Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lulusan Akademi Angkatan Udara bisa menjadi insinyur di ITB. Beberapa mata kuliah di Akabri diakui. Prioritas bagi perwira yang cerdas. ADA hadiah buat perwira lulusan Akabri. Bukan hanya bagi 669 perwira yang dilantik Presiden Soeharto di Istana Merdeka Sabtu lalu. Tapi untuk semua lulusan akademi itu, terutama Akademi Angkatan Udara (AAU). Mereka yang memenuhi syarat bisa melanjutkan belajar di ITB untuk menjadi insinyur. Lima perwira, berpangkat letnan dua, akan menempuh program studi sarjana di ITB pada tahun ajaran ini. Salah satu tujuan, menurut perwira penerangan AAU Kapten B. Sasmita, agar para perwira mampu menjawab tantangan teknologi sistem persenjataan maju yang tentunya tak cukup dipahami seorang lulusan AAU. "Seorang perwira udara minimal harus berotak insinyur," katanya. Dan keberangkatan lima lulusan AAU ke ITB ini, katanya, juga menandai ulang tahun ke-44 AAU Senin pekan ini. Kedua pihak, TNI AU dan ITB, merintis kerja sama itu sejak 1984. Pada mulanya baru terbatas pada program pengiriman dosen-dosen AAU ke ITB lewat program cangkokan. Tahun ini, baru disepakati lima perwira terbaik AAU bisa kuliah di ITB. "Karena masih proyek percobaan, hanya dipilih yang pintar-pintar," kata Sasmita. Kelima perwira AAU yang akan masuk ITB itu memang lulusan AAU paling cerdas. Mereka adalah Letnan Dua Tri Bowo Budi Santoso dan Letnan Dua Teguh Dharmawan, keduanya juara satu dan dua di Jurusan Elektronika AAU angkatan 1989. Demikian juga Letnan Dua Radar Pancajaya dan Letnan Dua Novian Samyoga, juara satu dan dua lulusan AAU Jurusan Aeronautika angkatan 1989. Bahkan Radar Pancajaya adalah pemegang penghargaan Adhimakayasa, juara umum AAU. Seorang lagi, Letnan Dua Purwoko termasuk perwira terbaik lulusan 1990. Mereka masuk ke ITB tanpa seleksi khusus. Mereka hanya diwajibkan ikut tes penempatan. Untuk menyelesaikan program S-1 di ITB, kelima perwira tersebut tak harus mengulang dari nol. Pihak ITB mengakui 90 sampai 100 SKS (satuan kredit semester) dari 120 SKS yang telah mereka peroleh di AAU. Dua perwira jurusan elektronika masih harus menempuh 70 SKS untuk menjadi sarjana. Sedangkan tiga perwira lainnya, dari jurusan aeronautika, perlu menambah 60 SKS lagi. Kelima perwira itu, untuk menjadi insinyur pada jurusan teknik mesin, spesialisasi teknik penerbangan yang baru dibuka, perlu belajar empat sampai enam semester lagi. Mereka pun diwajibkan menjadi mahasiswa pendengar pada beberapa mata kuliah untuk semester 3, 4, dan 5, yang punya bobot 18 SKS. "Kuliah ini dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan kami terhadap mata kuliah yang pernah kami peroleh di AAU. Sebab, ada beberapa mata kuliah yang di AAU hanya diberikan kulit-kulitnya," kata Tri Bowo, perwira asal Jakarta, dengan jujur. Misalnya, mata kuliah konstruksi pesawat, mekanika terbang, dan aerodinamika. Sebelum bergabung dengan mahasiswa lainnya 2 September nanti, mereka lebih dulu harus ikut kuliah pendahuluan sebulan. Tujuannya, tak lain, untuk menyetarakan pengetahuan akademik mereka dengan mahasiswa ITB yang lain. Para perwira, selama menjadi mahasiswa ITB, tak akan mendapat perlakuan istimewa. Mereka ikut kuliah dengan pakaian sipil, dan boleh-boleh saja aktif dalam berbagai kegiatan kampus. "Bagaimanapun juga, mereka adalah perwira ABRI, jadi mereka harus tetap menjaga komitmen mereka. Artinya, mereka tak akan melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Kalau hanya diskusi yang sifatnya ilmiah, ya malah bagus," kata Sasmita. Lewat pendidikan itu, mereka memang akan menjadi insinyur. Namun, belum jelas benar, apakah insinyurnya punya pengaruh terhadap pangkat dan posisinya setelah balik ke angkatan. "Kami tak memikirkan imbalan apa-apa. Yang penting kami menjalankan tugas sebaik-baiknya," kata Novian Samyoga, yang karena tugas belajar ini harus rela menunda pendidikannya di Sekolah Penerbang bersama rekannya, Tri Bowo. Pihak AAU, kata Sasmita, memang tak menjanjikan apa-apa pada mereka. "Menjadi perwira tugas belajar, bagi mereka, sudah merupakan kehormatan," katanya. Sebab, banyak perwira yang berlomba mendapatkan tiket itu. Lewat kerja sama ini, diakui oleh Rektor ITB Prof. Wiranto Arismunandar, kedua belah pihak akan sama-sama memetik keuntungan. ITB, kata ahli motor bakar itu, dapat masukan dari para pemakai teknologi canggih, sedangkan AU mendapat masukan tentang teknis pengelolaan teknologi. Kerja sama antara ABRI dan ITB itu bukan yang pertama. Pada tahun 1960-an pernah ada kerja sama dengan AD, Kepolisian, dan AL. "Tapi dengan AU kali ini agak berbeda. Karena, dengan angkatan lain hanya sebatas kursus," kata rektor ITB yang selalu berpakaian necis itu. Diakui Wiranto, sistem pendidikan di AAU berbeda dengan ITB. Terutama dalam hal sarana dan tenaga pengajarnya. Selama di ITB, mereka diperlakukan sama seperti mahasiswa lainnya. "Mereka bisa saja kena drop out jika memang tak mampu," katanya. Soal pergaulan, anggota ABRI dan mahasiswa ITB agaknya tak akan jadi masalah. Kebetulan usia mereka tak jauh terpaut. Memang, pernah terjadi adu jotos antara taruna AAL -- sebanyak 30 orang yang lagi ikut kursus di ITB -- dan mahasiswa jurusan teknik geodesi pada 1987. Namun, agaknya lain dulu lain sekarang. Kecuali yang masuk kini adalah perwira pilihan, kemungkinan yang terjadi hanya adu prestasi dengan mahasiswa lainnya. Bukan musimnya adu tinju. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Ahmad Novian (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo