DIKETAHUI, satu ciri penting teater masa kini ialah permainan
kelompok. Sejak Rendra dan Arifin C. Noer tampil dalam "era
baru" di tahun 67/68, ciri ini mulai kelihatan. Tapi tak ada
yang paing menonjol dibanding Putu Wijaya -- yang, dari segi
itu, bahkan mengalahkan semuanya, termasuk Sardono.
Kelompok, dalam sandiwara Putu, bukanlah kumpulan
pribadi-pribadi: bukan "para pengiring" dari seorang tokoh,
misalnya, dan karena itu kebanyakan tidak diberi nama pribadi.
Sebab masing-masing hanyalah bagian dari satu kesatuan. Ia bisa
dipakai untuk "karakter umum" yang berobah-obah -- tapi lebih
penting, ia alat paling efektif untuk mengobrak-abrik panggung,
logika, dan memunculkan pada akhirnya satu tontonan yang lebih
memberikan kesan umum atau suasana yang memang puitik.
Putu mementaskan naskahnya Dor di TIM 22 s/d 31 Maret kemarin.
Kali ini sebagai perkembangan lebih lanjut, ia members
kesempatan permainan perorangan -- karena lakon sendiri mulai
jelas memperhitungkan manusia sebagai karakter. Dan karakter ini
terutama karakter seorang hakim dalam situasi yang khas.
Ceritanya, sang hakim menghadapi masalah sulit. Putera seorang
pembesar membunuh seorang pelacur. Hakim menganggap peristiwa
itu sebagai bahan pekerjaan rutin pengadilan -- tetapi khalayak
sudah mengharap dia muncul sebagai pahlawan yang harus berani
menghukum anak pembesar itu. Padahal hakim sendiri tak bisa
melepaskan kenang-kenangan pribadinya: ia pernah menghukum
seseorang, dan setelah hukuman selesai, ternyata si terhukum tak
bersalah. Beberapa kali ia berobah fikiran, sampai akhirnya ia
memutuskan untuk menyerahkan persoalannya "kepada masyarakat."
Model ATNI
Bisa menjadi sebuah drama kejiwaan, memang, atau sandiwara
sosial. Tapi berbeda dengan karya-karya sebelum masa
Rendra-Arifin-Putu-Sardono, yang untuk itu biasanya akan
menggubah sebuah melodrama yang lurus Putu Wijaya hanya
menjadikan probiematik sebagai salah-satu bahan pembentuk
suasana. Setidak-tidaknya seperti dikatakannya dalam folder yang
dibagikan:
"Alur cerita dikocok sedemikian rupa, sehingga hasilnya tetap
satu gambar situasi yang hanya merupakan bahan saja untuk
diselesaikan oleh penonton masing-masing, menurut
kecenderungannya."
Dengan itu, sudah diduga, panggung bukanlah panggung drama-drama
ATNI yang bersih dan jelas. Arena berwarna hitam abu-abu
keputih-putihan yang bergerak. Di belakang terjulur tali
gantungan, di atap menggelantung bonekaboneka tubuh dan kain
layar, yang di bagian akhir nanti pada turun ke bawah. Di lantai
bagian depan terbujur sesosok mayat. Dan kelompok-kelompok tanpa
identitas itu, sambil berganti-ganti peran, menjebol sana-sini,
mendukung dan mengancam sana-sini, dalam set Roedjito yang tidak
"realis".
Tegangan pertunjukan khas Putu Wijaya, yang dipelihara dengan
cukup, akan dengan sendirinya memikat sampai habis -- kalau saja
tidak diganggu oleh dialog yang justru mengetengahkan problim
yang tadi. Soalnya bukan hanya dialog terasa berpanjang-panjang.
Tapi ia terasa berpanjang-panjang karena isinya sebenarnya
kurang akrab - sementara problematiknya sendiri (hakim yang
harus mengadili seorang anak pembesar) tidak hanya sangat
aktuil, namun juga menuntut sikap.
Bisa diduga bila penonton membutuhkan penyelesaian seperti anak
pembesar itu harus dihukum berat -- atau, bila tidak si
pengarang harus mengutuk hakim ke lembaga peradilan. Memang,
ucapan hakim di akhir cerita ("Aku bebaskan dia dari segala
tuntutan agar masyarakat menghukumnya sendiri dengan lebih
berat") terdengar seperti sebuah penilaian terhadap mutu alias
ketidakmampuan dunia pengadilan. Juga apa yang dikatakan sebagai
editorial, tulisan pojok atau surat pembaca di beberapa koran
dan majalah yang dibacakan di bagian pembuka dan penutup --
dengan bahasa yang kurang jelas untuk sebagian besar orang.
Namun seperti dikatakan pengarang sendiri dalam folder, dan
memang demikianlah kesan yang lebih kuat, setiap tokoh dalam Dor
memiliki alasan untuk semua tindakan mereka. "Sulit untuk
menentukan mana di antaranya yang benar-benar hitam atau putih."
Dan untuk menguatkan "kesulitan" itu, dibuatlah antara lain
argumen lewat mulut si anak muda pelacur itu memang pantas
dibunuh. Berkali-kali ia diusahakan mentas dari pekerjaannya
yang hitam, untuk diambil bini, namun ia toh kembali melacur.
Bila ia tidak dibunuh, bukankah ia akan mati juga misalnya
karena sipilis?
Sebuah fikiran "tingkat tinggi," meskipun agak layu. Namun
katakanlah itu memang fikiran si anak muda, toh ia bukan alasan
bagi sang hakim untuk bimbang. Lebih kuat sedikit adalah alasan
kejiwaannya yang dikejar bayangan keputusannya masa lalu yang
menghukum anak muda tak bersalah. Namun bukankah si anak
pembesar yang sekarang ini justru mengaku telah membunuh, dan
seluruh kota mengutuk, dan anak muda itu sendiri akhirnya malah
mati menggantung? Bukankah konyol si hakim itu jadinya?
Memang, dan drama ini sendiri bisa menjadi "logis" bila mengakui
kekonyolan itu. Namun yang diperbuat Putu justru mendukung
kedudukan si hakim dalam menghadapi khalayak yang "memaksanya
menjadi pahlawan." Bagi seorang hakim yang waras, keinginan
khalayak sudah tentu tak masuk pertimbangan. Namun khalayak
selalu bersifat memaksa. Dan inilah memang satu obsesi besar
Putu Wijaya: perjuangan pribadi melawan penindasan massa --
untuk mencapai otentisitasnya yang "unik" dan "tidak
terpengaruh". Di situ pula bedanya dengan misalnya Rendra, yang
justru mengindentikkan rasa-hebat-pribadinya dengan massa, dan
karenanya "laku keras" -- hal yang tampaknya memang tidak
diinginkan Putu.
Rasa Adil
Putu lantas terasa menyukar-nyukarkan hal yang mudah. Banyak
kata-kata dipakai untuk mengaburkan persoalan dan mencapai
"kompleksitas". Keluarga si pembunuh misalnya mendebat hakim
dalam membela si tertuduh: adakah ia mencari 'keadilan' atau
'kepatutan'. Ataukah 'kebenaran', atau 'kejujuran'. Untuk
masalah yang sebenarnya sudah jelas hukumnya, ungkapan-ungkapan
seperti itu menjadi tak lebih harganya dari bendera-bendera yang
dikebat-kebatkan di situ: sekedar alat pan ung yang tidak
efektif karena sangat di curigai kekuatannya sebagai argumen.
Di situlah terasa dialog membikin penat banyak ucapan main-main
menjadi tidak seluruhnya klop, karena masalahnya sebenarnya
serius. Permainan bagus Alimin Lasasi (pelayan hakim), yang
paling-paling hanya bisa ditarldingi permainan Putu sendiri
(hakim), tidak bisa menghapus kepenatan itu.
Yang sudah terbukti ialah: sandiwara-kelompok model Putu Wijaya,
dengan dialognya yang semau-maunya dan mengasyikkan, dengan
wataknya yang pribumi dan dengan permainan komposisi serta
imaji-imajinya yang murni dan kuat, cocok untuk tema-tema
absurditas seperti ditunjukkan karya-karyanya terdahulu: Aduh,
Anu, Lho, misalnya. Tapi tidak, atau belum, untuk sebuah problim
yang tajam.
Putu memang kelihatan sedang merobah diri kembali. Dan setiap
saat transisi memang menyuguhkan konsekwensi-walaupun naskahnya
sebelum ini, yang juga mengambil tema yang jelas, Edan,
terhitung lebih baik. Hanya, dalam hal khalayak yang sudah
digeluti Putu sejak lama, ada sesuatu yang mungkin dilupakan:
mereka (baik yang digambarkan para pemain maupun yang duduk
menonton) sebenarnya punya rasa adil. Dan bila Putu terpeleset,
lewat pementasan kali ini, adalah karena ia menjadikan topik
yang menyangkut rasa adil itu sebagai sekedar bahan sport
kesenimanan.
Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini