Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pembunuhan, sekedar tontonan

Pementasan naskah putu wijaya di tim. mengisahkan seorang hakim yang mengadili putera pembesar yang membunuh pelacur. naskahnya memberikan kesempatan permainan perorangan. putu agak terpeleset. (ter)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIKETAHUI, satu ciri penting teater masa kini ialah permainan kelompok. Sejak Rendra dan Arifin C. Noer tampil dalam "era baru" di tahun 67/68, ciri ini mulai kelihatan. Tapi tak ada yang paing menonjol dibanding Putu Wijaya -- yang, dari segi itu, bahkan mengalahkan semuanya, termasuk Sardono. Kelompok, dalam sandiwara Putu, bukanlah kumpulan pribadi-pribadi: bukan "para pengiring" dari seorang tokoh, misalnya, dan karena itu kebanyakan tidak diberi nama pribadi. Sebab masing-masing hanyalah bagian dari satu kesatuan. Ia bisa dipakai untuk "karakter umum" yang berobah-obah -- tapi lebih penting, ia alat paling efektif untuk mengobrak-abrik panggung, logika, dan memunculkan pada akhirnya satu tontonan yang lebih memberikan kesan umum atau suasana yang memang puitik. Putu mementaskan naskahnya Dor di TIM 22 s/d 31 Maret kemarin. Kali ini sebagai perkembangan lebih lanjut, ia members kesempatan permainan perorangan -- karena lakon sendiri mulai jelas memperhitungkan manusia sebagai karakter. Dan karakter ini terutama karakter seorang hakim dalam situasi yang khas. Ceritanya, sang hakim menghadapi masalah sulit. Putera seorang pembesar membunuh seorang pelacur. Hakim menganggap peristiwa itu sebagai bahan pekerjaan rutin pengadilan -- tetapi khalayak sudah mengharap dia muncul sebagai pahlawan yang harus berani menghukum anak pembesar itu. Padahal hakim sendiri tak bisa melepaskan kenang-kenangan pribadinya: ia pernah menghukum seseorang, dan setelah hukuman selesai, ternyata si terhukum tak bersalah. Beberapa kali ia berobah fikiran, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan persoalannya "kepada masyarakat." Model ATNI Bisa menjadi sebuah drama kejiwaan, memang, atau sandiwara sosial. Tapi berbeda dengan karya-karya sebelum masa Rendra-Arifin-Putu-Sardono, yang untuk itu biasanya akan menggubah sebuah melodrama yang lurus Putu Wijaya hanya menjadikan probiematik sebagai salah-satu bahan pembentuk suasana. Setidak-tidaknya seperti dikatakannya dalam folder yang dibagikan: "Alur cerita dikocok sedemikian rupa, sehingga hasilnya tetap satu gambar situasi yang hanya merupakan bahan saja untuk diselesaikan oleh penonton masing-masing, menurut kecenderungannya." Dengan itu, sudah diduga, panggung bukanlah panggung drama-drama ATNI yang bersih dan jelas. Arena berwarna hitam abu-abu keputih-putihan yang bergerak. Di belakang terjulur tali gantungan, di atap menggelantung bonekaboneka tubuh dan kain layar, yang di bagian akhir nanti pada turun ke bawah. Di lantai bagian depan terbujur sesosok mayat. Dan kelompok-kelompok tanpa identitas itu, sambil berganti-ganti peran, menjebol sana-sini, mendukung dan mengancam sana-sini, dalam set Roedjito yang tidak "realis". Tegangan pertunjukan khas Putu Wijaya, yang dipelihara dengan cukup, akan dengan sendirinya memikat sampai habis -- kalau saja tidak diganggu oleh dialog yang justru mengetengahkan problim yang tadi. Soalnya bukan hanya dialog terasa berpanjang-panjang. Tapi ia terasa berpanjang-panjang karena isinya sebenarnya kurang akrab - sementara problematiknya sendiri (hakim yang harus mengadili seorang anak pembesar) tidak hanya sangat aktuil, namun juga menuntut sikap. Bisa diduga bila penonton membutuhkan penyelesaian seperti anak pembesar itu harus dihukum berat -- atau, bila tidak si pengarang harus mengutuk hakim ke lembaga peradilan. Memang, ucapan hakim di akhir cerita ("Aku bebaskan dia dari segala tuntutan agar masyarakat menghukumnya sendiri dengan lebih berat") terdengar seperti sebuah penilaian terhadap mutu alias ketidakmampuan dunia pengadilan. Juga apa yang dikatakan sebagai editorial, tulisan pojok atau surat pembaca di beberapa koran dan majalah yang dibacakan di bagian pembuka dan penutup -- dengan bahasa yang kurang jelas untuk sebagian besar orang. Namun seperti dikatakan pengarang sendiri dalam folder, dan memang demikianlah kesan yang lebih kuat, setiap tokoh dalam Dor memiliki alasan untuk semua tindakan mereka. "Sulit untuk menentukan mana di antaranya yang benar-benar hitam atau putih." Dan untuk menguatkan "kesulitan" itu, dibuatlah antara lain argumen lewat mulut si anak muda pelacur itu memang pantas dibunuh. Berkali-kali ia diusahakan mentas dari pekerjaannya yang hitam, untuk diambil bini, namun ia toh kembali melacur. Bila ia tidak dibunuh, bukankah ia akan mati juga misalnya karena sipilis? Sebuah fikiran "tingkat tinggi," meskipun agak layu. Namun katakanlah itu memang fikiran si anak muda, toh ia bukan alasan bagi sang hakim untuk bimbang. Lebih kuat sedikit adalah alasan kejiwaannya yang dikejar bayangan keputusannya masa lalu yang menghukum anak muda tak bersalah. Namun bukankah si anak pembesar yang sekarang ini justru mengaku telah membunuh, dan seluruh kota mengutuk, dan anak muda itu sendiri akhirnya malah mati menggantung? Bukankah konyol si hakim itu jadinya? Memang, dan drama ini sendiri bisa menjadi "logis" bila mengakui kekonyolan itu. Namun yang diperbuat Putu justru mendukung kedudukan si hakim dalam menghadapi khalayak yang "memaksanya menjadi pahlawan." Bagi seorang hakim yang waras, keinginan khalayak sudah tentu tak masuk pertimbangan. Namun khalayak selalu bersifat memaksa. Dan inilah memang satu obsesi besar Putu Wijaya: perjuangan pribadi melawan penindasan massa -- untuk mencapai otentisitasnya yang "unik" dan "tidak terpengaruh". Di situ pula bedanya dengan misalnya Rendra, yang justru mengindentikkan rasa-hebat-pribadinya dengan massa, dan karenanya "laku keras" -- hal yang tampaknya memang tidak diinginkan Putu. Rasa Adil Putu lantas terasa menyukar-nyukarkan hal yang mudah. Banyak kata-kata dipakai untuk mengaburkan persoalan dan mencapai "kompleksitas". Keluarga si pembunuh misalnya mendebat hakim dalam membela si tertuduh: adakah ia mencari 'keadilan' atau 'kepatutan'. Ataukah 'kebenaran', atau 'kejujuran'. Untuk masalah yang sebenarnya sudah jelas hukumnya, ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tak lebih harganya dari bendera-bendera yang dikebat-kebatkan di situ: sekedar alat pan ung yang tidak efektif karena sangat di curigai kekuatannya sebagai argumen. Di situlah terasa dialog membikin penat banyak ucapan main-main menjadi tidak seluruhnya klop, karena masalahnya sebenarnya serius. Permainan bagus Alimin Lasasi (pelayan hakim), yang paling-paling hanya bisa ditarldingi permainan Putu sendiri (hakim), tidak bisa menghapus kepenatan itu. Yang sudah terbukti ialah: sandiwara-kelompok model Putu Wijaya, dengan dialognya yang semau-maunya dan mengasyikkan, dengan wataknya yang pribumi dan dengan permainan komposisi serta imaji-imajinya yang murni dan kuat, cocok untuk tema-tema absurditas seperti ditunjukkan karya-karyanya terdahulu: Aduh, Anu, Lho, misalnya. Tapi tidak, atau belum, untuk sebuah problim yang tajam. Putu memang kelihatan sedang merobah diri kembali. Dan setiap saat transisi memang menyuguhkan konsekwensi-walaupun naskahnya sebelum ini, yang juga mengambil tema yang jelas, Edan, terhitung lebih baik. Hanya, dalam hal khalayak yang sudah digeluti Putu sejak lama, ada sesuatu yang mungkin dilupakan: mereka (baik yang digambarkan para pemain maupun yang duduk menonton) sebenarnya punya rasa adil. Dan bila Putu terpeleset, lewat pementasan kali ini, adalah karena ia menjadikan topik yang menyangkut rasa adil itu sebagai sekedar bahan sport kesenimanan. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus