Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asri dan nyeni. Itu kesan yang diterima otak saya kala memasuki area Djajanti House. Sukar disangkal, guest house atawa penginapan yang berlokasi di tengah kota Semarang tersebut mengingatkan kita pada rumah-rumah Jawa kuno yang hanya bisa kita saksikan dari foto-foto periode 1970 dan 1980-an. Tak hanya lewat joglo, tapi juga dari perabotan lawas di dalamnya.
Menurut sang pemilik, Kesi Wijayanti-cuilan nama belakangnya dijadikan nama penginapan-desain Djajanti House adalah wujud kerinduannya kepada kampung halamannya di Cepu, Jawa Tengah. "Saya kangen pada rumah masa kecil saya dulu di Cepu," ujarnya pekan lalu.
Impian itu Kesi bangun di lahan bekas kos-kosan miliknya, sekitar 30 meter dari rumahnya di kawasan Candi, Semarang. "Saya kepengin menguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa lewat penginapan ini," ujar ibu tiga putra itu.
Kesi, 54 tahun, menggandeng desainer interior Dea Widya, arsitek Yu Sing, serta Paulus Mintarga selaku kontraktor. Saat berkolaborasi, mereka sepakat mengusung konsep Jawa eklektik atau penggabungan, desain bangunan ramah lingkungan, dan memanfaatkan material bekas. Tema itu terejawantahkan secara detail di sekujur ruangan, mulai taplak meja, hiasan lemari, serta kaca warna-warni khas rumah Jawa pada 1970-an.
Yang paling mencuri perhatian saya adalah sulaman benang kristik bergambar bunga dan Masjid Agung Demak. Ada juga gambar gerombolan anak kucing yang sedang bermain. Saat saya di usia taman kanak-kanak, itu merupakan sederet hiasan terpampang di dinding rumah nenek. Jamak juga dijumpai di rumah tetangga kita.
Kesi merajut gambar-gambar itu saat masih remaja. Begitu pun perabot vintage di lobi, seperti meja, kursi, serta lampu, yang dibawa Kesi dari rumahnya di Cepu. Barang-barang itu akan membuat kita tersenyum mengenang memori masa kecil.
Dea menjelaskan, perabotan dan pernak-pernik yang digunakan di lobi hampir seluruhnya bekas, tapi dikomposisi ulang. Ia menambahkan sentuhan unsur pop art, yang menguatkan konsep Jawa retro di Djajanti House. "Kami berharap tamu yang datang akan merasakan suasana yang artsy di sini," kata desainer yang tinggal di Bandung tersebut, pekan lalu.
Djajanti House terdiri atas pendopo, pelataran, taman, dan bangunan utama yang berisi delapan kamar inap. Pendopo di Djajanti House ibarat aula serbaguna. Ruangan berpilar kayu ini dimanfaatkan sekaligus untuk meja resepsionis, tempat bersantai, perpustakaan mungil, serta tempat makan. Ketiadaan sekat di pendopo membuat area ini terasa nyaman dan lega. Pandangan ke arah taman yang menyejukkan mata pun tak terhadang. Cocok dijadikan tempat bersantai saat sore sembari menyesap teh hangat.
Kenyamanan ala Djajanti House juga terasa di kamar inapnya yang terdiri atas tipe studio dan standar. Beda kedua tipe itu ada pada kapasitas. Studio lebih besar dan memiliki mezanin, sehingga bisa menampung sampai lima orang. Tempat tidur yang digunakan di kamar tipe ini unik, yakni tempat tidur tingkat bertiang besi yang lazim digunakan saat ibu kita kecil.
Ruangan kamar sendiri didominasi oleh bahan kayu dan dinding dari bata ekspos. Padanan itu membuat kamar terasa hangat. Yang unik adalah bagian atap pemisah antar-ruangan di lantai atas. Oleh Yu Sing-arsitek asal Bandung yang mengedepankan konsep hijau-atap pemisah dua kamar dirancang bisa memantulkan cahaya, dengan memanfaatkan sebaris genteng kaca. Hal itu membuat kita bisa menikmati sinar mentari yang mengintip dari balik atap. Terang dan menenangkan, seperti suasana hati saat kita berkunjung ke rumah nenek. ISMA SAVITRI
Djajanti House
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo