Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mengenal Sejarah Tradisi Hantaran Lebaran

Tradisi saling mengantar makanan saat Lebaran sudah ada sejak zama dulu kala. Namun seiring waktu, bentuknya jadi lebih modern.

2 Mei 2022 | 11.45 WIB

Pedagang menata parcel lebaran di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Mei 2019. Penjualan parcel mengalami peningkatan selama bulan Ramadan dan jelang lebaran. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Pedagang menata parcel lebaran di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Mei 2019. Penjualan parcel mengalami peningkatan selama bulan Ramadan dan jelang lebaran. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Idul Fitri biasanya identik dengan kebiasaan bertukar makanan atau hantaran. Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, mengatakan jejak tradisi mengirim hantaran Lebaran dapat ditelusuri pada momen hari raya panen yang berlangsung di masa kerajaan abad ke-16.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hantaran Lebaran yang hingga saat ini populer di kalangan masyarakat Indonesia merupakan bentuk transformasi dari tradisi hantaran hasil bumi yang dipersembahkan rakyat kepada raja dan kemudian dari raja untuk rakyat," ujar Fadly.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Fadly menjelaskan di masa kerajaan dulu, ada tradisi masyarakat mengantar hasil bumi untuk raja.

"Dan ketika raja mengadakan pesta panen, biasanya akan membekalkan hasil olahan dan berbagai macam makanan serta kue, yang akan dibawa pulang oleh rakyatnya sendiri," jelas Fadly

Ia menyebut seiring redupnya masa kerajaan, tradisi hantaran berubah wujud menjadi mengantar makanan untuk tetangga, saudara, serta kerabat yang terjadi hingga sekarang. Pada masa kolonial, saling membalas hantaran Lebaran juga telah muncul di kalangan antarkeluarga. Hantaran tersebut berupa berbagai jenis hidangan Lebaran seperti ketupat, opor, kari, rendang, serta kue basah tradisional yang disajikan di dalam rantang.

Fadly mengatakan tradisi hantaran berupa tukar rantang menunjukkan kekhasan masyarakat agraris. Selain berfungsi sebagai wadah bekal, secara sosial-budaya rantang memiliki arti simbolik sebagai perekat hubungan antartetangga atau kerabat ketika digunakan untuk hantaran.

"Ketika dikirimi dalam bentuk rantang, secara spontan kita akan membalasnya. 'Ah, malu kalau kita mengembalikan dalam kondisi kosong.' Lalu kita akan mengisinya kembali dengan makanan-makanan," katanya.

Pada masa kolonial, kue-kue kering seperti nastar, kastangel, lidah kucing, dan putri salju dalam kemasan stoples mulai dikenal dan dijadikan hantaran Lebaran yang diberikan keluarga Eropa untuk keluarga pribumi priyayi. Dalam perkembangannya, kini hantaran telah bertransformasi dalam bentuk hampers dan parsel Lebaran yang memiliki kemasan lebih modern.

Walau wujudnya telah berubah, Fadly mengatakan esensi serta makna hantaran tidak berubah signifikan. Namun, pada masa sekarang telah umum orang mengirim hantaran sebagai tanda ucapan terima kasih atau ucapan hari raya dari rekan kerja tanpa mengharap balasan atau tanpa saling bertukar. Hal tersebut terjadi seiring pergeseran hantaran yang telah dikomersilkan atau dijadikan lahan bisnis.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus