MASALAH kependudukan agaknya tidak hanya berhenti pada kampanye
Keluarga Berencana seperti sekarang ini, yang hanya ditujukan
kepada pasangan suami-isteri. Anak-anak muda sudah waktunya
ikut menyadari betapa pentingnya pembatasan jumlah keluarga
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Fikiran seperti ini
memang telah muncul di kalangan mahasiswa Bandung sejak tahun
1973. Dari sebuah seminar yang diprakarsai Perhimpunan Keluarga
Berencana Indonesia, Jawa Barat, lahirlah tekad beberapa
mahasiswa untuk ikut aktif ambil bagian dalam menyebar-luaskan
ide tentang KB kepada golongan mereka sendiri. Sebab KB, menurut
mereka, bukanlah masalah buat orang-orang-tua belaka.
Menyusul seminar itu maka muncullah dalam tubuh PKBI, Jawa
Barat, sebuah divisi mahasiswa dan pemuda. Kegiatan utama divisi
ini antara lain memberikan penerangan-penerangan kepada kelompok
muda-usia, ceramah untuk murid SLA maupun kemah-kerja untuk
anak-anak muda luar sekolah.
Namun belum sampai berumur setahun divisi ini mulai terganggu
kerjanya, berhubung beberapa tenaga mereka tak sanggup
meneruskan kegiatan, karena takut terganggu pelajarannya di
bangku sekolah. Aktivisnya tinggal 12 orang. Kecuali itu ada
masalah lain yang mereka hadapi, yaitu sikap PKBI Pusat yang
menolak untuk mensyahkan adanya divisi pemuda dalam tubuh
organisasi tersebut, sementara para mahasiswa tadi ingin
mendapat posisi yang pasti dalam organisasi, supaya kegiatan
mereka lebih mantap. Tidak amatiran.
Akhirnya para mahasiswa memang harus rela meninggalkan PKBI
untuk meneruskan cita-cita mereka. Bulan Oktober 1974 dengan
akte notaris mereka bentuk sebuah perhimpunan yang bernama cukup
panjang: Perhimpunan Mahasiswa Untuk Studi Kependudukan dan
Kegiatan Keluarga Berencana di Indonesia. Untuk menghemat nafas
organisasi ini disebut saja Student Association.
Radius 60 Km
"Kegiatan SA terutama berupa studi, diskusi intern. Kemudian
idenya disebarkan ke masyarakat luas", begitu kata Hertog Saud,
ketua himpunan. Agaknya walaupun para aktivis SA ini sudah sejak
awal menyadari untuk tidak terlatu tergantung kepada fihak lain,
namun apa yang mereka rencanakan belum sepenuhnya terlaksana.
Mereka tetap amatir. Karena itu bisa diduga bahwa mereka akan
terbentur pada masalah biaya. "Memang ada iuran antar anggota",
katanya menyambung. "Tapi cuma Rp 50 per bulan". Sudah pasti tak
banyak artinya, karena anggota mereka sampai saat ini hanya 64
orang saja. Salah satu syarat untuk jadi anggota SA adalah
aktivis mahasiswa. "Dengan harapan agar mereka bergairah
menyebarkan ide-ide SA", katanya.
Tampaknya SA masih tertatih-tatih. Fikiran yang baik sering tak
bersmbut. Datam sebulan rata-rata hanya sekati mereka mengadakan
ceramah di sekolah. Sampai saat ini, belum ada sekolah yang
secara khusus meminta ceramah kepada mereka. Sebaliknya
organisasi itulah yang menawarkan diri. Pada mulanya
ceramah-ceramah semacam itu diberikan di SLA yang ada di kota
Bandung sja. "Itupun kami utamakan untuk sekolah kejurusan",
kata salah seorang pengurus, "dengan pertimbangan merekalah yang
setamatnya sekolah diduga terus berumah-tangga, karena mereka
akan langsung (cari) kerja".
Dari tengah-tengah Bandung mereka merencanakan untuk menyebarkan
pengertian tentang kependudukan ke daerah pinggiran kota, dalam
radius 60 Km. Tapi akhirnya tokh terbentur juga pada masalah
pembiayaan. Banyak kegiatan mereka yang terkatung-katung
sementara untuk menyelenggarakan lomba lukis anak-anak SD, lomba
tulis anak SLA dan mahasiswa, begitupun pameran buku dan ceramah
yang berkisar dalam soalKB, para pengurus pontang-panting cari
dana, sampai-sampai datang ke Jakarta. Banyak yang mereka bujuk
untuk ikut memberikan bantuan. Tak terkecuali instansi atau
lembaga yang ada kaitan langsung dengan masalah kependudukan.
Tapi nampaknya anak-anak muda itu hampir-hampir putus-asa saja.
"Melihat ide SA saja mereka salut. Tapi ketika membicarakan
pelaksanaannya, pembicaraan jadi macet. Ide-ide yang datang dari
bawah selalu susah diterima", keluh Hertog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini