Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Semarang - Puluhan bangku di warung nasi pindang, kuliner khas Kudus, ini hampir penuh pada Kamis, 19 Juli lalu. Di depan warung bergaya ruko kuno di Semarang ini, dua pegawai hampir tak berhenti mengambil piring, mengaduk isi kuali, dan menuang kuah berwarna kehitaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warung nasi pindang yang persisnya berdiri di tepi Jalan Gajah Mada itu adalah milik Masyudi. Sejak 1987, warung Masyudi sudah menjadi salah satu tujuan wisata kuliner populer di kota atlas itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa pengunjung mengerubungi kuali yang ditata di pikulan. Kerumunan itu hampir memenuhi setengah badan trotoar. Memang bagian muka warung ini hampir menempel dengan jalur pedestrian.
"(Kami) dikenal karena menjual nasi pindang sapi," kata Masyudi saat ditemui awak media dalam jelajah kuliner legendaris bersama Ciputra menyambut Kampung Legenda, Kamis pagi.
Bukan seperti nasi pindang khas kota asalnya yang menggunakan daging kerbau, racikan Masyudi telah dimodifikasi dengan daging sapi tanpa menghilangkan citarasa aslinya. Hal itu, kata dia, menyesuaikan dengan lidah orang-orang Semarang.
Nasi pindang sejatinya merupakan kuliner warisan dari zaman raja-raja yang dipertahankan hingga sekarang. Dulu, Masyudi berkisah nasi pindang disajikan khusus untuk kaum bangsawan atau keluarga keraton.
Pemilik warung nasi pindang, Masyudi, tengah melayani pembeli. Warung ini terletak di Jalan Gajah Mada, Semarang. Tempo/Francisca Christy Rosana
Hal itu tercermin dari isi menu dan porsinya. Menunya berisi daging dan daun melinjo atau so dalam bahasa Jawa. Daging bagi penduduk setempat era kerajaan menjadi simbol prestisius. Sedangkan porsinya kecil atau kata orang lokal "hanya seuprit". "Kalau porsinya banyak, kan enggak umum bagi keluarga kerajaan. Saru," kata Masyudi.
Masyudi menjaga citarasa dengan bumbu dapur yang khusus didatangkan dari Yogyakarta. Semisal bawang lanang atau bawang putih tunggal, cabai, bawang merah, dan kluek. Kualitasnya, kata dia, berbeda.
Kualitas bumbu tentu akan berpengaruh terhadap rasa makanan. Begitu juga dengan daging sapi. Ia mendatangkan langsung daging sapi dari Salatiga. "Ada juga yang dari Semarang, tapi kami harus memastikan bahwa dagingnya benar-benar dalam kondisi baik," ujarnya.
Daging yang dipakai ialah daging bagian plimping yang tipis. Bisa juga daging bagian leher yang minim lemak. Daging tersebut dipotong kotak tipis dan masih tampak serat-seratnya.
Sekilas, nasi pindang ini punya penampakan mirip brongkos atau rawon. Namun rasanya lebih segar dan kuahnya tak terlalu medok meski sama-sama menggunakan kluek.
Seperti soto, nasi pindang dimakan dengan perasan jeruk nipis. Makanan pendampingnya pun tak jauh-jauh dari ragam gorengan: tempe dan perkedel.
Bila tak cukup kenyang dengan porsi yang kecil, pengunjung bisa menambahkan lauk jeroan dan telur rebus yang dimasak manis seperti lauk dalam gudeg.
Dalam sehari, Musyadi bisa menghabiskan 10 kilogram daging. Ia dibantu 10 karyawan. Sedangkan pada hari libur, pegawainya bisa mencapai 25 orang.
Rata-rata pembeli adalah mereka yang ingin klangenan dengan kuliner tempo dulu. Namun ada pula anak muda yang datang lantaran telanjur jatuh cinta dengan citarasanya.
Sepiring menu nasi pindang ini dibanderol Rp 17 ribu. Sedangkan lauk tambahannya mulai Rp 7 ribu hingga Rp 17 ribu. Warung Masyudi buka pukul 06.00 hingga 22.00.
Bila Anda ingin mencobanya, nasi pindang sapi Masyudi akan menggelar dagangannya di Kampoeng Legenda Mal Ciputra pada 8-18 Agustus mendatang.