Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menyibak Kabut Mata Nafisiah

Nafisiah Triasari, bayi 3 bulan, penderita dystrophy cornea congenital, dioperasi oleh tim dokter di flinders medical centre, australia. Penyakit keturunan yang jarang ditemukan.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABUT di mata Nafisiah Triasari tersibak sudah. Tim dokter di Flinders Medical Center, Adelaide, Australia, menyingkap nya melalui operasi, Kamis pekan lalu. Ini operasi yang menegangkan yang dilalui bayi berusia tiga bulan itu. Nafisiah menderita dystrophy cornea congenital. Kedua bola matanya diselimuti selaput bening tipis. Gangguan pertumbuhan pada selaput bening mata yang dideritanya termasuk penyakit bawaan sejak janin. Selain penyakit yang diwariskan, dystrophy cornea congenital juga tergolong penyakit langka. Satu-satunya jalan menghindar dari kebutaan adalah melalui transplantasi kornea. Operasi itu harus dijalani Nafisiah di negeri orang. Para dokter di RS Sardjito, Yogyakarta, yang semula menanganinya, ternyata tak dapat mengatasinya. "Berdasar pengalaman saya, dan juga beberapa kolega seprofesi yang lebih senior di Yogyakarta, belum ada yang pernah menemukan kasus seperti ini," kata Wasisdi Gunawan, Kepala Unit/Laboratorium Ilmu Penyakit Mata RS Sardjito dan FK Universitas Gadjah Mada. Penyakit yang diderita Nafisiah termasuk penyakit menurun yang kejadiannya sangat jarang. Sebab penyakit keturunan ini bisa tidak langsung diturunkan. "Kakek dan nenek Nafisiah belum tentu menderita penyakit seperti itu. Hanya, dalam diri mereka sudah pasti membawa sifat penyakit itu," Wasisdi menjelaskan. Persentase kemungkinan terjadinya penyakit bawaan itu hanya 25%. Artinya, orang tua yang membawa sifat penyakit itu mempunyai kemungkinan 25% untuk melahirkan keturunan yang berpenyakit. "Jadi agak langka. Sehingga bisa dikatakan anak yang terserang penyakit seperti itu karena memang nasib," kata Wasisdi lagi. Karena kelangkaan itulah tim dokter di RS Sardjito tak berani segera menolong Nafisiah. Dan hambatan bagi para dokter bukan karena ketiadaan pengalaman saja. "Kami tidak berani karena tingkat kesulitannya cukup tinggi," Wasisdi menambahkan. Dalam literatur, menurut Wasisdi, disebutkan tingkat keberhasilan operasi kornea hanya 50%. Kalau tantangannya hanya itu, barangkali dokter di RS Sardjito berani bertindak lebih jauh. Tetapi hambatan itu ditambah lagi dengan peralatan yang tak memadai. Peralatan yang dimiliki itu sudah kuno dan diameternya kurang pas dengan mata Nafisiah. Diameter mata Nafisiah 5,5 milimeter sedangkan peralatan di RS Sardjito lebih cocok untuk mata orang dewasa, karena ukurannya berkisar 6,5 hingga 7,5 milimeter. Dengan kondisi seperti itu, lebih mudah dokter mengoperasi bocah 10 tahun ke atas. Pertimbangannya, karena pada usia itu bola mata sudah tak berkembang lagi, sehingga bentuknya tetap. Sedangkan kornea bayi masih mengalamai pertumbuhan. Dan kalau menunggu sampai 10 tahun, mata bayi akan mengalami ambliopia. "Istilah awamnya, mata telanjur tidur dan tidak bisa bangun lagi," kata Wasisdi kepada Marcelino Ximenes Magno dari TEMPO. Akhirnya, nasib pula yang membuat Nafisiah tak menunggu umurnya 10 tahun untuk dioperasi. Ini berawal dalam kongres dokter spesialis mata se-Asia-Afrika di Jakarta, Juli lalu. Di kongres itu hadir Profesor Douglas Coster, spesialis mata dari Australia. Ketika itu juga hadir Dokter Januar Achmad, ketua Yayasan Esensia Medika Yogyakarta, yang memang sudah mengenal profesor tersebut. Lewat Januar, kasus itu diungkapkan dan Coster bersedia menanganinya secara gratis. Ini adalah bantuan yang sangat berarti bagi suami-istri Retnani Hendrastuti, guru SMP, dan Triyanto, pegawai PLN di Ban jarnegara, Jawa Tengah. Mereka ini orang tua Nafisiah, yang juga mendapat tiket gratis dari Menteri Soepardjo Rustam, untuk membawanya ke Adelaide. Bayaran itu memang tidak diminta Coster. "Ini goodwill saja," katanya dalam percakapan telepon dengan wartawati TEMPO Dewi Anggraini. Sedangkan biaya operasinya, sekitar Rp 42 juta, diambil dari dana Flinders Medical Center dan biaya riset di Universitas Flinders. Rumah sakit yang dibuka Flinders University itu khusus menangani berbagai penyakit dan kelainan kornea. Sebagai rumah sakit khusus, ternyata Flinders Medical Center tidak banyak menerima pasien yang menderita kasus serupa Nafisiah. Dengan kasus serupa, selama lima tahun terakhir ini, setiap tahun tercatat hanya tiga pasien -- itu pun dari berbagai negara -- yang datang ke rumah sakit yang memiliki bank mata sendiri itu. Kendati dokter di Flinders Medical Center sudah berpengalaman mengoperasi penyakit seperti yang dialami Nafisiah, toh Coster mengakui tindakan tersebut terbilang sulit, mengingat objeknya seperti mata bayi itu sangat kecil dan sensitif. "Selalu ada saja penolakan biologis pada tubuh pasien," katanya. Apalagi yang dioperasi bayi usia tiga bulan, ini membuat lebih sulit. Namun, tidak ada alasan untuk menunda operasi, mengingat risikonya jauh lebih besar jika tidak segera dioperasi. "Sebab, otot dan saraf yang memungkinkan untuk melihat harus dihubungkan sejak dini," kata Coster. Dan buat Nafisiah, operasi pencangkokan kornea yang tak mungkin dihindarinya itu ternyata menegangkan. Sepanjang hari, sebelum operasi dilangsungkan, ia terus-menerus menangis. Si mungil ini harus menahan lapar. Dan ini memang tidak mudah bagi bayi untuk berpuasa 24 jam menjelang operasi. Toh semua ketegangan itu akhirnya dilalui dengan baik. Kini tinggal Nafisiah melatih otot serta saraf matanya yang sempat tertidur tiga bulan. "Apalagi melihat itu bukan sesuatu yang terjadi, tetapi membutuhkan latihan," kata Coster. G. Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus