TAK ada tanda-tanda akan turun hujan malam itu. Arus Sungai
Kapuas pun tenang. Karena itu Nasran bin Utuh juru mudi Bis Air
Setia Budi yang sedang melayari sungai itu tenang-tenang saja.
Ia lantas menyerahkan kemudi kepada awak bis, Juma'ah, 20 tahun.
Nasran yang dari siang memegang kemudi, mau istirahat tidur.
Pada mulanya, Juma'ah juga tak merasa waswas. Para penumpang dan
awak kapal yang lain, termasuk Nasran, lelap di kursi. Tapi
menjelang dini hari, Juma'ah mulai diganggu kantuk. Dalam
keadaan setengah mengantuk itulah, bis air itu tanpa disadarinya
merapat ke pinggir sungai. Tiba-tiba terdengar suara benturan
keras. Juma'ah kaget. Bis air yang dikemudikannya menabrak tepi
sungai. Segera ia membanting kemudi ke kanan kuat-kuat. Akibat
bantingan itu arus air ikut mendorong lambung, sehingga bis
berbalik arah dengan guncangan keras.
Penumpang panik -- dan ini membuat bis tambah miring sambil
melaju ke hilir. Nasran yang kemudian terjaga sia-sia membantu
Juma'ah. Dini hari, sekitar pukul 03.00, 4 Mei yang lalu, Bis
Air Setia Budi tenggelam dengan sebagian penumpang tak sempat
menyelamatkan diri.
Musibah itu tergolong kecelakaan terbesar di Kalimantan dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir ini. Sebanyak 36 mayat beberapa di
antaranya tak dikenal -- berhasil ditemukan. Awak bis bisa
menyelamatkan diri, termasuk juru mudinya, Nasran. "Musibah itu
benar-benar di luar dugaan," kata Nasran, 40 tahun, dengan
sedih. "Saya belum tahu, bagaimana nasib saya nanti," katanya
ketika ditemui di ruang pemeriksaan Kepolisian Kores 1312 Kuala
Kapuas, Kalimantan Selatan.
Nasran diperiksa dan ditahan sementara. Ayah 7 anak yang sudah 3
tahun bekerja di Bis Setia Budi ini, dianggap bertanggung awab
atas kecelakaan itu. Ia mengakui dan tak ingin lari dari
tanggung jawab itu. Ia menerima apa adanya dan menyebut kejadian
itu sebagai "nasib lagi sial". "Dua bulan sebelum pengalaman
pahit ini, saya sudah ingin berhenti," lanjutnya dengan pedih.
Sejak 1971 Nasran sudah mengenal liku-liku Sungai Kapuas yang
membujur dari Kalimantan Tengah sampai Kalimantan Selatan.
Lelaki yang hanya berpendidikan sekolah rakyat ini mulanya
menyewa kapal kecil untuk berdagang. Ia mengantungi STK (Surat
Tanda Kecakapan) sebagai juru mudi kapal sungai. STK ini
diperolehnya dengan ujian, seperti SIM kalau di darat. Ketika
usaha dagangnya macet dan Nasran kepepet tak punya pekerjaan
lain, pemilik Bis Air Setia Budi yang masih keluarga istrinya,
menawari jabatan sebagai juragan istilah untuk juru mudi bis
air. Nasran dites sekali jalan dan dianggap mampu membawa bis
air bertingkat itu.
Dalam sertifikat kelayakan, bis bertingkat itu hanya boleh
membawa 100 penumpang. Tetapi ketika musibah terjadi, kepolisian
mencatat ada 161 penumpang, termasuk awak bis. Nasran sendiri
tak tahu persis jumlah penumpang ketika itu, tetapi diakuinya
"sering melebihi ketentuan". Anehnya, ia sendiri merasa tak
berkuasa membatasi penumpang. "Di Bis Setia Budi, cincu lebih
berkuasa. Penumpang dan muatan diatur cincu," ujar Nasran. cincu
adalah pemilik yang setiap saat mengatur perjalanan bis air.
Cincu juga mengatur penumpang dan menarik karcis.
Nasran, katanya, memang tak senang mengangkut penumpang melebihi
ketentuan. Selain bisa berakibat STK-nya dicabut jika kepergok
patroli, ia menyadari bahayanya: sebab bis air miring tajam bila
menikung. Namun selama 3 tahun -- dan ia sendiri merasa aneh --
belum pernah kepergok patroli, yang biasanya dilakukan Satuan
Polisi Air. Karena itu ia semakin tak peduli, apalagi cincu yang
berkuasa itu suka menyelipkan uang antara Rp 2.000 sampai Rp
3.000 sekali jalan jika penumpang berlebih. Ini besar artinya,
karena gaji yang ia terima hanya Rp 2.000 setiap pulang pergi
yang memakan waktu seminggu -- termasuk istirahat satu-dua hari
di ujung perjalanan.
Kini, Nasran merasa pasti STK-nya akan dicabut karena kejadian
itu. Bahkan dengan 36 nyawa yang hilang itu, ia merasa pasti
akan dikenakan hukuman penjara. "Saya pasrah. Hanya anak saya
nanti jangan sampai jadi juragan. Ayahnya jadi juragan karena
terpaksa," ucapnya sedih. Istrinya Baratih, dan anak-anaknya
tinggal di Banjarmasin.
Dengan terkuburnya Setia Budi di Kapuas, kini tinggal 13 bis air
yang masih menempuh rute Banjarmasin -- Palangkaraya. Kedua ibu
kota provinsi yang berbatasan ini, berjarak sekitar 240 km. Bis
Air menempuh jarak itu dalam waktu 18 jam, jika berjalan nonstop
dan tidak ada hambatan. Hambatan itu misalnya: jika air di anjir
(semacam terusan pengatur volume air) lagi surut, bis harus
menunggu 4 jam. Atau menempuh jalan lingkar yang menyusuri
Sungai Murung.
Sesungguhnya waktu jelajahnya lebih lama ketimbang menunggu 4
jam itu, tetapi awak bis suka melalui jalan lingkar itu, karena
bisa menaikkan penumpang di Kota Marabahan. Kecelakaan Setia
Budi terjadi di jalan lingkar ini, setelah tak sabar menunggu
akibat surutnya air di Anjir Serapat.
Berkurang satu bis air. Berkurang pula satu juragan, jika STK
Nasran harus dicabut. Memang jumlah juragan di sepanjang Kapuas,
pas betul dengan jumlah bis air. Tak ada cadangan. Karena itu,
jika seorang juru mudi tak bisa bertugas, bis air tak jalan.
Jika pun jalan, bisa dipastikan juru mudinya tanpa memiliki STK.
Agaknya, pekerjaan juru mudi ini betul-betul tak diminati orang.
Haji Ibut Taher, 45 tahun, yang membeli bis air ketika kapal
sungai ini populer 4 tahun lalu, sampai kini tak punya juragan.
Akhirnya ia sendin yang mengemudikannya -- tentu sekaligus
merangkap cincu. Bis airnya yang diberi nama Kaya Expres
dilengkapi kasur empuk. Pengusaha kapal motor sejak tahun 1963
ini memilih elayanan carteran. Bis airnya sering dipa cai
pemerintah daerah atau perjalanan dinas. Kalaupun harus menempuh
rute Banjarmasin-Palangkaraya, sekali jalan pak haji yang punya
9 anak ini bisa mengantungi Rp 300.000. Awak kapalnya -- setiap
bis air punya 5 awak -- hanya dibayar Rp 10.000 sampai Rp 20.000
sebulan, "tergantung rajin tidaknya."
Para juragan dan awak bis air yang ditemui Pembantu TEMPO, Moh.
Hatta, di Sungai Kapuas, rata-rata mengeluh soal kecilnya
penghasilan dan besarnya tanggung jawab. Asrani bin Ardi, 43
tahun, yang bekerja di bis air Bobby Kencana menerima upah Rp
20.000 sekali perjalanan pulang pergi. Ia tak menerima tambahan
walau cincu memasukkan penumpang di atas ketentuan. Bahkan jika
air surut, ia harus turun mendorong bis air. "Perasaan baru lega
jika sampai di tujuan dengan selamat," katanya.
Asrani sudah menjadi juru mudi ketika Kapuas kedatangan bis air
4 tahun lalu. Tapi sejak 1961 ia sudah berkecimpung dalam dunia
pelayaran sungai di Kapuas. Ia lama bekerja di kapal tarik-kapal
yang tugasnya menarik kayu log dari Barito untuk dimuat ke kapal
yang berlabuh di muara. Pengalaman mengemudikan kapal tarik ini
sangat berarti ketika mengemudikan bis air. Ia tinggal ujian
mendapatkan STK, yang dikeluarkan LLASDP (Lalu Lintas Angkutan
Sungai Danau dan Penyeberangan).
Tapi membawa kapal penumpang ternyata lain: Ia harus menghadapi
bermacam-macam tingkah penumpang. Ada yang memaksa dibebaskan
dari karcis. Ada yang cerewet jika bis air berjalan tersendat.
Ada pula yang asyik bercumbu jika malam. Bis air memang
kebanyakan menempuh waktu malam hari, seperti halnya bis malam
di darat, agar tidak kepanasan. Seorang gadis yang sendiran,
tanpa pengawal, biasanya waswas menumpang bis air, sebab sering
diganggu lelaki jahil. "Karena hal itu, saya sering dititipi
anak gadis," kata Asrani sambil mesem. Yang menitipi biasanya
memberi uang, Asrani pun menerimanya. Gadis titipan itu di bis
diakui keluarganya. "Tak ada penumpang yang berani usil kepada
keluarga juragan," lanjut Asrani. Tapi ia juga mengaku sering
menerima titipan barang dengan imbalan tertentu.
Hanya itu yang menyenangkan. Selebihnya Asrani menyebut terlalu
banyak dukanya. Berpisah dengan istri dan 4 anaknya yang
ditinggal di Pagat Barabai, 168 km dari Banjarmasin. Kesepian di
saat istirahat di Palangkaraya. Jika jalan bis tersendat, sering
bermalam di Kuala Kapuas atau Pulang Pisau atau Martapura, yaitu
kota-kota yang disinggahinya. "Sekarang saya kepingin jadi
petani, rasanya masa depan lebih jelas," kata Asrani tiba-tiba.
Alasan Asrani barangkali sama dengan dalih Tajul, 40 tahun, juru
mudi bis air Palangkaraya Indah. "Belum ada dan belum pernah ada
perjanjian tertulis antara pengusaha dan juragan selama ini,"
katanya. Berpengalaman di kapal sungai sejak 1965 dan menjadi
juru mudi bis air sejak alat angkut itu muncul di sana, Tajul
tetap saja menerima Rp 17.500 menempuh rute Kapuas itu pulang
pergi. Upah itu tak mencukupi untuk hidup bersama 4 anaknya.
Di jalur Sungai Kapuas Kalimantan Barat, bis air bahkan
mengalami masa pudar. Barangkali ini pertanda "kemajuan
pembangunan". Karena mundurnya bis air berarti sarana angkutan
di darat telah lebih baik. Jurusan Pontianak-Putussibau yang
menyusuri Kapuas sepanjang 814 km dijalani 4 bis air.
"Penumpangnya terus berkurang. Sekarang paling hanya 30 orang,"
kata Thalib, 38 tahun, juru mudi bis air milik CV Kapuas Utama.
Dua tahun lalu, penumpangnya rata-rata di atas 100 orang, walau
bis air itu dalam sertifikat hanya boleh mengangkut 83
penumpang. Orang lebih suka naik kendaraan dulu ke Sintang, baru
naik bis air. "Bis air mulai berbahaya. Jalan ke pedalaman
sebagian besar menghadapi bahaya batu dan pohon kayu yang
hanyut", tutur ayah 4 anak ini. Kalau tahun lalu dalam satu
bulan masih bisa jlan 3 trip, kini paling banyak 2 trip
perjalanan. Padahal gaji Thalib dihitung tiap trip, sebesar Rp
35.000. "Apa boleh buat. Pindah kerjaan juga sulit," kata lelaki
yan pernah lama jadi juru mudi kapal pengangkut kayu itu.
Pontianak-Putussibau, kalau lancar, ditempuh 3 hari 3 malam
nonstop. "Kita waspada terus. Paling bisa tidur 3 jam dengan
menambatkan bis di tepian," katanya. Selain ancaman menubruk
kayu log yang hanyut, juga ditabrak kapal motor perusahaan kayu
yang banyak berseliweran. "Biarlah kita minggir mengalah. Kita
membawa orang, mereka membawa benda mati," kata Thalib.
Di kota yang disinggahi, bis air itu sering menunggu penumpang
sampai sehari dua hari. Ini menyebabkan "saya sering lupa wajah
anak saya yang kecil," kata Thalib.
Ternyata bis air tak cuma ada di Kalimantan. Di Jawa bis air
menghubungkan Cilacap (Jawa Tengah) dengan Kalipucang (Jawa
Barat). Sebutan yang dipakai bukan bis air, tapi kapal motor
penumpang. Itu pun hanya sebuah, yakni KMP Ulin yang beroperasi
sejak November 1981 menghubungkan kampung-kampung yang belum
terjamah angkutan darat seperti Motean, Klaces, Majingklak,
Pamotan, dan Kalipucang.
Jarak 48 km di tempuh KMP Ulin rata-rata 2,5 jam. "Penumpangnya
berkurang terus, kini rata-rata 20 orang saja," kata Abdul
Hamid, 26 tahun, juru mudi kelahiran Waiwerang, Flores ini.
Berkurangnya penumpang berarti seretnya pemasukan. Karena itu
KMP Ulin, milik Proyek Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan
Ditjen Angkutan Darat, sejak awal bulan ini diklasifikasikan
sebagai "kapal yang tidak beroperasi" karena biaya operasinya
tak bisa ditutupi dari hasil penumpang. Akibatnya, "uang makan
dikurangi dari Rp 750 menjadi Rp 600," kata Hamid. Tentu saja ia
sedih, karena gajinya sebulan hanya Rp 32.500 tanpa ada tambahan
apa-apa lagi.
Angkutan sungai, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta di
sektor angkutan penumpang, tampaknya sudah mulai tidak populer.
Pengadaan jalan raya semakin menyudutkan usaha ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini