Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kemelut-kemelut sapardi

Jakarta: balai pustaka, 1982 resensi oleh: subagio sastrowardoyo. (bk)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA PISAU Oleh: Sapardi Djoko Damono Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982, 66 halaman. Puisi dan filsafat hidup punya kaitan keduanya memandan hidup sebagai masalah. Penyair dan filsuf, dalam hal ini sama-sama menanggap hidup sebagai teka-teki yang perlu dibuka. Perbedaan mereka cuma terletak dalam bersikap. Seorang filsuf cenderung kalau hendak merenggut jawaban dari balik kabut rahasia, cenderung disusunnya dalam sistim berpikir yang ketat. Sebaliknya penyair tinggal dalam bertanya-tanya. Tapi justru dalam bertanya-tanya itu kemungkinan jawaban yang timbul pada kita, yang turut bertanya, tetap lentur dan merangsang, serta tidak akan menjadi konsep yang beku dan dogmatis. Seluruh sajak Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan Mata Pisau, yang terbagi atas kelompok sajak Mata Pisau dan Akuarium, boleh dikata bertolak dari bertanya-tanya tentang makna dan tujuan akhir dari hidup. Pertanyaannya bersentuhan dengan masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin waktu melukis di Pulau Haiti. Pada sebuah kanvas yang besar yang disangkanya akan merupakan lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Prancis itu berniat menghabisi nyawanya sendiri -- dibubuhkannya judul berupa pertanyaan: Dari mana kita datang? Siapakah kita? Ke mana kita pergi? Kesadaran akan masalah hidup yang inti itu biasanya timbul dalam kemelut -- situasi krisis yang bisa dialami suatu kelompok masyarakat atau pribadi. Rentetan pertanyaan yang menyangkut pangkal-pangkal hidup, yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu, telah melahirkan sajak-sajak Sapardi dalam Mata Pisau. Rahasia yang disadari Sapardi, tetap meliputi makna perjalanan hidupnya, dinyatakan dalam kata-kata: Kita berjalan mencari batas kabut pagi (Kabut Pagi) dan Kemudian aku berjalan-setengah-bermimpi menembus udara yang semakin tebal asapnya (Perjalanan). Peristiwa hujan di dalam berbagai sajak sekaligus merupakan hidup yang penuh rahasia dan juga keresahan penyair dalam mengungkapkan maknanya. Tapi yang berkali-kali bangkit dari sajak-sajak Sapardi adalah pertanyaan tentang tujuan hidup yang tidak tegas arahnya: Kenapa kau bawa aku ke mari, Saudara? atau Ke mana pula burung-burung itu terbang ? Jawaban yang didapat ternyata tidak meyakinkan bagi penyairnya sendiri. Lihatlah: sampai di persimpangan/ujung jalan itu, yang menjurus ke segala arah/ sambil menolak arah. Bahkan tujuan praktis saja, yang kita manfaatkan dari hidup, seperti yang direncanakan wanita untuk membuat tas kulit ular dalam sajak Di Kebon Binatang, bagi penyair merupakan pemecahan masalah yang sesat. Lebih pedih lagi adalah pertanyaan yang timbul dari kesangsian akan hakikat dirinya. Berulang ditanyakan: Siapakah namamu? (Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago), Namamu Siapa? (Narcissus). Bahkan dalam sajak terakhir itu, ia merasa cemas melihat wajahnya yang sebenarnya terbayang di air hening. Kekecutan menghadapi identitas diri itu akhirnya menimbulkan terkaan-terkaan yang setiap kali ternyata keliru. Aku adalah air ... adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah . .. (Akuarium). Bayang-bayang yang nampak di dinding juga berubah-ubah dari kijang menjadi harimau, gajah, babi hutan, dan kera (Bola Lampu). Dalam sajak Di Banjar Tunjuk, Tabanan, pemukul gendang membayangkan diri berganti-ganti menjadi Rama, kemudian Garuda, akhirnya Rawana. Dan karena kehilangan kepastian pribadi itu ia binasa terbunuh oleh beratus-ratus kera. Keragu-raguan akan hakikat diri bisa berlanjut kepada hilangnya kepercayaan akan keharusan eksistensi. Penyair tidak berani lagi menatap diri. Siapa mengajarmu menatapku begitu ? (Matahari Menepi). Konsekuensinya adalah pemikiran tentang kebinasaan, tentang bayangan diri sebagai keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan darah (Katanya Kau), juga tentang mata pisau yang berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu (Mata Pisau). Sajak-sajak Mata Pisau Sapardi ditulis dalam saat-saat kemelut. Bahwa kemelut itu terjadi dalam jiwa penyairnya dapat kita lihat bekasnya pada sajak Hujan dalam Komposisi, 1. Pertanyaan Apakah yang kau tangkap dari swara hujan ..., terjawab dalam kata-kata: Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendri. Tetapi keguncangan jiwa telah mendapatkan penyelesaian dalam kerja menyajak. Sajak disebutnya "semacam suku kata" yang akan mengantarnya tidur. Menulis sajak mendatangkan katharsis kepada Sapardi Djoko Damono. Tapi ia juga penuh sangsi, dan bertanya dalam sajak Taman Jepang, Honolulu: inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh di baah bunga-bunga, ricik air yang membuat setiap jawaban tertunda. Subagio Sastroardyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus