RIBUAN pelaut Amerika mendarat di Kota Pattaya untuk mencari hiburan. Jumat pekan lalu. Pada saat yang sama, Konperensi AIDS Asia ke-2, dibuka di Hotel Hyatt Central, Bangkok. Kedua peristiwa ini saling terkait, karena seorang pakar di konperensi itu menunjukkan, bahwa "serbuan" pelaut-pelaut di Pattaya bisa jadi sumber yang sangat potensial, dalam menyebarkan AIDS di Asia. Konperensi AIDS yang dibuka Menteri Kesehatan Muangthai, Chuan Leekpai itu, dihadiri 450 pakar AIDS dari 27 negara Indonesia kebetulan tidak ikut. Dalam pembicaraan hangat yang berlangsung 4 hari, terlontar sebuah kesimpulan penting. Angka penderita AIDS yang sebenarnya di Asia diakui jauh lebih besar daripada jumlah yang diumumkan. Jumlah angka penderita di seluruh Asia, sementara ini hanya 281, atau 0,2 % dari angka dunia. "Ada kecenderungan menutupi kenyataan," kata Dr. Debhanom Muangman, ketua panitia penyelenggara kepada Yuli Ismartono dari TEMPO. "Padahal angka sebenarnya sangat penting, dalam upaya pencegahan penyebaran AIDS." Upaya pencegahan itu menurut Muangman, sementara ini begitu sulit, karena banyak pemerintahan di Asia tak mau terlibat. Pakar Aids Muangthai itu berkisah, ia misalnya harus bersusah payah memperjuangkan izin untuk penyelenggaraan konperensi. Padahal rencana ini sudah diajukan setahun lalu, seusai konperensi pertama di Manila. Muangman mengungkapkan, bahwa sikap enggan sebagian pemerintahan di Asia, tak lain berakar pada kekhawatiran, akan terganggunya industri pariwisata. Banyak negara di Asia mengandalkan sektor ini, untuk mendapatkan devisa. Muangthai misalnya, mendapat devisa US$ 200 juta setahunnya dari sektor pariwisata. "Tapi masih ada hal lain," kata Dr. S.K. Hira, seorang pakar dari India. "Publikasi AIDS, di dunia timur bisa berarti menunjukkan keaiban." Mengakui adanya AIDS, menurut Hira, berarti mengumumkan secara terbuka adanya kehidupan homoseks, pelacuran dan seks bebas. Pendapat-pendapat yang dikemukakan Muangman dan Hira, mencerminkan tema konperensi. Topik utama pertemuan internasional ke-2 ini adalah bagaimana mendesak pemerintah, agar mengambil peran lebih besar dalam pencegahan AIDS. Dan penyelenggara konperensi di Bangkok itu ternyata bukan lembaga pemerintah, melainkan perkumpulan-perkumpulan keluarga berencana. Dari semua negara di Asia, Muangthai dan Korea Selatan, termasuk yang paling serius dalam usaha mencegah AIDS. Dr. S.Y. Kim, kepala pemberantasan AIDS Korea Selatan, dalam konperensi mengemukakan, negaranya kini sedang menyusun undang-undang penangkal AIDS. "Dalam undang-undang ini, ada keharusan bagi semua turis yang tinggal lebih dari 3 bulan, untuk menjalani tes darah," kata Kim. "Semua pekerja di sektor hiburan, juga akan terkena kewajiban menjalani tes darah." Di Muangthai, satu ikhtiar yang radikal dilancarkan beberapa bulan lalu. Kementerian Kesehatan negara itu memutuskan, untuk membagikan alat suntik kepada semua pecandu narkotik, yang berjumlah sekitar 500.000 orang. Seperti diketahui, salah satu media penyebaran AIDS, adalah tukar menukar alat suntik di kalangan pecandu narkotik. Program pemerintah Muangthai ini, disambut dengan reaksi keras oleh berbagai kalangan. Pemerintah dituduh seolah-olah menjerumuskan para pecandu narkotik. "Kami juga harus memperhatikan kemungkinan penyebaran AIDS," kata Dr. Somsak Vorakamin, Sekertaris Jendral Kementerian Kesehatan Muangthai. Pemberantasan kecanduan narkotik, kata Vorakamin, membutuhkan waktu lebih panjang. Karena banyak pecandu masih juga memaksa, "Tak ada jalan lain sementara ini kecuali membiarkan mereka, tapi jangan sampai menyebarkan AIDS." Dr. R. Dwyer, ahli virus dari Yale University, AS, berpendapat, kendati angka AIDS masih rendah di Asia, tindakan pencegahan sudah harus diambil. "Sebelum terlambat," katanya. Dwyer mengajukan Afrika sebagai contoh. Angka tertular yang mencapai 200.000, tidak semua terjadi melalui pola yang dikenal, yakni hubungan homoseksual. Sebagian besar penularan terjadi, karena rendahnya kesadaran memelihara kesehatan di masyarakat maupun di rumah-rumah sakit. "Keadaan ini bisa membuat epidemi terjadi tiba-tiba, dan menyebar dengan sangat cepat," kata Dwyer. Kekhawatiran Dwyer terbukti dua pekan lalu. Bukan di Afrika atau di Asia, tapi di Uni Soviet. Harian Trade Union Daily yang terbit di Moscow memberitakan, 27 bayi di RS Pemerintah, Kota Elista, Rusia Selatan, terkena AIDS. Satu bayi sudah meninggal. Lebih celaka lagi, para ibu mereka, dikabarkan juga sudah tertular Aids. Penularan terjadi melalui puting, karena 27 bayi itu menyusu pada ibu masing-masing. Penjangkitan, menurut harian itu, terjadi karena buruknya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Ada kemungkinan para perawat tidak mengganti alat suntik, ketika memberikan imunisasi. "Alat suntik disediakan cukup banyak," tulis Trade Union Daily, "Tapi ada kemungkinan alat-alat suntik itu, digelapkan dan dijual keluar." Sebagian besar rumah sakit di Asia, kurang lebih sama dengan rumah sakit di Elista. Sungguh ada baiknya, bila kecemasan Dwyer dicamkan dalam-dalam.Jim Supangkat (Jakarta), Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini