UI Suan Eng, selain seorang ibu berusia 53 tahun, ia tergolong
wanita yang masih gigih. Sampai akhir bulan lalu wanita ini
masih belum jemu mendatangi kantor redaksi surat-surat kabar di
Medan. Mengadukan persoalan kematian anaknya yang dicurigainya
meninggal karena dianiaya orang. Sedang yang dituduhnya sebagai
penganiaya yang bernama TCK, tinggal di jalan Asia Medan, pada 3
September kemarin telah melangsungkan pesta perkawinannya.
"Kenapa ia bisa berada diluar tahanan dengan bebas, sedang
perkaranya belum pernah diajukan ke Pengadilan?", tanya nyonya
Ui. "Anak saya sudah mati sejak delapan bulan yang lalu",
tambahnya kepada TEM- PO. "Setelah ia dikebumikan 42 hari
kuburannya dibongkar kembali untuk kepentingan pemeriksaan
polisi", tukasnya lagi. "Anak saya, A Sun mati seperti ayam.
Saya ingin mencari keadilan karena orang yang telah membunuh
anak saya itu sampai hari ini belum dihukum".
Lie Hong Sun alias A Sun, 14 tahun dan beragama Budha, ketika
masih hayat bekerja di bengkel mobil merk CV "Karya" di jalan
Rahmatsyah Medan. Sampai ia meninggal sudah setahun bekerja di
sana. Pemilik bengkel itu bernama TGK, ayah kandung dari TCK.
Pada 18 Desember 1975 A Sun disuruh TCK (21 tahun) untuk
mengambil paku. Karena paku-paku itu dalam keadaan bengkok
(bekas pakai), A Sun terpaksa meluruskannya dengan sebuah martil
kecil. Ketika paku-paku itu selesai diluruskannya dan diberikan
pada TCK, malah A Sun dimaki-maki oleh anak majikannya itu.
"Mengapa begitu lambat kerjamu?", bentak TCK pada anak itu.
Ternyata penjelasan A Sun tidak diterima TCK, malah ia meninju
anak itu di rusuk sebelah kanan. Kemudian lehernya dicekik dan
tubuh anak itu dibantingnya ke atas tumpukan battery mobil yang
ada di sekitar mereka. Salah seorang abang A Sun yang bekerja di
bengkel itu melihat adiknya dipukuli, segera ingin memberi
pertolongan pada adiknya. Tetapi nadi A Sun sudah berhenti
berdenyut.
A Sun yang sudah tak sadarkan diri itu segera dibawa ke Rumah
Sakit Deli di jalan Merbabu 18 - 20 Medan. Tapi pada Kamis 18
Desember 1975, jam 14.30 ia meninggal dunia. Kemudian pada malam
itu juga keluarga TCK mengambil inisiatif untuk membuat surat
perjanjian. Surat itu disodorkan kepada ibu mendiang sehabis dia
pingsan. Anehnya, di dalam surat pernyataan yang diantarkan oleh
seorang Hansip ada disebutkan: "Tidak bersedia menyerahkan mayat
tersebut di-visum et repertum ke RSUPP Medan". Malah dalam itu
surat ada kalimat yang menyebutkan begini: "kematiannya akibat
kena aliran listrik".
Lie Hong Seng, 22 tahun, abang mendiang yang datang dari Padang
merasa curiga pada bunyi surat perjanjian tersebut. Lalu
mengusut persoalan ini dan bersama ibunya mengadukan TCK kepada
polisi. "Saya sendiri buta huruf", begitu Ui Suan Seng yang
sudah kematian suami dua tahun lalu mengakui pada koresponden
TEMPO "Saya disuruh teken surat yang sudah diketik oleh majikan
A Sun. Saya kira itu adalah surat keterangan mengenai anak saya
yang mayatnya boleh dikebumikan besok harinya. Rupanya bunyi
surat itu menyatakan bahwa kematian anak saya kena listrik.
Anehnya mayat anak saya tidak ada tanda-tanda biru di tubuhnya".
Ketika mayat Sun disemayamkan di Lembaga Sosial Desa, "saya
minta supaya mayat itu dibedah di RSUPP. Tapi TCK mengatakan,
kalau mayat ilu mau dibedah juga, maka mereka tidak mau
menanggung biaya pemakamannya. Kami sekeluarga terpaksa diam dan
menerima saja. Kami orang miskin . . .".
Karena keluarga A Sun mengadukan persoalan ini kepada polisi,
pada 31 Desember 1975 CK yang sehari-hari dipanggil A Kiat
ditangkap dan ditahan di Komdak II/Sumatera Utara. Dalam
pemeriksaan -- dan disiarkan surat kabar -- ia mengaku ada
mencekik leher A Sun dan memukul bagian rusuknya, kemudian
dibantingnya ke setumpuk battery. Menurut nyonya Ui Suan Eng,
TCK setelah keluar dari tahanan polisi mengatakan padanya, bahwa
perkara anaknya itu sudah selesai. "Saya sudah bebas dari segala
tuntutan. Apa kalian mau mengadu pada Jaksa, ah, saya bisa
belikan itu Jaksa satu rumah. Ke mana mau mengadu, mengadulah",
ucap TCK kepada ibu yang sedang malang itu. "Saya sendiri sampai
sekarang belum pernah dipanggil ke Pengadilan Negeri Medan.
Malah anak majikan A Sun itu pernah maumenabrak saya dengan
Hondanya, juga salah seorang abang iparnya. Karena mereka
menganggap saya hanya mengganggu mereka", ucap nyonya yang
menetap di jalan Besi Gang Damai 443 Medan, tidak jauh dari
rumah keluarga TCK.
Ibu A Sun mengatakan, ia sudah menanyakan persoalan tersebut ke
Komdak II. Dan di sana ia mendapat keterangan, perkara kematian
anaknya itu sudah diproses. Karena si ibu ini sudah tak sabar,
kemudian buka suara lewat beberapa surat kabar Medan. Reaksinya
bukan tidak ada atas keterangan janda ini. Pada 20 September
lalu harian Aalisa menyiarkan keterangan Kadispendak
II/Sumatera Utara, Mayor Amir Hamzah Nasution. "Polisi telah
memeriksa kasus itu", katanya. "Mayat itu juga dibongkar dari
kuburnya atas permintaan polisi untuk kepentingan pengusutan.
Dan si tersangka juga telah diperiksa". Mayor Amir mengatakan,
berkas perkaranya telah dikirim ke Kejaksaan Negeri Medan pada
11 Pebruari 1976 bernomor: 746/II/76. Tetapi kenapa TCK bisa
bebas dan seenaknya ngoceh di luar? "Jika perkaranya belum
selesai, itu bukan lagi urusan kami". kata Kadispendak II itu.
Sedang nyonya Ui Suan Eng ada menyebut-nyebut, bahwa perkara ini
sudah ditangani di Kejaksaan Negeri Medan, "dan pak Jaksa WaHad
bilang supaya saya sabar saja". Sabar itu sampai kapan, sih?
"Apakah karena saya orang miskin, lalu saya harus sabar sampai
saya tak bisa lagi menangis. Dan mati?".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini