Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

1986: Mari Kuliah Ke Depok

Induk kampus Universitas Indonesia akan dipusatkan di depok di atas tanah seluas 300 HA dengan biaya sekitar Rp 40 milyar. Ada tiga desa yang terkena pembebasan tanah. Mulai pindah tahun 1986. (pdk)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 1986 Universitas Indonesia akan boyong. Pindah ke daerah Depok. Sekitar 25 km ke arah selatan dari kampus yang sekarang. Di lingkungan kebun pepaya, singkong dan rambutan, kampus baru itu memang lebih nyaman daripada pusat kota yang berisik. Rencana induknya sudah dibuat. Bagaimana bentuk kampus baru itu delapan tahun mendatang juga sudah bisa dibayangkan dari sebuah maket yang tersimpan di Jalan Salemba 4. Berdiri di atas tanah seluas 300 ha, seluruh bangunannya akan menghabiskan Rp 40 milyar. Mungkin nantinya UI akan merupakan kampus yang terbesar di Indonesia. Selain gedung utama untuk perkuliahan, sudah tentu ada asrama yang cukup besar. Lapangan bola dan kolam renang juga tersedia. Semua itu mulai dibangun Desember mendatang. "Kami tak pernah menduga kalau bakal dapat kampus baru," kata Rektor UI, Prof Dr Mahar Mardjono. Ini bisa difahami. Sebab sejak kepemimpinan rektor lama, ir. Soemantri Brodjonegoro, rencana perluasan kampus perguruan tinggi itu, belum sampai pada pembangunan kampus baru dan menyeluruh di atas sebidang tanah. Paling-paling melaksanakan pembangunan gedung baru di atas tanah yang sudah ada atau perbaikan gedung lama, baik yang di Salemba maupun Rawamangun. Baru pada akhir tahun 1973, beberapa lama setelah Mahar Mardjono dilantik sebagai rektor UI, datang kabar baik. Menteri P & K Syarif Thayeb ketika itu memberitahukan kepadanya tentang rencana pembuatan kampus baru untuk UI. Sawangan dan Gunung Putri dicalonkan untuk menggantikan Salemba dan Rawamangun. Tapi karena kedua daerah itu terlalu jauh, Mahar lalu mengusulkan di Depok saja. Selain faktor lingkungan yang sudah begitu ramai menjepit kampus yang sekarang, pertumbuhan UI memang sudah meminta perluasan yang cukup. Jumlah mahasiswanya sekarang 10.000 Iebih. Kalau diperhitungkan dalam 10 tahun mendatang jumlahnya akan mencapai 20.000. Jika kampus baru di Depok itu selesai, kampusnya yang lama akan tetap jadi milik UI. "Kampus lama tetap akan jadi milik UI. UI tidak bermaksud menjualnya," kata Mahar Mardjono. Di situ nantinya akan dipusatkan penyelenggaraan kursus-kursus, konperensi dan pendidikan pasca sarjana. Sedang yang di Rawamangun akan diserahkan kepada IKIP. Fakultas Kedokteran akan mendapat giliran paling belakang diboyong ke Depok. FKUI tetap akan bertahan di tempat lama, karena fakultas tersebut tak bisa dipisahkan dari pusat pendidikan prakteknya di RS Cipto Mangunkusumo yang terletak di belakang. Pembebasan tanah untuk kampus baru itu menurut Mahar Mardjono berjalan lancar-lancar saja. Dilaksanakan oleh pihak agraria Departemen Dalam Negeri, sejak 2 tahun yang lalu. Semua tanah penduduk yang terkena proyek sudah diganti. Kecuali tanah pekuburan. Karena pemiliknya meminta harga lebih tinggi. Ada tiga desa yang terkena pembebasan, masing-masing Pondok Cina, Kukusan dan Srengseng. Bekas Tentara Menurut maket, kampus UI itu nantinya akan menghadap ke timur, berhadapan dengan jalan Jakarta-Depok. Tetapi belakangan diketahui, bahwa di belakang tanah calon kampus itu bakal membentang jalan Jabotabek. "Kalau begitu kita harus membalikkan maket ini," ujar Mahar Mardjono. Sejak dua tahun pembebasannya, tanah yang berbukit-bukit di pinggir jalan Jakarta-Depok itu, sekarang mulai ramai digarap orang. Mereka menanam singkong atau pepaya di situ. "Nanti kalau UI mau bangun kita sukarela meninggalkan tanah ini," sahut Nisan, 54 tahun, penduduk asli di daerah itu. Sejak dulu ia memang bercocok-tanam di atas tanah tersebut. Hampir 1000 mÿFD tanahnya yang kena pembebasan dan sudah dibayar. Ketika pembangunan kampus di Rawamangun dulu, begitu juga. Setelah dibebaskan ada orang yang memanfaatkan tanah yang belum segera dibangun. Tapi ketika sampai saatnya mereka tak mau bergerak. Mereka baru pergi setelah diberi pesangon. Mahar Mardjono tak mau berhadapan kembali dengan pengalaman lama itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus