Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mimpi Pegawai Di Bendungan Air

Pengalaman para juru pengairan yang mengamati & mengatur air di tempat penampungan peluberan air di beberapa daerah di Ja-bar. Ada yang menginginkan jadi pegawai negeri. (sd)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA tidak boleh terlalu jauh maupun terlalu rapat, dalam bergaul dengan masyarakat. Sebab kalau kita terlalu rapat, sebagai orang Timur, ya, biasanya lantas ada udang di balik batu," kata seorang juru pengairan, kepada Aris Amiris dari TEMPO. Juru pengairan itu bernama Engkos Hanapi. Usianya 29 tahun. Berasal dari Bandung, kini bertugas di 'Collector Drain Kumpul Kuwista Indramayu' sebagai pengamat pengairan. "Jadi kita harus membatasi diri," begitu kesimpulannya. "Bergaul wajar saja. Karena kalau tidak, orang yang terlalu rapat dengan kita lantas minta pembagian air yang berlebih dari kita .... " Pencuri Air Teori Engkos barangkali mengandung banyak kebenaran, terutama untuk dirinya sendiri. Ia memang tidak berminat menyusun taktik kerja secara umum. Lulusan STM PU Bandung ini, yang sudah dinas selama 4 tahun, hanya berusaha mengamankan diri sendiri. Ia merasa tugasnya sangat berat, lebih banyak duka, sehingga ia terpaksa menyusun disiplin kerja yang keras untuk diri sendiri -- yang mungkin sulit diterima orang yang senang bergaul terbuka. Setiap kali kemarau datang, Engkos merasa tugasnya bertambah penting - dan kepentingan pribadinya makin tertekan. Ia harus membagi air yang lehih sedikit dari kebutuhan itu, secara merata, adil dan melegakan semua orang. Sementara itu rakyat yang dilayaninya terdiri dari banyak sekali kepala dengan tabiat yang berbeda-beda. Di antara mahluk Tuhan itu banyak yang tidak mau peduli kesulitan seorang pengamat air. Memang barangkali sudah kodratnya, mereka dengan fanatisme yang amat besar melihat dunia hanya seluas petak sawahnya. Bagi mereka kewajiban hidup adalah memenuhi kebutuhan sawah itu dengan air. Bila perlu dengan mencuri. Tapi sebenarnya tidak semua pencuri air petani. Malah kebanyakan di antara pencuri itu bukan petani, melainkan memang bekerja sebagai pencuri -- untuk beberapa orang petani lain yang mampu membeli air. Operasi mereka bisa mengacaukan. Di daerah pantai seperti Indramayu, sebagaimana layaknya temperamen orang pantai, emosi sangat murah. Air sedikit saja tidak jarang menjadi sumber emosi yang menyembur-nyembur. "Kalau tidak hati-hati kepala bisa ditebas golok," tutur Engkos. Namun Engkos ternyata bisa memanfaatkan imajinasinya -- sebagai imbalan hidup di antara tebasan golok itu. Bila sawah-sawah mulai menghasilkan panen akibat berhasilnya pembagian air, kok hati Engkos ikut panen. "Meskipun bukan milik kami, tetapi setidak-tidaknya itulah hasil kerja kami," ujar Engkos, sambil menyungging senyuman. Apalagi sejak usainya collector drain (penampung peluberan air persisnya tentunya drain collector). 'Kumpul Kuwista' tahun lalu (1977) sering menjadi tempat rekreasi. Maka banyaklah muda-mudi datang berpacaran di hari-hari libur. Sebagai orang yang masih muda keadaan itu cocok dengan Engkos yang sudah berkeluarga dengan 3 orang anak. Ia tidak merasa kesepian. Padahal Kunana, juru pengairan di Bendung Cipager, Kabupaten Cirebon yang telah bergaul dengan air selama 32 tahun, sampai kini tetap merasa sepi. Ia memulai dinasnya sebagai juru pintu ini, kemudian naik jadi juru pengairan (setingkat di bawah pengamat pengairan). Sekarang dalam usia 53 tahun ia mengaku tidak dapat membedakan lagi antara suka dan duka. "Semuanya sudah merupakan tugas sehari-hari. Paling ada rasa sepi, jauh dari kota dan tidak ada hiburan," ujarnya. Dengan tanggungan 6 anak, Kunana setiap hari bertugas mencatat debit air Kali Cipager. Debit terendah tercatat plus 0,25. Yang tertinggi mencapai plus 1,9, dan terjadi di tahun 1977. Angkaangka itu direkam dalam sebuah buku jurnal -- di buku mana juga tercatat tanggal kelahiran anak-anaknya. Jadi jurnal komplit. Meskipun angka-angka itu tidak pernah benar-benar mengejutkan, Kunana tak berani mengatakan bahwa air sudah akrab dengannya. Sering bila air mulai meluap, ia gemetar. Cipager adalah sungai berbatu, dengan lebar lebih dari 25 meter. "Saya gemetar karena saya takut rumah saya palid -- hanyut," katanya. Setiap bulan Kunana menerima gaji Rp 35.300. Jumlah yang terlalu kecil untuk menyumbat 8 buah mulut. "Tetapi ya dicukup-cukupkan," kata juru pengairan itu. Sebentar lagi ia akan pensiun, tapi persiapan untuk itu belum ada. Ia tidak punya keahlian lain. Paling banter jadi petani, menggarap setengah hektar tanah warisan. Heran juga dengan dedikasi yang terhitung baik sampai sekarang, ia tidak pernah mendapat penghargaan. "Sampai saat ini belum, dan saya tidak mau minta. Pokoke apa jare diupahi bae," katanya dengan dialek Cirebon. Namun demikian nasibnya masih terhitung lebih baik daripada tokoh yang lain lagi, Kadira. Siapakah Kadira? Ia bukan pegawai negeri seperti Kunana dan Engkos, meski ia juga bekerja untuk Dinas Pekerjaan Umum. Ia seorang lelaki yang berusia 39 tahun. Sudah 19 tahun jadi juru pintu Bendung Jamblang, Kabupaten Cirebon." Tapi sampai hari ini saya masih belum diangkat jadi pegawai, masih dianggap harian dengan upah Rp 300," katanya dengan dongkol. Sudah 4 kali ia diusulkan jadi pegawai oleh pengamat pengairan. "Tapi sampai besok pagi belum ada jawabannya," katanya bertambah dongkol. Asmara Kecil-kecilan Kadira mengurus sebuah pintu air yang dibuat Belanda di tahun 1918. Bavangkan betapa tuanya. Segala sesuatunya sudah berkarat dan sulit. Untuk membuka peninggalan kolonial itu diperlukan tenaga 4 orang. Kadira tidak mungkin melakukannya sendirian, meskipun dipaksa-paksa. Karena itu, kalau air bah datang, sebagaimana terjadi di tahun 1963, Kadira terpaksa mencegat siapa saja yang kebetulan datang untuk membantunya. Seringkali, sementara hujan dengan gilanya menghantam sungai, Kadira hanya bisa termenung. Ia tak bisa membuka pintu air, kecuali sekedar memandangnya. Tahu apa yang harus dilakukan, sadar arti kewajiban, tapi tidak ada orang lewat untuk dicegat. Kalau dibilang berbahaya, ini sudah jelas berbahaya. Tetapi bagi Kadira lebih berbahaya lagi nasibnya sendiri yang tak ada ujung pangkal. Ia hanya mau jadi pegawai negeri Sebenarnya itu saja. Ia sudah tidak peduli suka dan duka, apalagi hanya sekedar kesepian. "Mustinya Pemerintah memberi keputusan buat saya," kata Kadira kembali. "Diterima atau tidak jadi pegawai negeri. Kalau ada jawaban, bahwa saya tidak diterima, hmm, hari ini juga saya berhenti jadi juru pintu!" Sulit dipastikan apakah gertakan ini juga sudah diucapkannya sejak 19 tahun yang lalu. Kalau ya, alangkah lamanya sudah Kadira dongkol. "Saya mau jadi petani saja!" kata penjaga pintu air itu seperti orang ngambek. "Saya kira penghasilannya jauh lebih baik ketimbang jadi juru pintu yang banyak makan hati!" Tubuh Kadira bagus. Tingginya 170 cm Anaknya 7 orang. Sayangnya pendidikannya hanya SD. Karena penghasilan juru pintu air tidak cukup, ia menjadi kuli kalau jam dinasnya sudah lampau. Dengan begitu ia masih dapat juga berakrobat mengasapi perut anak bini yang ditanggungnya. Kalaupun misalkan suatu ketika ia berhasil menjadi pegawai negeri, dapat diperkirakan ia toh tidak mungkin hanya mengandalkan asap dapur dari pintu air kolonial itu. Jelaslah hahwa nilai pegawai negeri bagi Kadira lebih merupakan tanda pengaman jiwa yang membantu nafsu kerjanya, bukan semata-mata angka rezeki. Dengan mengharukan, dapat kita lihat di tepi Bendung Jamblang itu seorang penjaga pintu air merasa amat pentingnya diakui sebagai pegawai negeri. Peristiwa yang sama terjadi pula di tepi Kendung Mejagong, 35 km sebelah selatan Pemal ang, Jawa Tengah . Di sana bekerja Turyono dan Slamet, masingmasing sebagai juru pintu. Sudah 5 tahun, tetapi kedudukan mereka masih belum jelas. Keduanya heran, sebagaimana Kadira. "Kenapa kami sampai hari ini belum juga diangkat sebagai pegawai negeri. Status kami tetap saja sebagai pegawai harian, dengan gaji Rp 8 ribu sebulan," kata mereka dengan mata takjub. Turyono dan Slamet bertugas membuka pintu bendung buat mengalirkan air ke saluran induk di sebelah kiri. Kadangkala mereka juga harus menguras lumpur dari mulut saluran induk. Sebagaimana umumnya penjaga pintu air, kegawatan selalu datang di musim hujan. Artinya pada masa-masa itu mereka menambah jam siaga, untuk mengatasi banjir yang bisa muncul setiap saat. Kalau sudah sibuk seperti itu, mereka kembali merasa betapa pentingnya tugas mereka. Dan setiap kali menyadari peranan itu, mereka pun takjub kembali mendapati diri mereka bukan pegawal negeri. Bendung Mejagong sekarang sudah dibangun kembali. Sebagaimana Kumpul Kuwista yang dijaga oleh Engkos, sepi telah berlalu dari daerah kerja ini. Hawa sejuk dengan kombinasi air jernih yang langsung gemercik dari gunung, menawarkan Mejagong kenyamanan rekreasi. Dan jadilah Mejagong tempat rekreasi. Pasangan muda-mudi berdatangan untuk mengobral asmara kecil-kecilan di bendung itu. Akibatnya: tidak hanya di musim hujan Turyono dan Slamet banting tenaga. Pada hari-hari libur kerjaan bertambah mengurus sisa-sisa sampah dari muda-mudi yang baru melepas keriaan mereka. Sampah berserakan dengan liarnya. Pohon-pohon yang ditanam ikut menderita kena sabet tangan iseng. Sementara dinding tembok bendung penuh dengan puisi konkrit yang ditulis dengan supidol dalam bunyi asmara yang memuakkan -- bagi yang tidak terlibat, tentu saja. Menghadapi ulah para remaja, Turyono dan Slamet yang bukan pegawai negeri itu sering terpaksa unjuk gigi. "Kadang-kadang kalau ada yang kelewat nakal, ban sepeda motornya sengaja saya bikin gembos. Biar tahu rasanya jalan dari bendung ke tempat tambal ban yang jauh," kata Slamet. "Habis saya kesel Pak. Mereka bukan ikut memelihara bendung ini, tapi malah main coret-coret. Apalagi saya bukan pegawai negeri!" (kalimat terakhir itu untung tidak sempat diucapkannya).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus