MATA PISAU
Oleh: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982, 66 halaman.
Puisi dan filsafat hidup punya kaitan keduanya memandan hidup
sebagai masalah. Penyair dan filsuf, dalam hal ini sama-sama
menanggap hidup sebagai teka-teki yang perlu dibuka.
Perbedaan mereka cuma terletak dalam bersikap. Seorang filsuf
cenderung kalau hendak merenggut jawaban dari balik kabut
rahasia, cenderung disusunnya dalam sistim berpikir yang ketat.
Sebaliknya penyair tinggal dalam bertanya-tanya. Tapi justru
dalam bertanya-tanya itu kemungkinan jawaban yang timbul pada
kita, yang turut bertanya, tetap lentur dan merangsang, serta
tidak akan menjadi konsep yang beku dan dogmatis.
Seluruh sajak Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan Mata Pisau,
yang terbagi atas kelompok sajak Mata Pisau dan Akuarium, boleh
dikata bertolak dari bertanya-tanya tentang makna dan tujuan
akhir dari hidup. Pertanyaannya bersentuhan dengan masalah dasar
yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin waktu melukis di Pulau
Haiti. Pada sebuah kanvas yang besar yang disangkanya akan
merupakan lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Prancis itu
berniat menghabisi nyawanya sendiri -- dibubuhkannya judul
berupa pertanyaan: Dari mana kita datang? Siapakah kita? Ke
mana kita pergi?
Kesadaran akan masalah hidup yang inti itu biasanya timbul dalam
kemelut -- situasi krisis yang bisa dialami suatu kelompok
masyarakat atau pribadi. Rentetan pertanyaan yang menyangkut
pangkal-pangkal hidup, yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu,
telah melahirkan sajak-sajak Sapardi dalam Mata Pisau.
Rahasia yang disadari Sapardi, tetap meliputi makna perjalanan
hidupnya, dinyatakan dalam kata-kata: Kita berjalan mencari
batas kabut pagi (Kabut Pagi) dan Kemudian aku
berjalan-setengah-bermimpi menembus udara yang semakin tebal
asapnya (Perjalanan). Peristiwa hujan di dalam berbagai sajak
sekaligus merupakan hidup yang penuh rahasia dan juga keresahan
penyair dalam mengungkapkan maknanya.
Tapi yang berkali-kali bangkit dari sajak-sajak Sapardi adalah
pertanyaan tentang tujuan hidup yang tidak tegas arahnya:
Kenapa kau bawa aku ke mari, Saudara? atau Ke mana pula
burung-burung itu terbang ?
Jawaban yang didapat ternyata tidak meyakinkan bagi penyairnya
sendiri. Lihatlah: sampai di persimpangan/ujung jalan itu, yang
menjurus ke segala arah/ sambil menolak arah. Bahkan tujuan
praktis saja, yang kita manfaatkan dari hidup, seperti yang
direncanakan wanita untuk membuat tas kulit ular dalam sajak Di
Kebon Binatang, bagi penyair merupakan pemecahan masalah yang
sesat.
Lebih pedih lagi adalah pertanyaan yang timbul dari kesangsian
akan hakikat dirinya. Berulang ditanyakan: Siapakah namamu?
(Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago), Namamu Siapa? (Narcissus).
Bahkan dalam sajak terakhir itu, ia merasa cemas melihat
wajahnya yang sebenarnya terbayang di air hening.
Kekecutan menghadapi identitas diri itu akhirnya menimbulkan
terkaan-terkaan yang setiap kali ternyata keliru. Aku adalah air
... adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah
kaca adalah . .. (Akuarium). Bayang-bayang yang nampak di
dinding juga berubah-ubah dari kijang menjadi harimau, gajah,
babi hutan, dan kera (Bola Lampu). Dalam sajak Di Banjar Tunjuk,
Tabanan, pemukul gendang membayangkan diri berganti-ganti
menjadi Rama, kemudian Garuda, akhirnya Rawana. Dan karena
kehilangan kepastian pribadi itu ia binasa terbunuh oleh
beratus-ratus kera.
Keragu-raguan akan hakikat diri bisa berlanjut kepada hilangnya
kepercayaan akan keharusan eksistensi. Penyair tidak berani lagi
menatap diri. Siapa mengajarmu menatapku begitu ? (Matahari
Menepi). Konsekuensinya adalah pemikiran tentang kebinasaan,
tentang bayangan diri sebagai keturunan pisau yang terengah dan
mengucurkan darah (Katanya Kau), juga tentang mata pisau yang
berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu (Mata Pisau).
Sajak-sajak Mata Pisau Sapardi ditulis dalam saat-saat kemelut.
Bahwa kemelut itu terjadi dalam jiwa penyairnya dapat kita lihat
bekasnya pada sajak Hujan dalam Komposisi, 1. Pertanyaan Apakah
yang kau tangkap dari swara hujan ..., terjawab dalam kata-kata:
Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendri.
Tetapi keguncangan jiwa telah mendapatkan penyelesaian dalam
kerja menyajak. Sajak disebutnya "semacam suku kata" yang akan
mengantarnya tidur. Menulis sajak mendatangkan katharsis kepada
Sapardi Djoko Damono. Tapi ia juga penuh sangsi, dan bertanya
dalam sajak Taman Jepang, Honolulu:
inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil jalan setapak yang
berbelit, matahari yang berteduh di baah bunga-bunga, ricik air
yang membuat setiap jawaban tertunda.
Subagio Sastroardyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini