Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Nasib di sepanjang sungai

Jabatan juru mudi bis air tak diminati orang, gaji kecil dengan tanggung jawab yang besar. di kalimantan tengah dan selatan, bis air kesulitan juru mudi. (sd)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada tanda-tanda akan turun hujan malam itu. Arus Sungai Kapuas pun tenang. Karena itu Nasran bin Utuh juru mudi Bis Air Setia Budi yang sedang melayari sungai itu tenang-tenang saja. Ia lantas menyerahkan kemudi kepada awak bis, Juma'ah, 20 tahun. Nasran yang dari siang memegang kemudi, mau istirahat tidur. Pada mulanya, Juma'ah juga tak merasa waswas. Para penumpang dan awak kapal yang lain, termasuk Nasran, lelap di kursi. Tapi menjelang dini hari, Juma'ah mulai diganggu kantuk. Dalam keadaan setengah mengantuk itulah, bis air itu tanpa disadarinya merapat ke pinggir sungai. Tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Juma'ah kaget. Bis air yang dikemudikannya menabrak tepi sungai. Segera ia membanting kemudi ke kanan kuat-kuat. Akibat bantingan itu arus air ikut mendorong lambung, sehingga bis berbalik arah dengan guncangan keras. Penumpang panik -- dan ini membuat bis tambah miring sambil melaju ke hilir. Nasran yang kemudian terjaga sia-sia membantu Juma'ah. Dini hari, sekitar pukul 03.00, 4 Mei yang lalu, Bis Air Setia Budi tenggelam dengan sebagian penumpang tak sempat menyelamatkan diri. Musibah itu tergolong kecelakaan terbesar di Kalimantan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini. Sebanyak 36 mayat beberapa di antaranya tak dikenal -- berhasil ditemukan. Awak bis bisa menyelamatkan diri, termasuk juru mudinya, Nasran. "Musibah itu benar-benar di luar dugaan," kata Nasran, 40 tahun, dengan sedih. "Saya belum tahu, bagaimana nasib saya nanti," katanya ketika ditemui di ruang pemeriksaan Kepolisian Kores 1312 Kuala Kapuas, Kalimantan Selatan. Nasran diperiksa dan ditahan sementara. Ayah 7 anak yang sudah 3 tahun bekerja di Bis Setia Budi ini, dianggap bertanggung awab atas kecelakaan itu. Ia mengakui dan tak ingin lari dari tanggung jawab itu. Ia menerima apa adanya dan menyebut kejadian itu sebagai "nasib lagi sial". "Dua bulan sebelum pengalaman pahit ini, saya sudah ingin berhenti," lanjutnya dengan pedih. Sejak 1971 Nasran sudah mengenal liku-liku Sungai Kapuas yang membujur dari Kalimantan Tengah sampai Kalimantan Selatan. Lelaki yang hanya berpendidikan sekolah rakyat ini mulanya menyewa kapal kecil untuk berdagang. Ia mengantungi STK (Surat Tanda Kecakapan) sebagai juru mudi kapal sungai. STK ini diperolehnya dengan ujian, seperti SIM kalau di darat. Ketika usaha dagangnya macet dan Nasran kepepet tak punya pekerjaan lain, pemilik Bis Air Setia Budi yang masih keluarga istrinya, menawari jabatan sebagai juragan istilah untuk juru mudi bis air. Nasran dites sekali jalan dan dianggap mampu membawa bis air bertingkat itu. Dalam sertifikat kelayakan, bis bertingkat itu hanya boleh membawa 100 penumpang. Tetapi ketika musibah terjadi, kepolisian mencatat ada 161 penumpang, termasuk awak bis. Nasran sendiri tak tahu persis jumlah penumpang ketika itu, tetapi diakuinya "sering melebihi ketentuan". Anehnya, ia sendiri merasa tak berkuasa membatasi penumpang. "Di Bis Setia Budi, cincu lebih berkuasa. Penumpang dan muatan diatur cincu," ujar Nasran. cincu adalah pemilik yang setiap saat mengatur perjalanan bis air. Cincu juga mengatur penumpang dan menarik karcis. Nasran, katanya, memang tak senang mengangkut penumpang melebihi ketentuan. Selain bisa berakibat STK-nya dicabut jika kepergok patroli, ia menyadari bahayanya: sebab bis air miring tajam bila menikung. Namun selama 3 tahun -- dan ia sendiri merasa aneh -- belum pernah kepergok patroli, yang biasanya dilakukan Satuan Polisi Air. Karena itu ia semakin tak peduli, apalagi cincu yang berkuasa itu suka menyelipkan uang antara Rp 2.000 sampai Rp 3.000 sekali jalan jika penumpang berlebih. Ini besar artinya, karena gaji yang ia terima hanya Rp 2.000 setiap pulang pergi yang memakan waktu seminggu -- termasuk istirahat satu-dua hari di ujung perjalanan. Kini, Nasran merasa pasti STK-nya akan dicabut karena kejadian itu. Bahkan dengan 36 nyawa yang hilang itu, ia merasa pasti akan dikenakan hukuman penjara. "Saya pasrah. Hanya anak saya nanti jangan sampai jadi juragan. Ayahnya jadi juragan karena terpaksa," ucapnya sedih. Istrinya Baratih, dan anak-anaknya tinggal di Banjarmasin. Dengan terkuburnya Setia Budi di Kapuas, kini tinggal 13 bis air yang masih menempuh rute Banjarmasin -- Palangkaraya. Kedua ibu kota provinsi yang berbatasan ini, berjarak sekitar 240 km. Bis Air menempuh jarak itu dalam waktu 18 jam, jika berjalan nonstop dan tidak ada hambatan. Hambatan itu misalnya: jika air di anjir (semacam terusan pengatur volume air) lagi surut, bis harus menunggu 4 jam. Atau menempuh jalan lingkar yang menyusuri Sungai Murung. Sesungguhnya waktu jelajahnya lebih lama ketimbang menunggu 4 jam itu, tetapi awak bis suka melalui jalan lingkar itu, karena bisa menaikkan penumpang di Kota Marabahan. Kecelakaan Setia Budi terjadi di jalan lingkar ini, setelah tak sabar menunggu akibat surutnya air di Anjir Serapat. Berkurang satu bis air. Berkurang pula satu juragan, jika STK Nasran harus dicabut. Memang jumlah juragan di sepanjang Kapuas, pas betul dengan jumlah bis air. Tak ada cadangan. Karena itu, jika seorang juru mudi tak bisa bertugas, bis air tak jalan. Jika pun jalan, bisa dipastikan juru mudinya tanpa memiliki STK. Agaknya, pekerjaan juru mudi ini betul-betul tak diminati orang. Haji Ibut Taher, 45 tahun, yang membeli bis air ketika kapal sungai ini populer 4 tahun lalu, sampai kini tak punya juragan. Akhirnya ia sendin yang mengemudikannya -- tentu sekaligus merangkap cincu. Bis airnya yang diberi nama Kaya Expres dilengkapi kasur empuk. Pengusaha kapal motor sejak tahun 1963 ini memilih elayanan carteran. Bis airnya sering dipa cai pemerintah daerah atau perjalanan dinas. Kalaupun harus menempuh rute Banjarmasin-Palangkaraya, sekali jalan pak haji yang punya 9 anak ini bisa mengantungi Rp 300.000. Awak kapalnya -- setiap bis air punya 5 awak -- hanya dibayar Rp 10.000 sampai Rp 20.000 sebulan, "tergantung rajin tidaknya." Para juragan dan awak bis air yang ditemui Pembantu TEMPO, Moh. Hatta, di Sungai Kapuas, rata-rata mengeluh soal kecilnya penghasilan dan besarnya tanggung jawab. Asrani bin Ardi, 43 tahun, yang bekerja di bis air Bobby Kencana menerima upah Rp 20.000 sekali perjalanan pulang pergi. Ia tak menerima tambahan walau cincu memasukkan penumpang di atas ketentuan. Bahkan jika air surut, ia harus turun mendorong bis air. "Perasaan baru lega jika sampai di tujuan dengan selamat," katanya. Asrani sudah menjadi juru mudi ketika Kapuas kedatangan bis air 4 tahun lalu. Tapi sejak 1961 ia sudah berkecimpung dalam dunia pelayaran sungai di Kapuas. Ia lama bekerja di kapal tarik-kapal yang tugasnya menarik kayu log dari Barito untuk dimuat ke kapal yang berlabuh di muara. Pengalaman mengemudikan kapal tarik ini sangat berarti ketika mengemudikan bis air. Ia tinggal ujian mendapatkan STK, yang dikeluarkan LLASDP (Lalu Lintas Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan). Tapi membawa kapal penumpang ternyata lain: Ia harus menghadapi bermacam-macam tingkah penumpang. Ada yang memaksa dibebaskan dari karcis. Ada yang cerewet jika bis air berjalan tersendat. Ada pula yang asyik bercumbu jika malam. Bis air memang kebanyakan menempuh waktu malam hari, seperti halnya bis malam di darat, agar tidak kepanasan. Seorang gadis yang sendiran, tanpa pengawal, biasanya waswas menumpang bis air, sebab sering diganggu lelaki jahil. "Karena hal itu, saya sering dititipi anak gadis," kata Asrani sambil mesem. Yang menitipi biasanya memberi uang, Asrani pun menerimanya. Gadis titipan itu di bis diakui keluarganya. "Tak ada penumpang yang berani usil kepada keluarga juragan," lanjut Asrani. Tapi ia juga mengaku sering menerima titipan barang dengan imbalan tertentu. Hanya itu yang menyenangkan. Selebihnya Asrani menyebut terlalu banyak dukanya. Berpisah dengan istri dan 4 anaknya yang ditinggal di Pagat Barabai, 168 km dari Banjarmasin. Kesepian di saat istirahat di Palangkaraya. Jika jalan bis tersendat, sering bermalam di Kuala Kapuas atau Pulang Pisau atau Martapura, yaitu kota-kota yang disinggahinya. "Sekarang saya kepingin jadi petani, rasanya masa depan lebih jelas," kata Asrani tiba-tiba. Alasan Asrani barangkali sama dengan dalih Tajul, 40 tahun, juru mudi bis air Palangkaraya Indah. "Belum ada dan belum pernah ada perjanjian tertulis antara pengusaha dan juragan selama ini," katanya. Berpengalaman di kapal sungai sejak 1965 dan menjadi juru mudi bis air sejak alat angkut itu muncul di sana, Tajul tetap saja menerima Rp 17.500 menempuh rute Kapuas itu pulang pergi. Upah itu tak mencukupi untuk hidup bersama 4 anaknya. Di jalur Sungai Kapuas Kalimantan Barat, bis air bahkan mengalami masa pudar. Barangkali ini pertanda "kemajuan pembangunan". Karena mundurnya bis air berarti sarana angkutan di darat telah lebih baik. Jurusan Pontianak-Putussibau yang menyusuri Kapuas sepanjang 814 km dijalani 4 bis air. "Penumpangnya terus berkurang. Sekarang paling hanya 30 orang," kata Thalib, 38 tahun, juru mudi bis air milik CV Kapuas Utama. Dua tahun lalu, penumpangnya rata-rata di atas 100 orang, walau bis air itu dalam sertifikat hanya boleh mengangkut 83 penumpang. Orang lebih suka naik kendaraan dulu ke Sintang, baru naik bis air. "Bis air mulai berbahaya. Jalan ke pedalaman sebagian besar menghadapi bahaya batu dan pohon kayu yang hanyut", tutur ayah 4 anak ini. Kalau tahun lalu dalam satu bulan masih bisa jlan 3 trip, kini paling banyak 2 trip perjalanan. Padahal gaji Thalib dihitung tiap trip, sebesar Rp 35.000. "Apa boleh buat. Pindah kerjaan juga sulit," kata lelaki yan pernah lama jadi juru mudi kapal pengangkut kayu itu. Pontianak-Putussibau, kalau lancar, ditempuh 3 hari 3 malam nonstop. "Kita waspada terus. Paling bisa tidur 3 jam dengan menambatkan bis di tepian," katanya. Selain ancaman menubruk kayu log yang hanyut, juga ditabrak kapal motor perusahaan kayu yang banyak berseliweran. "Biarlah kita minggir mengalah. Kita membawa orang, mereka membawa benda mati," kata Thalib. Di kota yang disinggahi, bis air itu sering menunggu penumpang sampai sehari dua hari. Ini menyebabkan "saya sering lupa wajah anak saya yang kecil," kata Thalib. Ternyata bis air tak cuma ada di Kalimantan. Di Jawa bis air menghubungkan Cilacap (Jawa Tengah) dengan Kalipucang (Jawa Barat). Sebutan yang dipakai bukan bis air, tapi kapal motor penumpang. Itu pun hanya sebuah, yakni KMP Ulin yang beroperasi sejak November 1981 menghubungkan kampung-kampung yang belum terjamah angkutan darat seperti Motean, Klaces, Majingklak, Pamotan, dan Kalipucang. Jarak 48 km di tempuh KMP Ulin rata-rata 2,5 jam. "Penumpangnya berkurang terus, kini rata-rata 20 orang saja," kata Abdul Hamid, 26 tahun, juru mudi kelahiran Waiwerang, Flores ini. Berkurangnya penumpang berarti seretnya pemasukan. Karena itu KMP Ulin, milik Proyek Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Ditjen Angkutan Darat, sejak awal bulan ini diklasifikasikan sebagai "kapal yang tidak beroperasi" karena biaya operasinya tak bisa ditutupi dari hasil penumpang. Akibatnya, "uang makan dikurangi dari Rp 750 menjadi Rp 600," kata Hamid. Tentu saja ia sedih, karena gajinya sebulan hanya Rp 32.500 tanpa ada tambahan apa-apa lagi. Angkutan sungai, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta di sektor angkutan penumpang, tampaknya sudah mulai tidak populer. Pengadaan jalan raya semakin menyudutkan usaha ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus