak orang dengan bipolar terlambat ditangani.
JAKARTA – Kabar "menghilang"-nya Marshanda di Los Angeles pada awal pekan ini kembali mencuatkan isu gangguan bipolar dalam perbincangan publik. Aktris berusia 33 tahun itu sempat dikabarkan hilang kontak oleh sahabatnya, yang seorang dokter, saat berlibur di Amerika Serikat akibat berada dalam fase mania dari bipolar disorder yang dideritanya. Belakangan, kabar ini dibantah oleh keluarga Marshanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari situs kesehatan WebMD, gangguan bipolar adalah penyakit kejiwaan yang membuat suasana hati berubah ke titik ekstrem tinggi dan rendah serta mengubah pola tidur, energi, pemikiran, dan kelakuan. Pengidap bipolar disorder bisa sangat bahagia dan penuh gairah. Namun, di waktu lain, dia bisa merasa sangat sedih, putus asa, dan loyo. Gangguan bipolar diyakini diderita oleh lebih banyak orang ketimbang mereka yang berobat dan menjalani terapi karena minimnya pengetahuan publik soal gangguan kesehatan jiwa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilustrasi Bipolar. Shutterstock.
Psikiater Zulvia Oktanida Syarif mengatakan kita dapat mengenali orang dengan gangguan bipolar dengan mengamati pembicaraan dan perilaku orang-orang di sekitar. Misalnya, orang dengan suasana hati yang sedih hingga berhari-hari. Apalagi jika orang yang sama didapati mengalami perubahan pola tidur, menjadi loyo, dan perubahan perangai lain. "Sebaiknya, segera ajak berkonsultasi ke psikiater," kata Zulvia kepada Tempo pada Kamis lalu.
Zulvia mengatakan peran keluarga dan orang terdekat sangat penting dalam proses identifikasi gejala gangguan bipolar terhadap seseorang. Mereka dapat membantu dengan mendampingi, menjadi pendengar yang baik, menemani, dan mengarahkan pasien untuk berobat ke psikiater. Sayangnya, dia melanjutkan, orang dekat malah lebih sering mengabaikan, menstigma, atau membawa orang dengan gangguan bipolar mencari penyembuhan alternatif. "Ini malah membuat gejala gangguan bipolar makin berat dan sulit diatasi," ujar psikiater lulusan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, tersebut.
Nova Riyanti Yusuf, dokter kesehatan jiwa dari Universitas Indonesia, mengatakan upaya promotif juga penting untuk membantu pengidap gangguan bipolar. Peningkatan kondisi dapat ditempuh melalui edukasi dan sosialisasi, termasuk lewat media massa. “Masyarakat luas sedikit banyak jadi tahu,” kata Noriyu, panggilannya.
Psikiater yang juga mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini mengatakan pemberitaan di media massa akan menumbuhkan rasa ingin tahu masyarakat dan mereka akan mencoba mempelajari gejala-gejala pengidap gangguan bipolar. Dengan begitu, mereka dapat mengobservasi anggota keluarga atau teman yang kemungkinan mengidap gangguan serupa. “Kalau kita enggak punya ilmunya, ya, kita enggak bisa observasi,” ujar Nova.
Pengetahuan tersebut penting karena pengidap gangguan bipolar sering mengalami keterlambatan diagnosis sehingga pengobatannya pun terlambat. Maka, Nova melanjutkan, dokter kesehatan jiwa harus jeli melihat riwayat penyakit pasien. Misalnya, ketika pasien datang dengan keluhan depresi, harus dilihat apakah sebelumnya pasien pernah menunjukkan gejala mania atau hipomania.
Dokter Nova Riyanti Yusuf. TEMPO/Subekti
Ezra Ebenezer Soleman, psikiater yang praktik di Rumah Sakit Hermina Serpong dan Rumah Sakit Medika Permata Hijau, mengatakan pengidap gangguan bipolar harus menjalani pengobatan secara rutin. Sebab, gejalanya cenderung rentan kambuh. “Sebab, jika tidak diobati, perpindahan mood dari normal ke tidak normal akan semakin cepat,” katanya.
Menurut Ebenezer, pengidap gangguan bipolar tidak dapat pulih sepenuhnya. Namun, dengan pengobatan, kondisi pasien dapat dikendalikan. Dosis obat akan diturunkan sesuai dengan tingkat kestabilan pasien, meski tidak dapat benar-benar lepas dari obat. “Kapan benar-benar berhenti dari pengobatan, enggak ada yang berani janji,” kata psikiater lulusan Universitas Indonesia itu.
Ebenezer mengatakan, sejak pandemi Covid-19 merebak, banyak rumah sakit membuka layanan kesehatan jiwa secara online. Layanan dalam bentuk aplikasi kedokteran pun banyak yang memiliki saluran konsultasi kesehatan jiwa. Ebenezer juga aktif menyebarkan kabar seputar kesehatan jiwa lewat Instagram @psikiater_online.
Meski demikian, pengidap gangguan bipolar yang baru pertama kali melakukan konsultasi lewat layanan aplikasi tidak diperbolehkan untuk diberi obat. “Karena takut risiko penyalahgunaan obat,” kata Ebenezer.
#INFO KESEHATAN 5.1.1-Fase Gangguan Bipolar
ANGGI ROPININTA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo