DI RS Tokyo Women's Medical College, Jepang, 19 Januari lalu, sebuah operasi besar telah berhasil memindahkan ginjal ibu bergolongan darah B, kepada anaknya yang bergolongan darah 0. Selama ini, para pakar Negeri Sakura (dengan 500-an transplantasi setahun) selalu mencangkokkan ginjal dari kerabat yang sama golongan darahnya -- sebagaimana lazimnya operasi pencangkokan. Operasi ini -- dipimpin Prof. Kazuo Ohta -- dimungkinkan dengan adanya ginjal dari (donor) seorang ibu berumur 59 tahun, kepada anaknya (resipien) yang berusia 27 tahun. Tim Ohta, menurut dr. Hiroshi Toma, salah seorang anggota (dari 8 dokter) tim operasi, sebelumnya "mencuci" lebih dulu seluruh darah sang anak, dengan maksud mengurangi antibodi yang terkandung di dalam darahnya. "Selam itu, limpa pemuda itu juga dibuang," kata Toma pada Seiichi Okawa dari TEMPO. Kabarnya, dengan persiapan itu, fungsi antibodi resipien bisa ditekan jadi seperseratusnya. Ketika ginjal donor tadi -- sebagai suatu antigen -- masuk ke tubuh resipien, tidak akan muncul reaksi antigen-antibodi yang menolaknya. Artinya, tak ada penolakan. Ginjal baru bercokol dengan aman di pinggang sang anak, untuk menjalankan fungsinya. Ohta sendiri bangga dengan operasi itu. "Teknologi ini mungkin bisa dipakai untuk mencobakan transplantasi isi perut hewan kepada manusia," ujar Ohta. Tapi menurut dua ahli ginjal Indonesia, operasi yang dilakukan Jepang itu bukanlah istimewa. Indonesia pun pada saatnya kelak bisa berbuat hal serupa, asalkan uji pencocokan antigen-antibodi (matching) antara donor dan resipien menunjukkan indikasi baik. Menurut Dr. Jose Roesma, ahli ginjal FKUI yang belum lama ini memperoleh gelar doktor di Jepang, bila matching kurang baik, komplikasi pencangkokan akan sangat merepotkan dokter. "Kita mesti mengusahakan matching yang paling baik, bukan golongan darah A, B, dan O saja, tapi juga sistem HLA-nya," kata Jose. Human Lymphocyte Antigen (HLA) -- sejauh ini masih terus diteliti perannya -- adalah bagian kromosom C-6 (sebagian sel) manusia, yang diturunkan secara dominan dari generasi ke generasi. Pakar inial Prof.Dr. Radja Pingkir Sidabutar juga menganggap masalah HLA sebagai inti persoalan pencangkokan ginjal. "Kalau persoalan HLA bisa diatasi, yang lain, sih, logikanya bisa diatasi, meski golongan darahnya berbeda," kata Sidabutar seusai pidato pengukuhan dirinya sebagai guru besar FKUI, Sabtu pekan lalu. Yang jadi kendala bagi kita sekarang, menurut Sidabutar, bukan soal teknik operasi model Jepang itu, karena dapat kita kejar -- katanya, "Itu hanya soal waktu," melainkan sulitnya mencari donor ginjal. Buktinya, meski sudah 7 rumah sakit di Indonesia mampu melakukan cangkok ginjal, jumlah transplantasi di Indonesia belum mencapai 150. Mestinya ada jalan keluar, yakni dengan mencari donor ginjal orang mati (kadaver). Tapi ini pun sulit. "Kita belum diizinkan mempergunakan jenazah secara hukum, yang ada baru rekomendasi IDI, belum jadi peraturan pemerintah," tutur Kepala Sub-Bagian Ginjal dan Hipertensi FKUI/RSCM itu. Maka, baik Sidabutar maupun Jose menyayangkan soal sulitnya perolehan donor ini. Pasalnya, orang yang membutuhkan ginjal cangkokan di sini banyak sekali, sementara pengobatan dengan mesin hemodialisa (cuci darah) teramat mahal, mencapai 12 sampai 31 juta rupiah setahun. Sidabutarsendiri memperkirakan, setiap tahun 3.00 penderita baru diserang gagal ginjal terminal, yakni tak berfungsinya (kedua) ginjal akibat komplikasi berbagai penyakit, terutama glomerulonefritis kronis dan sumbatan infeksi batu. Tentu saja mesin dialisa -- di Indonsia jumlahnya hanya 200, sementara di Jepang ada 15 ribu -- tak bakal sanggup menangani banyaknya penderita yang diancam kematian itu. Satu-satunya jalan pintas adalah cangkok ginjal. "Biayanya pun relatif lebih murah, yakni antara 5 dan 12 juta rupiah," ujar Sidabutar. Menurut Sidabutar, cangkok ginjal di samping murah juga tekniknya sudah dikuasai oleh para ahli kita di sini. Reaksi penolakan (rejeksi) pun kini tak pernah terjadi lagi. Dulu, sekitar 1977, rejeksi itu soal klasik. Si resipien jadi panas, ginjalnya membengkak, urinenya sedikit, dan kadar ureum serta kreatininnya naik. "Dengan teknik matching yang baik dan obat-obatan yang lebih baik, sekarang hampir tak terjadi lagi. Para ahli kita sudah menguasainya dengan mudah, kayak bikin kacang goreng saja," kata Prof. Sidabutar.Syafiq Basri (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini