Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Risiko melahirkan bayi berbobot di bawah normal bagi yang tidak menyusui. Yang alamiah biasanya lebih unggul. SEORANG ibu yang enggan menyusui bayinya dapat merugikan diri sendiri. Menyusui diperlukan karena dapat mengurangi risiko infeksi pada rahim, yang setelah melahirkan kondisinya lemah. Jadi, menyusui bukanlah melulu untuk kepentingan bayi. Jika ada ibu yang tidak suka menyusui anaknya, di saat hamil berikutnya ia menanggung risiko lebih tinggi: melahirkan bayi di bawah bobot normal, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang beratnya di bawah normal itu kemungkinan lebih besar menderita sakit-sakitan, atau meninggal sebelum berumur seminggu. Itulah salah satu kesimpulan penting disertasi Djaswadi Dasuki, 45 tahun. Secara resmi. awal bulan ini Djaswadi menerima ijazah doktor di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Akhir Mei lalu, bapak empat putri ini meraih gelar doktor ahli dalam perinologi dan epidemiologi setelah mempertahankan disertasinya, The Association of Previous Breastfeeding and Interpregnancy Interval with Low Birth Weight and Perinatal Survival, di Universitas Yale, Amerika Serikat. Seusai proses kelahiran, menurut staf pengajar di FK UGM itu, jaringan pada lapisan rahim mudah terinfeksi. Ini disebabkan luka akibat lepasnya plasenta yang dalam masa kehamilan melekat pada selaput dinding rahim, atau disebut endometrium. Penyembuhan luka akan sangat terbantu oleh hormon prolaktin dan oksitusin. Hormon oksitusin, yang fungsi utamanya melancarkan air susu, akan mengerutkan luka-luka tadi. Sedangkan prolaktin pada kadar tinggi dapat menumbuhkan sel-sel selaput rahim. Ternyata, dengan menyusui, pengeluaran kedua hormon tersebut terpacu. "Proses kembali normal kandungan pada masa pasca-kelahiran dipercepat dengan jalan menyusui," ujar Djaswadi. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan, proses pemulihan rahim akan terganggu jika ibu tak pernah membagi ASI (air susu ibu) kepada bayinya. Bila kandungan kondisinya telah normal lagi, pada kelahiran berikutnya si ibu akan terhindar dari risiko melahirkan bayi di bawah berat normal. "Dan ibu yang tak menyusui anaknya cenderung melahirkan bayi dengan bobot di bawah normal," kata Djaswadi. Risikonya hampir tiga (2,85) kali lebih besar dibanding ibu yang rajin memberi air susunya kepada si kecil. Untuk sampai pada kesimpulan itu, Djaswadi mengambil data dan sampel dari penelitian sebelumnya di Bagian Kebidanan Fakultas Kedokteran UGM. Dan dari beberapa desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, terjaring 1.293 sampel. Data itu dikumpulkan sejak awal 1985 hingga akhir 1986. Pengamatan kembali dilakukannya pada awal 1990 sampai Mei tahun lalu. Dari sampel-sampel itu, ternyata 45 orang yang sama sekali tak menyusui bayinya. Delapan puluh tujuh menyusui bayi selama 1-6 bulan, dan 185 yang menyusui 7-12 bulan. Sementara itu, yang menyusui lebih dari setahun hingga satu setengah tahun ada 302 ibu. Dan terbanyak (674 orang) tetap menyusui bayi sampai lebih dari 18 bulan. "Untuk penelitian ini, saya menggunakan data retrospektif, karena waktunya yang terbatas," kata Djaswadi kepada M. Faried Cahyono dari TEMPO. Jadi, kepada para ibu itu ditanyakan, apakah dulu setelah melahirkan, mereka menyusui atau tidak, dan berapa lama menyusui, kemudian barulah dievaluasi. Agar analisanya tidak bias, beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitiannya dikontrol. Beberapa faktor itu, di antaranya, jarak kehamilan, faktor genetik ibu, umur kehamilan bayi, tinggi berat ibu, dan kadar hemoglobin dalam darah semasa kehamilannya. Kelahiran bayi di bawah berat normal ada kalanya memang ditentukan oleh bakat sang ibu. Itu, antara lain, disebabkan perkembangan tubuh ibu sewaktu proses tumbuh dewasa yang tidak sempurna. Ibu-ibu mungil ini, yang tingginya tidak sampai 145 sentimeter, kans mendapatkan bayi mungil juga besar. Sedangkan jarak kehamilan terlalu dekat biasanya juga berisiko tinggi. Demikian pula bila kadar hemoglobin si ibu terlalu rendah. Kenyataan bahwa ibu yang menyusui bayinya lebih banyak, tentu melegakan. Ini, seperti disarankan Djaswadi: setidaknya ASI itu diberikan selama enam minggu setelah bersalin. Masa enam minggu itu masa kritis. Kalau proses pemulihan kandungan tak sempurna, virus-virus jadi betah menetap di dalam kandungan. Secara alami serbuan virus itu dicegah oleh mekanisme alamiah yang terjadi ketika menyusui. Pada waktu menyusui, terjadilah kontraksi, sehingga aliran darah ke kandungan lancar. Juga, mengalirkan hormon prolaktin dan oksitusin yang mempercepat pertumbuhan sel kandungan, sampai proses fisiologis pemulihan rahim itu berlangsung optimal. Proses natural itulah yang tidak bisa tergantikan oleh apa pun. "Tak ada satu pun obat bisa mempercepat pemulihan kandungan," ujar Djaswadi. Hingga sekarang, memang belum ada obat yang bisa menggantikan hormon prolaktin. Obat biasanya cuma memperbaiki kontraksi atau kalau terjadi pendarahan. Pemakaian obat bahkan harus terseleksi benar. "Sebab, selama enam minggu masa kritis, kondisi ibu sedang lemah. Akibatnya, efek negatif obat-obatan tidak bisa diterima tubuh," Djaswadi menjelaskan. Menyusui memang suatu proses alamiah. Secara biologis wanita dikaruniai kemampuan menyusui. Seperti diketahui, hampir 100% wanita mampu menyusui. Sedangkan yang tak mampu menyusui karena kerusakan di kelenjar susu hanya 1%. Itu pun, separuhnya dapat memberikan ASI setelah kelainan pada kelenjar tadi diobati. "Jadi, senantiasa ada dampak positifnya di balik sesuatu yang natural," Djaswadi mengingatkan. G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo