SETELAH 12 kali sidang akhirnya Sugiarto alias Tan Gie Ing alias
Jiung, 45 tahun, akhir Agustus lalu di Yogyakarta dihukum 3
bulan serta harus membayar ongkos perkara. Ini gara-gara liung
sekitar Agustus 1972 mengucapkan kata-kata: "Untuk ketemu
Presiden saya cukup dengan celana pendek. Saya ini jenderal
Amerika, saya tidak takut pada siapapun dan saya punya tugas
yang bisa memindahkan pejabat, baik ABRI maupun Sipil" (TEMPO 29
Nopember 1975).
Jaksa Suhadi Muslam BA dalam tuntutannya pada sidang sebelumnya
minta agar terdakwa Jiung dihukum 6 bulap segera masuk plus
ongkos perkara. Menurut jaksa kata-kata penghinaan yang
memerangkap terdakwa masuk pasal-pasal KUHP itu diucapkan
terdakwa dengan nada sinis di hadapan tiga saksi: Abdul Gani
Umar, Bambag Sutedjo alias Tan Toe Lai dan Ny/Bambang Sutedjo.
Celana pendek, da hemat jaksa, bukanlah pakaian yang pantas
dipakai untuk menemui pejabat, apalagi Presiden. "Kata-kata itu
jelas merupakan suatu penghinaan, karena terdakwa tahu untuk
menghadap Presiden tidak pantas pakai celana pendek", ucap
jaksa.
Jiung dalam pembelaannya membantah tuduhan tersebut. Ia sama
sekali tak ada bermaksud menghina Presiden RI. Orang yang memang
suka bercelana pendek ini mengatakan, para saksi sebenarnya
sengaja dibiayai oleh Onggo Hartono untuk menjatuhkan Jiung.
Waktu itu terdakwa dan Onggo mengadakan kongsi usaha Toto Koni
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan dengan kejadian itu Onggo,
menurut Jiung, ingin menghilangkan perhitungan rugi laba
perkongsian mereka. Pengacara Jiung, Suwartini SH menyatakan
bahwa keterangan para saksi yang bertentangan satu sama lainnya
punya latarbelakang komersiil.
Tapi majelis hakim yang dipimpin oleh Ny. Lamiah Sulyatno SH
sepakat sudah bahwa Jiung bersalah. Memenuhi pasal 134 KUHP
Jiung dengan sengaja telah melakukan penghinaan terhadap
Presiden pada waktu tersebut di atas di rumah yang bersankutan
di Jalan Brigjen Katamso 29 Yogyakarta. Menurut hakim, terdakwa
dalam mengucapkan kata-kata penghinaan itu mengerti apa yang
dimaksudkan dengan "Presiden" yang secara umum adalah Kepala
Negara. Dasarnya, lanjut hakim, terdakwa dalam persidangan
pernah mengatakan bahwa ia suatu waktu pernah bertemu dengan
Presiden di Semarang. Selain itu menjawab Hakim Ketua terdakwa
mengerti maksud kata "Presiden" secara umum sebagai Kepala
Negara.
Yang memberatkan terdakwa adalah bahwa ia dalam sidang selalu
memperlihatkan kecongkakannya dan meremehkan orang lain.
Terdakwa tidak puas atas keputusan ini dan minta banding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini