KITA tidak boleh terlalu jauh maupun terlalu rapat, dalam
bergaul dengan masyarakat. Sebab kalau kita terlalu rapat,
sebagai orang Timur, ya, biasanya lantas ada udang di balik
batu," kata seorang juru pengairan, kepada Aris Amiris dari
TEMPO.
Juru pengairan itu bernama Engkos Hanapi. Usianya 29 tahun.
Berasal dari Bandung, kini bertugas di 'Collector Drain Kumpul
Kuwista Indramayu' sebagai pengamat pengairan. "Jadi kita harus
membatasi diri," begitu kesimpulannya. "Bergaul wajar saja.
Karena kalau tidak, orang yang terlalu rapat dengan kita lantas
minta pembagian air yang berlebih dari kita .... "
Pencuri Air
Teori Engkos barangkali mengandung banyak kebenaran, terutama
untuk dirinya sendiri. Ia memang tidak berminat menyusun taktik
kerja secara umum. Lulusan STM PU Bandung ini, yang sudah dinas
selama 4 tahun, hanya berusaha mengamankan diri sendiri. Ia
merasa tugasnya sangat berat, lebih banyak duka, sehingga ia
terpaksa menyusun disiplin kerja yang keras untuk diri sendiri
-- yang mungkin sulit diterima orang yang senang bergaul
terbuka.
Setiap kali kemarau datang, Engkos merasa tugasnya bertambah
penting - dan kepentingan pribadinya makin tertekan. Ia harus
membagi air yang lehih sedikit dari kebutuhan itu, secara
merata, adil dan melegakan semua orang. Sementara itu rakyat
yang dilayaninya terdiri dari banyak sekali kepala dengan tabiat
yang berbeda-beda. Di antara mahluk Tuhan itu banyak yang tidak
mau peduli kesulitan seorang pengamat air. Memang barangkali
sudah kodratnya, mereka dengan fanatisme yang amat besar melihat
dunia hanya seluas petak sawahnya. Bagi mereka kewajiban hidup
adalah memenuhi kebutuhan sawah itu dengan air. Bila perlu
dengan mencuri.
Tapi sebenarnya tidak semua pencuri air petani. Malah kebanyakan
di antara pencuri itu bukan petani, melainkan memang bekerja
sebagai pencuri -- untuk beberapa orang petani lain yang mampu
membeli air. Operasi mereka bisa mengacaukan. Di daerah pantai
seperti Indramayu, sebagaimana layaknya temperamen orang pantai,
emosi sangat murah. Air sedikit saja tidak jarang menjadi sumber
emosi yang menyembur-nyembur. "Kalau tidak hati-hati kepala bisa
ditebas golok," tutur Engkos.
Namun Engkos ternyata bisa memanfaatkan imajinasinya -- sebagai
imbalan hidup di antara tebasan golok itu. Bila sawah-sawah
mulai menghasilkan panen akibat berhasilnya pembagian air, kok
hati Engkos ikut panen. "Meskipun bukan milik kami, tetapi
setidak-tidaknya itulah hasil kerja kami," ujar Engkos, sambil
menyungging senyuman. Apalagi sejak usainya collector drain
(penampung peluberan air persisnya tentunya drain collector).
'Kumpul Kuwista' tahun lalu (1977) sering menjadi tempat
rekreasi. Maka banyaklah muda-mudi datang berpacaran di
hari-hari libur. Sebagai orang yang masih muda keadaan itu
cocok dengan Engkos yang sudah berkeluarga dengan 3 orang anak.
Ia tidak merasa kesepian.
Padahal Kunana, juru pengairan di Bendung Cipager, Kabupaten
Cirebon yang telah bergaul dengan air selama 32 tahun, sampai
kini tetap merasa sepi. Ia memulai dinasnya sebagai juru pintu
ini, kemudian naik jadi juru pengairan (setingkat di bawah
pengamat pengairan). Sekarang dalam usia 53 tahun ia mengaku
tidak dapat membedakan lagi antara suka dan duka. "Semuanya
sudah merupakan tugas sehari-hari. Paling ada rasa sepi, jauh
dari kota dan tidak ada hiburan," ujarnya.
Dengan tanggungan 6 anak, Kunana setiap hari bertugas mencatat
debit air Kali Cipager. Debit terendah tercatat plus 0,25. Yang
tertinggi mencapai plus 1,9, dan terjadi di tahun 1977.
Angkaangka itu direkam dalam sebuah buku jurnal -- di buku mana
juga tercatat tanggal kelahiran anak-anaknya. Jadi jurnal
komplit. Meskipun angka-angka itu tidak pernah benar-benar
mengejutkan, Kunana tak berani mengatakan bahwa air sudah akrab
dengannya. Sering bila air mulai meluap, ia gemetar. Cipager
adalah sungai berbatu, dengan lebar lebih dari 25 meter. "Saya
gemetar karena saya takut rumah saya palid -- hanyut," katanya.
Setiap bulan Kunana menerima gaji Rp 35.300. Jumlah yang terlalu
kecil untuk menyumbat 8 buah mulut. "Tetapi ya
dicukup-cukupkan," kata juru pengairan itu. Sebentar lagi ia
akan pensiun, tapi persiapan untuk itu belum ada. Ia tidak
punya keahlian lain. Paling banter jadi petani, menggarap
setengah hektar tanah warisan. Heran juga dengan dedikasi yang
terhitung baik sampai sekarang, ia tidak pernah mendapat
penghargaan. "Sampai saat ini belum, dan saya tidak mau minta.
Pokoke apa jare diupahi bae," katanya dengan dialek Cirebon.
Namun demikian nasibnya masih terhitung lebih baik daripada
tokoh yang lain lagi, Kadira.
Siapakah Kadira? Ia bukan pegawai negeri seperti Kunana dan
Engkos, meski ia juga bekerja untuk Dinas Pekerjaan Umum. Ia
seorang lelaki yang berusia 39 tahun. Sudah 19 tahun jadi juru
pintu Bendung Jamblang, Kabupaten Cirebon." Tapi sampai hari ini
saya masih belum diangkat jadi pegawai, masih dianggap harian
dengan upah Rp 300," katanya dengan dongkol. Sudah 4 kali ia
diusulkan jadi pegawai oleh pengamat pengairan. "Tapi sampai
besok pagi belum ada jawabannya," katanya bertambah dongkol.
Asmara Kecil-kecilan
Kadira mengurus sebuah pintu air yang dibuat Belanda di tahun
1918. Bavangkan betapa tuanya. Segala sesuatunya sudah berkarat
dan sulit. Untuk membuka peninggalan kolonial itu diperlukan
tenaga 4 orang. Kadira tidak mungkin melakukannya sendirian,
meskipun dipaksa-paksa. Karena itu, kalau air bah datang,
sebagaimana terjadi di tahun 1963, Kadira terpaksa mencegat
siapa saja yang kebetulan datang untuk membantunya.
Seringkali, sementara hujan dengan gilanya menghantam sungai,
Kadira hanya bisa termenung. Ia tak bisa membuka pintu air,
kecuali sekedar memandangnya. Tahu apa yang harus dilakukan,
sadar arti kewajiban, tapi tidak ada orang lewat untuk dicegat.
Kalau dibilang berbahaya, ini sudah jelas berbahaya. Tetapi bagi
Kadira lebih berbahaya lagi nasibnya sendiri yang tak ada ujung
pangkal. Ia hanya mau jadi pegawai negeri Sebenarnya itu saja.
Ia sudah tidak peduli suka dan duka, apalagi hanya sekedar
kesepian.
"Mustinya Pemerintah memberi keputusan buat saya," kata Kadira
kembali. "Diterima atau tidak jadi pegawai negeri. Kalau ada
jawaban, bahwa saya tidak diterima, hmm, hari ini juga saya
berhenti jadi juru pintu!" Sulit dipastikan apakah gertakan ini
juga sudah diucapkannya sejak 19 tahun yang lalu. Kalau ya,
alangkah lamanya sudah Kadira dongkol. "Saya mau jadi petani
saja!" kata penjaga pintu air itu seperti orang ngambek. "Saya
kira penghasilannya jauh lebih baik ketimbang jadi juru pintu
yang banyak makan hati!"
Tubuh Kadira bagus. Tingginya 170 cm Anaknya 7 orang. Sayangnya
pendidikannya hanya SD. Karena penghasilan juru pintu air tidak
cukup, ia menjadi kuli kalau jam dinasnya sudah lampau. Dengan
begitu ia masih dapat juga berakrobat mengasapi perut anak bini
yang ditanggungnya. Kalaupun misalkan suatu ketika ia berhasil
menjadi pegawai negeri, dapat diperkirakan ia toh tidak mungkin
hanya mengandalkan asap dapur dari pintu air kolonial itu.
Jelaslah hahwa nilai pegawai negeri bagi Kadira lebih merupakan
tanda pengaman jiwa yang membantu nafsu kerjanya, bukan
semata-mata angka rezeki. Dengan mengharukan, dapat kita lihat
di tepi Bendung Jamblang itu seorang penjaga pintu air merasa
amat pentingnya diakui sebagai pegawai negeri.
Peristiwa yang sama terjadi pula di tepi Kendung Mejagong, 35 km
sebelah selatan Pemal ang, Jawa Tengah . Di sana bekerja Turyono
dan Slamet, masingmasing sebagai juru pintu. Sudah 5 tahun,
tetapi kedudukan mereka masih belum jelas. Keduanya heran,
sebagaimana Kadira. "Kenapa kami sampai hari ini belum juga
diangkat sebagai pegawai negeri. Status kami tetap saja sebagai
pegawai harian, dengan gaji Rp 8 ribu sebulan," kata mereka
dengan mata takjub.
Turyono dan Slamet bertugas membuka pintu bendung buat
mengalirkan air ke saluran induk di sebelah kiri. Kadangkala
mereka juga harus menguras lumpur dari mulut saluran induk.
Sebagaimana umumnya penjaga pintu air, kegawatan selalu datang
di musim hujan. Artinya pada masa-masa itu mereka menambah jam
siaga, untuk mengatasi banjir yang bisa muncul setiap saat.
Kalau sudah sibuk seperti itu, mereka kembali merasa betapa
pentingnya tugas mereka. Dan setiap kali menyadari peranan itu,
mereka pun takjub kembali mendapati diri mereka bukan pegawal
negeri.
Bendung Mejagong sekarang sudah dibangun kembali. Sebagaimana
Kumpul Kuwista yang dijaga oleh Engkos, sepi telah berlalu dari
daerah kerja ini. Hawa sejuk dengan kombinasi air jernih yang
langsung gemercik dari gunung, menawarkan Mejagong kenyamanan
rekreasi. Dan jadilah Mejagong tempat rekreasi. Pasangan
muda-mudi berdatangan untuk mengobral asmara kecil-kecilan di
bendung itu.
Akibatnya: tidak hanya di musim hujan Turyono dan Slamet banting
tenaga. Pada hari-hari libur kerjaan bertambah mengurus
sisa-sisa sampah dari muda-mudi yang baru melepas keriaan
mereka. Sampah berserakan dengan liarnya. Pohon-pohon yang
ditanam ikut menderita kena sabet tangan iseng. Sementara
dinding tembok bendung penuh dengan puisi konkrit yang ditulis
dengan supidol dalam bunyi asmara yang memuakkan -- bagi yang
tidak terlibat, tentu saja.
Menghadapi ulah para remaja, Turyono dan Slamet yang bukan
pegawai negeri itu sering terpaksa unjuk gigi. "Kadang-kadang
kalau ada yang kelewat nakal, ban sepeda motornya sengaja saya
bikin gembos. Biar tahu rasanya jalan dari bendung ke tempat
tambal ban yang jauh," kata Slamet. "Habis saya kesel Pak.
Mereka bukan ikut memelihara bendung ini, tapi malah main
coret-coret. Apalagi saya bukan pegawai negeri!" (kalimat
terakhir itu untung tidak sempat diucapkannya).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini