Namanya Anton. Remaja kencur belasan tahun ini amat ingin memutus ketergantungannya pada narkotik dan obat berbahaya (narkoba). Dua tahun lalu, ia menjalani program detoksifikasi di sebuah rumah sakit swasta yang terkenal di Jakarta. Siapa nyana, program yang mestinya bagus ini justru membuat hidupnya tambah kusut-masai.
Adalah tes darah yang dilakukan tanpa izin untuk HIV (human immunodeficiency virus), virus penyebab sindrom kerontokan kekebalan tubuh (AIDS), yang jadi pangkal soal. Seorang dokter melakukannya tanpa sepengetahuan Anton dan keluarganya. Suatu hari, tiba-tiba saja dokter itu menemui Anton, yang masih dalam kondisi setengah sadar lantaran efek obat tidur. Lalu, tanpa basa-basi sang dokter mengabarkan bahwa Anton positif terinfeksi virus hepatitis C dan HIV. "Enteng, seperti bilang bahwa saya ini kena influenza," tuturnya. Tak ada perbincangan lebih lanjut. Anton dan kedua orang tuanya yang sedang terkaget-kaget ditinggalkan begitu saja.
Sejak saat itulah hidup Anton tambah ruwet. Orang tuanya, tanpa dibekali konseling mendalam, mengambil langkah drastis. Kamar, baju, bahkan peralatan makan-minum Anton dipisahkan dari milik anggota keluarga yang lain. Anton pun terasing dan kesepian di rumah sendiri, putus asa, dan kembali berpaling pada narkoba. "Saya jual tiga pesawat TV untuk beli putaw," katanya, "Biar saya mati sekalian."
Kisah hidup Anton itu terungkap dalam sebuah seminar tentang HIV/AIDS di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Rabu pekan lalu. Anton adalah bagian dari responden penelitian yang digelar Yayasan Spiritia, lembaga swadaya masyarakat yang khusus membantu orang yang hidup dengan HIV/AIDS—biasa disebut "ODHA".
Menurut Daniel Marguari, Koordinator Proyek Yayasan Spiritia, riset ini bertujuan memotret pelanggaran hak-hak asasi ODHA di Indonesia. Misalnya: tes HIV tanpa izin, pengucilan, dan diskriminasi layanan kesehatan. "Selama ini," kata Daniel, "pelanggaran seperti ini hanya dianggap sebagai insiden sesekali yang gampang terlupakan."
Padahal, tanpa penanganan yang serius, virus HIV berisiko menyebar lebih luas dan susah dikendalikan. Sejauh ini, data resmi Departemen Kesehatan sejak 1987 sampai Juni 2002 menunjukkan ada 2.950 kasus HIV/AIDS di Indonesia. Angka ini pun hanyalah secuil puncak gunung es. Jauh lebih banyak orang berisiko HIV yang segan memeriksakan diri karena tidak tahu, tidak mampu, atau khawatir dihantam macam-macam cap, stigma, dan diskriminasi. Perkiraan kasar, gunung es HIV/AIDS yang tersembunyi ini mencapai seratus kali lipat angka yang resmi dilaporkan Departemen Kesehatan.
Penelitian yang dilakukan Yayasan Spiritia, seperti dijelaskan oleh Daniel, berlangsung selama Juli sampai Oktober 2001. Lima relawan terjun mewawancarai ODHA yang tersebar di sepuluh provinsi, antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Memang hanya terjaring sedikit responden, 42 ODHA, lelaki dan perempuan berusia 16-42 tahun. Tapi, persoalannya, mendekati dan mengorek kisah para penyandang HIV bukanlah perkara gampang. Mereka amat tertutup, sensitif, atau bahkan sedang putus asa menanti kematian yang niscaya segera tiba.
Hambatan psikologis ini terjembatani dengan model pendekatan pribadi yang cukup intensif. Apalagi status beberapa relawan Spiritia, yang juga positif HIV, sanggup menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan. Walhasil, semua responden bersedia buka kartu. "Mereka merasa kami ini teman yang tetap bisa hidup tegar dan produktif meskipun kena HIV," kata Andreas Pundung Istiawan, relawan dan anggota tim pewawancara riset Spiritia. Andreas sendiri diketahui positif terkena HIV sejak 18 bulan silam.
Pada ujung riset, tim Spiritia merekam hasil sebagai berikut. Lebih dari separuh responden—55 persen atau 23 orang—melakukan tes tanpa dibekali konseling yang memadai. Ada 17 persen responden yang mengaku dipaksa menjalani tes. Lalu, ada 26 ODHA yang menyebutkan hasil tes darahnya diberitahukan kepada berbagai pihak tanpa izin si empunya darah.
Yang juga penting, terdapat 31 persen atau 13 responden yang menyatakan pernah mengalami penolakan saat mencari pengobatan medis. Alasan yang disampaikan oleh dokter atau perawat—demikian menurut responden—rumah sakit atau klinik yang bersangkutan tidak punya fasilitas memadai untuk merawat ODHA.
Bagi Andreas, penolakan yang dialami ODHA ini menunjukkan dunia kedokteran kita belum beranjak dari situasi tahun 1995. Kala itu Samsuridjal Djauzi, dokter ahli HIV/AIDS dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, diskors dari prakteknya di Rumah Sakit MMC hanya karena merawat pasien ODHA. Kasus ini kemudian mencuat menjadi sorotan nasional sehingga akhirnya manajemen MMC mencabut larangan praktek bagi Samsuridjal. Rumah sakit swasta di Jakarta Selatan ini pun minta maaf dan menyatakan bersedia merawat pasien ODHA.
Hingga kini, Andreas menekankan, pengalaman Samsuridjal dan pasien ODHA-nya masih terus terulang dalam skala dan versi yang lain. "Penolakan pasien juga tak hanya terjadi di rumah sakit di daerah terpencil," kata Andreas, "tetapi juga di kota besar seperti Jakarta."
Namun, tunggu dulu, ada baiknya kita tidak gegabah menuding dunia kedokteran terus-terusan mendiskriminasi ODHA. Awal tahun 1990, hanya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang bisa melayani pasien ODHA. Namun, pada 1999 telah ada 26 rumah sakit di Jakarta yang sanggup menyediakan layanan bagi ODHA dengan beragam tahapan. Malahan, Rumah Sakit MMC kini telah bergerak menjadi sentra layanan swasta untuk ODHA yang cukup terkemuka. "Jumlah 26 itu dipastikan telah meningkat saat ini," kata Zubairi Djoerban, Ketua Kelompok Studi Khusus HIV/AIDS di Fakultas Kedokteran UI.
Nuansa yang serupa juga muncul dalam pertemuan yang dihadiri 70-an ODHA yang bergabung dengan Yayasan Pelita Ilmu, Jakarta, akhir Oktober lalu. Sebagian besar yang hadir sepakat bahwa layanan medis untuk ODHA jauh lebih baik ketimbang 5-10 tahun silam. Dulu, begitu ketahuan positif HIV, dokter dan tenaga paramedis langsung pasang jarak. Ada yang menolak bersentuhan fisik dengan pasien, ada perawat yang mengantar makanan lewat jendela, atau tenaga kebersihan yang tak mau membersihkan ruangan pasien HIV. Bahkan ada yang menolak menyentuh perangkat medis—misalnya alat pengukur tekanan darah—yang pernah digunakan pasien HIV. Kejadian pahit semacam ini sekarang sudah amat jarang terdengar.
Memang, Zubairi mengakui, diskriminasi masih belum tuntas terhapus—"Stigma dan Diskriminasi" adalah tema Hari AIDS Sedunia, 1 Desember nanti. Sebuah sikap yang tak lain merupakan bagian dari kelirunya pemahaman tentang HIV di seluruh lapisan masyarakat. Tak sedikit yang menganggap HIV bagaikan hantu belau, yang gampang menyebar lewat percikan batuk dan bersin, air kolam renang, jabatan tangan, atau bergantian pesawat telepon.
Padahal, yang terjadi tidaklah semudah itu. Virus HIV hanya bisa menular melalui hubungan seksual, transfusi darah, pertukaran cairan tubuh, juga lewat jarum suntik narkoba yang tidak steril dan digunakan bergantian. Nah, dengan model penularan ini, jurus yang terbaik adalah menjauhi sebisa mungkin perilaku yang berisiko tinggi HIV/AIDS. Mengasingkan ODHA tidak bakal menolong siapa pun selain hanya berisiko mempertinggi timbunan gunung es HIV/AIDS.
Toh, seperti juga Magic Earvin Johnson yang pebasketngetop itu, para penyandang HIV bisa juga hidup tetap positif dan berkarya. Mereka bukanlah sekadar statistik. "Malahan," kata Andreas Istiawan, "bukan mustahil ODHA sanggup berkarya lebih bagus ketimbang sebagian orang yang tidak hidup bersama HIV."
Mardiyah Chamim dan Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini