SEMULA ia hanya kusir cikar dan buruh tani. Buta huruf lagi.
Tapi sekarang Pak Kiran menjadi orang penting. Banyak orang dari
jauh datang mengunjunginya di desa Sukosewu (22 km dari Blitar),
Jawa Timur. Ia dipandang berkemampuan mengobat berbagai macam
penyakit, mulai dari TBC sampai kanker. Pembantu TEMPO, Slamet
Oerip Prihadi, belum lama ini bertamu ke situ. Laporannya:
Para penderita diopname, hampir seperti di sanatorium. Terdapat
rumah penampungan yang sudah mekar menjadi 100 buah dengan daya
tampung 750 pasien -- melebihi kapasitas sebuah rumahsakit
kabupaten. Ada pula lapangan helikopter agak ke timur untuk
meladeni pasien yang datang dengan heli.
Desa Sukosewu sudah tak gelap lagi. Malam hari desa itu terang
benderang oleh tenaga listerik. Kehidupan menjadi-jadi di sana.
Banyaklah yang kebagian rezeki, terutama pemilik kolt, sepeda
motor (ojek) dan dokar. Untuk mencapai Sukosewu para tamu harus
dari Blitar melewati desa Talun dengan menumpang kolt Rp 75.
Dari situ membonceng ojek Rp 150 sampai ke rumah Pak Kiran. Ada
100 ojek dan 100 dokar yang beroperasi.
Pak Kiran, 51 tahun, sangat bersahaja, selalu mengenakan kaus
oblong agak lusuh dan jarang memakai sendal, apalagi sepatu.Tapi
kalau bepergian, dia kelihatan keren dengan baju safari.
Tubuhnya tegap. Rambutnya hitam dan kumisnya melintang. Jari
tangannya seperti sudah bertambah satu karena rokok kretek yang
terus-menerus dihirupnya. Rokok merupakan salah satu pembayaran
yang dipakai pasien sebagai tanda terimakasih. Di sini tak
dikenal pembayaran dengan uang.
Seluruh isi rumah yang jadi tempat penampungan pasien adalah
pemberian mereka yang pernah tinggal di situ. Juga rumah
penampungan itu sendiri berasal dari pasien. Pak Kiran
menyediakan tanahnya seluas 4 ha buat para penderita membangun
tempat istirahat. Sekarang ini sedang giatnya seorang pejabat
Pertamina membangun rumah dekat kediaman Pak Kiran.
Pak Kiran adalah anak tunggal Hasan Mangli, yang dikenal sebagai
Mbah Mangli. Ia beristeri dua dengan sepuluh orang anak. Tempat
prakteknya adalah rumah yang ia diami bersama isteri pertamanya.
Kembang Telon
Untuk berbagai jenis penyakit, obatnya hanya cairan berwarna
kuning dibuat dari jahe, kunir, kembang kenanga, kuning telur
dan jeruk pecal. Setiap pasien harus membawa beberapa butir
telur ayam. Setelah dipegang Pak Kiran, telur itu akan
dikembalikan kepada si pasien sebagai makanan sendiri. Ada lagi
syarat lain: Orang harus membawa kenbang telon, serangkum bunga
terdiri dari 3 macam.
"Sebetulnya bunga itu untuk menguji keyakinan penderita saja.
Yang penting, penderita harus mempunyai keyakinan untuk sembuh.
Tanpa bunga pun saya bisa tahu apa sakit si penderita," kata Pak
Kiran. Ternyata banyak kembang tiba, membuat ia hanya tidur 3
jam sehari untuk meladeni pasien, yang opname dan yang harian,
mencapai 1000 orang.
Para penderita biasanya tak perlu mengemukakan keluhan. Pak
Kiran akan langsung menyebutkan pantang makanan, si penderita,
dan apakah orang itu berobat jalan atau perlu opname. "Hampir
semua pasien saya ini bekas rongsokan rumahsakit," tuturnya. Hal
ini dibenarkan oleh Ny. Fauzi, jago bowling dari Medan yang
sudah 8 bulan di situ (lihat box).
Selain cairan kuning yang harus diminum, pasien terutama
dilarang makan bumbu penyedap atau vitsin. Air mentah dan es
termasuk larangan. Setiap pasien, tak pilih bulu, harus mandi
air hangat. Yang melanggar pantangan ini tak bakal sembuh,
begitulah ceritanya.
"Seorang pasien wanita pernah keramas dengan air dingin. Tak
lama kemudian ia meninggal," cerita Paidi, pasien yang sudah
satu tahun di situ dan kini menjadi pembantu Pak Kiran sambil
menunggu sembuh. Makanan yang diizinkan untuk berbagai macam
penyakit hanya telur dan nasi. Ny. Atmo Ponoman yang menderita
kanker tulang, misalnya, hanya boleh makan nasi dan telur yang
sudah dipegang Pak Kiran.
Juru penyembuh dari Sukosewu itu memberi pantangan yang mirip
pula dengan yang umum digunakan dokter. Ia, misalnya, melarang
daging untuk mereka yang terserang darah tinggi. Meskipun
pantangan itu berat, kabarnya, para pasien menerima saja aturan
dari Pak Kiran.
Cepat lambatnya seseorang pulih dari penyakit, tak bisa
dipastikan Pak Kiran. "Masing-masing orang sudah ditentukan
Tuhan," katanya berwibawa. Sebagai misal, ia menyebutkan ipar
dari seorang pejabat penting dari Jakarta menderita kanker
tulang. Ia datang dengan helikopter, digendong sanak familinya.
Begitu sampai, hari itu juga sembuh. "Tergantung dari keyakinan
diri pasien sendiri dan kehendak Tuhan," katanya.
Mukjizat apa? Tak ada yang tahu. Pak Kiran sendiri tak sudi
menceritakan. Cuma kalau disebutkan dukun, ia tersinggung. "Saya
hanyalah perantara. Berkat Tuhan juga orang itu bisa sembuh,"
sebutnya kalem.
Bagaimana kemahiran itu ia peroleh, ia pun tak bersedia
mengatakannya. "Tahu-tahu saya merasa bisa menyembuhkan penyakit
di tahun 1957," katanya. Pernah orang kampung mengang gapnya
dukun. Karena takut menjadi sasaran kemarahan, ketika G-30-S, ia
menyingkir ke Ponorogo, tempat kelahirannya. Di situ ia menyamar
sebagai kusir dan buruh tani. Baru sesudah 1970, ia kembali ke
Sukosewu dan orang-orang berebut minta tolong padanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini