Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Pak Kiran Dari Sukosewu

Pak kiran, 51, dari Desa Sukosewu, Blitar, Ja-Tim dapat mengobati berbagai penyakit. Pasien diopname di penampungan besar. Keberatan disebut dukun. Tak kenal pembayaran dengan uang. Obat utamanya cairan kuning. (ksh)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMULA ia hanya kusir cikar dan buruh tani. Buta huruf lagi. Tapi sekarang Pak Kiran menjadi orang penting. Banyak orang dari jauh datang mengunjunginya di desa Sukosewu (22 km dari Blitar), Jawa Timur. Ia dipandang berkemampuan mengobat berbagai macam penyakit, mulai dari TBC sampai kanker. Pembantu TEMPO, Slamet Oerip Prihadi, belum lama ini bertamu ke situ. Laporannya: Para penderita diopname, hampir seperti di sanatorium. Terdapat rumah penampungan yang sudah mekar menjadi 100 buah dengan daya tampung 750 pasien -- melebihi kapasitas sebuah rumahsakit kabupaten. Ada pula lapangan helikopter agak ke timur untuk meladeni pasien yang datang dengan heli. Desa Sukosewu sudah tak gelap lagi. Malam hari desa itu terang benderang oleh tenaga listerik. Kehidupan menjadi-jadi di sana. Banyaklah yang kebagian rezeki, terutama pemilik kolt, sepeda motor (ojek) dan dokar. Untuk mencapai Sukosewu para tamu harus dari Blitar melewati desa Talun dengan menumpang kolt Rp 75. Dari situ membonceng ojek Rp 150 sampai ke rumah Pak Kiran. Ada 100 ojek dan 100 dokar yang beroperasi. Pak Kiran, 51 tahun, sangat bersahaja, selalu mengenakan kaus oblong agak lusuh dan jarang memakai sendal, apalagi sepatu.Tapi kalau bepergian, dia kelihatan keren dengan baju safari. Tubuhnya tegap. Rambutnya hitam dan kumisnya melintang. Jari tangannya seperti sudah bertambah satu karena rokok kretek yang terus-menerus dihirupnya. Rokok merupakan salah satu pembayaran yang dipakai pasien sebagai tanda terimakasih. Di sini tak dikenal pembayaran dengan uang. Seluruh isi rumah yang jadi tempat penampungan pasien adalah pemberian mereka yang pernah tinggal di situ. Juga rumah penampungan itu sendiri berasal dari pasien. Pak Kiran menyediakan tanahnya seluas 4 ha buat para penderita membangun tempat istirahat. Sekarang ini sedang giatnya seorang pejabat Pertamina membangun rumah dekat kediaman Pak Kiran. Pak Kiran adalah anak tunggal Hasan Mangli, yang dikenal sebagai Mbah Mangli. Ia beristeri dua dengan sepuluh orang anak. Tempat prakteknya adalah rumah yang ia diami bersama isteri pertamanya. Kembang Telon Untuk berbagai jenis penyakit, obatnya hanya cairan berwarna kuning dibuat dari jahe, kunir, kembang kenanga, kuning telur dan jeruk pecal. Setiap pasien harus membawa beberapa butir telur ayam. Setelah dipegang Pak Kiran, telur itu akan dikembalikan kepada si pasien sebagai makanan sendiri. Ada lagi syarat lain: Orang harus membawa kenbang telon, serangkum bunga terdiri dari 3 macam. "Sebetulnya bunga itu untuk menguji keyakinan penderita saja. Yang penting, penderita harus mempunyai keyakinan untuk sembuh. Tanpa bunga pun saya bisa tahu apa sakit si penderita," kata Pak Kiran. Ternyata banyak kembang tiba, membuat ia hanya tidur 3 jam sehari untuk meladeni pasien, yang opname dan yang harian, mencapai 1000 orang. Para penderita biasanya tak perlu mengemukakan keluhan. Pak Kiran akan langsung menyebutkan pantang makanan, si penderita, dan apakah orang itu berobat jalan atau perlu opname. "Hampir semua pasien saya ini bekas rongsokan rumahsakit," tuturnya. Hal ini dibenarkan oleh Ny. Fauzi, jago bowling dari Medan yang sudah 8 bulan di situ (lihat box). Selain cairan kuning yang harus diminum, pasien terutama dilarang makan bumbu penyedap atau vitsin. Air mentah dan es termasuk larangan. Setiap pasien, tak pilih bulu, harus mandi air hangat. Yang melanggar pantangan ini tak bakal sembuh, begitulah ceritanya. "Seorang pasien wanita pernah keramas dengan air dingin. Tak lama kemudian ia meninggal," cerita Paidi, pasien yang sudah satu tahun di situ dan kini menjadi pembantu Pak Kiran sambil menunggu sembuh. Makanan yang diizinkan untuk berbagai macam penyakit hanya telur dan nasi. Ny. Atmo Ponoman yang menderita kanker tulang, misalnya, hanya boleh makan nasi dan telur yang sudah dipegang Pak Kiran. Juru penyembuh dari Sukosewu itu memberi pantangan yang mirip pula dengan yang umum digunakan dokter. Ia, misalnya, melarang daging untuk mereka yang terserang darah tinggi. Meskipun pantangan itu berat, kabarnya, para pasien menerima saja aturan dari Pak Kiran. Cepat lambatnya seseorang pulih dari penyakit, tak bisa dipastikan Pak Kiran. "Masing-masing orang sudah ditentukan Tuhan," katanya berwibawa. Sebagai misal, ia menyebutkan ipar dari seorang pejabat penting dari Jakarta menderita kanker tulang. Ia datang dengan helikopter, digendong sanak familinya. Begitu sampai, hari itu juga sembuh. "Tergantung dari keyakinan diri pasien sendiri dan kehendak Tuhan," katanya. Mukjizat apa? Tak ada yang tahu. Pak Kiran sendiri tak sudi menceritakan. Cuma kalau disebutkan dukun, ia tersinggung. "Saya hanyalah perantara. Berkat Tuhan juga orang itu bisa sembuh," sebutnya kalem. Bagaimana kemahiran itu ia peroleh, ia pun tak bersedia mengatakannya. "Tahu-tahu saya merasa bisa menyembuhkan penyakit di tahun 1957," katanya. Pernah orang kampung mengang gapnya dukun. Karena takut menjadi sasaran kemarahan, ketika G-30-S, ia menyingkir ke Ponorogo, tempat kelahirannya. Di situ ia menyamar sebagai kusir dan buruh tani. Baru sesudah 1970, ia kembali ke Sukosewu dan orang-orang berebut minta tolong padanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus