HUTAN Untuk Rakyat" yang menjadi semboyan Kongres Kehutanan
Sedunia Ke-8 di Jakarta Oktober yang lalu, sebenarnya hanya
mengulangi semboyan pemburu kayu di Tanjung Balai, Asahan,
Sumatera Utara. Hanya saja hasilnya bertolak-belakang. Kalau
kongres ini bermaksud untuk menjaga kelestarian hutan. Di
Tanjung Balai semboyan itu membuat hutan hampir amblas.
Pantai Kabupaten Asahan merentang sepanjang 102 km. Sebagian
besar merupakan hutan dan belukar yang ditumbuhi bakau,
lenggade, barus atau nirih. Kayu-kayuan itu semuanya disebut
kayu laut. Cirinya keras dan liat, sulit dipotong dengan alat
yang kurang tajam. Bila pasang naik pantai yang landai itu
dikekep air laut, hutan itu tenggelam. Sesudah surut kelihatan
dalam lumpur sebatas lutut sampai pinggang hamparan kayu laut
yang diburu oleh penduduk sebagai sumber hidup mereka. Di
situlah tergantung periuk nasi Maksum bersama isteri dan 6 orang
anaknya.
Korban Pukat Harimau
Maksum (45 tahun), penduduk Kampung Baru pada mulanya adalah
nelayan - ambai -- sejenis nelayan yang bekerja dengan peralatan
tradisionil. Tetapi sesudah armada "Pukat Harimau" menguras
habis-habisan isi laut, sumber hidup itu menjadi ciut. "Mana
mungkin kami bisa bertarung dengan pukat celaka itu," ujar
Maksum kepada Amran Nasution dari TEMPO. Dengan tak fikir
panjang ditinggalkannya laut, ia lari ke darat. Sejak tahun 1970
ia banting haluan menjadi pemburu kayu di sekitar pantai Bagan
Asahan.
Untuk sementara kayu menyelamatkan hidup keluarga Maksum.
Hindun, isterinya yang berusia 30 tahun, selama 5 hari dalam
seminggu tampak mendampingi di atas sampan, melintasi Kuala
Sungai Asahan, mencari kayu. Kayukayuan yang sebesar betis kaki
itu ditumpuk di rumah karena terlebih dahulu harus disiangi.
Selama 3 hari 2 orang anak Maksum ikut sibuk. Kayu-kayu itu
dikuliti, dibelah, kemudian diikat dengan tali dari daun nipah
dan rumbia. Pukul rata, selama 8 hari kerja, tak kurang dari
1000 ikat kayu yang dihasilkan. Setiap ikat terdiri dari 5
batang kayu sebesar jempol dengan panjang sejengkal. Satu ikat
dijual dengan harga Rp 6 (enam rupiah). "Menjualnya tak sulit,"
kata Maksum, "tinggal ditolak kan saja secara borongan kepada
kios-kios di pinggir pantai." Adapun kios-kios itu sendiri
kemudian menjualnya Rp 10 (sepuluh rupiah) seikat, kepada
boat-boat, atau sampan penangkap ikan untuk dipergunakan sebagai
bahan bakar memasak nasi dan air selama perjalanan mereka di
laut.
Waktu Maksum dan Hindun memulai debutnya sebagai pemburu kayu,
daerah operasi mereka masih dalam radius yang dekat, di sekitar
muara sungai. Akan tetapi para pemburu kayu makin lama makin
buas. Setiap hari mereka menggerayangi belukar, sehingga daerah
perburuan makin lama makin jauh. Sekarang sebelum mencapai hutan
yang dapat dipotong diperlukan waktu dua sampai tiga jam dengan
sampan. Ratusan Maksum-Maksum yang lain telah ikut berebutan
kayu, sehingga Maksum terlempar kebagian utara ke Kuala Sungai
Ular, sebuah daerah di tepi Selat Melaka, 3 mil dari Kuala
Sungai Asahan. Kadangkala ia pergi ke selatan sejauh 2 mil ke
Selat. Tiga. "Sekarang mencari kayupun sudah sulit," kata Maksum
mengeluh.
Maksum hanya memiliki alat 2 buah parang. Panjang kayu yang
dihadapinya dua sampai tiga meter. Dalam sehari paling banter
sampannya bisa muat 30 batang. Sore hari pasangpun naik. Ia
membiarkan sampannya dibawa ke pantai kembali. Sekitar pukul 5
ia bisa berkumpul lagi dengan keluarga. Sebuah pekerjaan yang
sederhana dan hanya memerlukan tenaga. Namun di balik
kesederhanaannya itu, ada risiko besar yang tak akan
terbayangkan. kalau orang tidak memasuki hutan itu sendiri.
Seorang teman Maksum pernah tertebas kakinya waktu bekerja,
sehingga terpaksa pensiun sampai sekarang. Seorang wanita
bernama Peah sudah tua, kena libas kayu tebangan hingga kakinya
patah. Sedangkan Mak Nurdin mati digigit ular bakau, sebelum
dapat pertolongan. "Habis bagaimana mencari obat di tengah hutan
begitu," kata Maksum.
Ular, adalah musuh terbesar bagi para pemburu kayu. Bisanya tak
tanggungtanggung, terutama ular bakau jantan. Ia seperti cabe
rawit, besarnya sejempol dan panjangnya dua hasta, tapi ganas
bukan main. "Sedepa lagi jaraknya dengan kita dia sudah
mengejar," kata Maksum. "Apalagi ular bakau tergolong hewan
"mimikri", seperti bunglon, warna tubuhnya berubah-ubah sesuai
dengan tempatnya. Ini menyebabkan para pemburu kayu harus
senantiasa awas. Tidak bisa asal main sabet saja. Kayu yang
hendak dipotong harus dikais dulu dengan ranting, agar jangan
terpegang pembawa maut itu. Karena di samping ular bakau masih
banyak jenis ular lain, seperti ular tiung, ular tanah dan
sebagainya.
O ya, harimau juga ada. "Saya sudah sering berjumpa jejaknya,
tapi syukur dengan harimaunya sendiri sampai sekarang belum,"
kata Maksum. Menurut Maksum, mungkin sekali harimau itu tahu
bahwa ia datang bukan untuk mengganggu, tapi hanya sekedar
mencari kayu buat makan. Apalagi yang mencari kayu kebanyakan
kaum wanita. "Atau yang lemah seperti saya ini," kata Maksum
sambil menunjukkan tubuhnya yang kurus dan sakit-sakitan.
Bagaimanapun besar ancaman dari binatang penghuni hutan,
ketakutan Maksum sebenarnya lebih ditujukan kepada gundulnya
hutan pantai Kuala Bagan. Bila air pasang pantai yang botak itu
sekarang tak dapat lagi menahan lidah laut menjilat sampai jauh
ke darat. Menurut Maksum ini bukan akibat dosa para pemburu
kayu. "Penggundulan itu bukan lantaran kami, itulah dia pencari
kayu meteran," kata Maksum. "Mereka menebang pohon-pohon besar,
sedangkan kami hanya pohon-pohon kecil saja."
Gimin Yang Kebal
Pemburu kayu meteran, adalah pemburu kayu yang menjual kayunya
secara meteran. Sasaran mereka adalah perusahaan perebusan ikan
atau pabrik belacan. Ada juga yang mencari kayu untuk digunakan
sebagai tiang jermal, tiang ambai, alat-alat rumah. Jumlah kayu
yang diperlukan banyak dan ukurannya besar-besar. "Kebanyakan
pencari kayu meteran itu adalah anak-anak muda," kata Maksum.
Maklumlah pekerjaan yang dihadapinya lebih berat. Tentu saja
hasilnya juga lebih lumayan dari memburu kayu api yang digarap
oleh Maksum dan para wanita yang sudah tua.
Pemburu kayu meteran memang lebih galak karena umumnya masih
berusia muda. Tapi di antara mereka juga ada seorang tua bernama
Gimin. Usianya 60 tahun, penduduk Kampung Bagan Denai. Orang
tuanya bernama Wongso Wijoyo, jelas berasal dari Jawa kuli
kontrak yang menetap di Huta Padang, sebuah perkebunan 20 km ke
arah barat kota Kisaran. Gimin berbedadengan pencari kayu
meteran lain yang bekerja satu sampan dengan dua atau tiga orang
Kakek ini bekerja sendirian. Ia seorang yang perkasa. Dan banyak
dibicarakan sebagai orang berilmu.
Selama 12 tahun mencari kayu meteran, sudah 2 kali Gimin dipatuk
ular bakau. Yang pertama mengenai mata kaki kirinya. Tidak
apa-apa. Belum sampai 3 bulan yang lalu, ular kedua langsung
membetot kepalanya, waktu ia asyik menebas. Luka oleh patukan
itu hanya disapunya dengan tangan. Kemudian ia berbaring.
Menurut kata orang tua, kalau dipatuk ular berbisa terutama ular
bakau harus berbaring di alam terbuka. Tak boleh masuk rumah
sehari semalam. Tanpa pengobatan Gimin sembuh kembali. Orang
lain yang kena patuk seperti itu pasti sudah lewat. Gimin memang
hebat. Karena itu ia dijuluki orang yang berisi, meskipun dengan
segan dibantahnya. "Soalnya saya belum kena naas saja," ujarnya.
Sejak muda Gimin memang kebal terhadap bisa hewan. Waktu itu ia
gemar mencari madu lebah. Di kampungnya pencari madu bukan orang
sembarangan sebab harus punya simpanan ilmu dan harus dengan
upacara mistik. Tapi Gimin tanpa mengucap apa-apa langsung saja
memanjat. Lebah itu disapunya dengan tangan perlahan-lahan,
kemudian madunya dipetik. Sejak itu Gimin tersohor sebagai orang
kebal. "Padahal saya tak punya isi apa-apa, selain dari
keberanian," tukas Gimin. Menurut Gimin lebah itu tak akan
menggigit kalau tidak terpijak atau terhimpit tangan. "Tapi
orang-orang tak percaya. Ia digelari pawang. Ketika tahun 1950
ia pindah dari perkebunan Huta Padang, Kecamatan Buntu Pane,
Asahan, ke Kampung Baan Asahan, gelar itu lengket dengannya.
Mula-mula Gimin jadi penjaga kebun kelapa orang. Karena bosan
diperintah, ia pindah ke Bagan Denai pada tahun 1965. Mula-mula
ingin jadi nelayan, tapi modalnya tak ada. Akhirnya ia menjadi
pemburu kayu, karena modalnya hanya kapak. Sampan bisa disewa Rp
300 sehari-semalam. Lagi pula ia masih sanggup memikul kayu
lenggade yang panjangnya 8 depa sebesar paha dengan bobot 100
kg, dari hutan ke sampan yang seringkali harus menempuh setengah
kilometer, dengan jalan yang berlumpur lagi seorang diri.
Gimin sekarang hidup bersama Siti Amsyah, isterinya yang kelima.
Ia menghidupi 3 anak tiri bawaan Siti. Anak kandung satu-satunya
ia dapat dari isteri ketiga, anak itu sekarang sudah
berkeluarga. Setiap subuh Siti menyiapkan bekal untuk Gimin yang
berburu sampai magrib. Bekal itu berupa nasi dan ikan asin cukup
untuk makan sehari, karena di hutan tak ada yang jualan. Bisa
kekurangan bekal kalau pasang mati atau air keburu surut. Sekali
sampan Gimin yang penuh muatan terpisah 60 meter dari air laut
yang sudah surut. Gimin tak bisa mendorong sampan itu. Malampun
tiba dan Gimin jadi kehilangan akal. Timbang menunggu pasang
esok hari tanpa bekal, ia lebih suka pulang ambil jalan darat.
Dengan senjata kampak, pukul 8 malam ia mulai memintas hutan
bakau menuju Tanjung Balai. Sampannya ditinggal. Ular, nyamuk
atau harimau tak terfikirkan lagi. Tak kurang dari 20 km yang
ditempuhnya. Baru pukul 8 pagi esoknya ia sampai ke rumah. "Saya
mendengar suara harimau, tapi dia tak mengganggu saya, mungkin
dia kasihan sama saya," ujarnya. Hari itu juga ia menjemput
kembali sampannya, menumpang sampan orang lain.
Sebetulnya bukan harimau yang ditakuti Gimin, tapi nyamuk. Juga
bukan takut, hanya mengganggu dan menjengkelkan. Bayangkan
begitu masuk hutan mahluk itu akan segera menyerbu seluruh
permukaan tubuh yang terbuka. Itu sebabnya setiap pencari kayu
harus memakai baju tebal berlengan panjang dan memasang api
unggun. Tapi hasilnya, kalau tekun, lumayan. Gimin rata-rata
tiap hari dapat Rp 1000. Belum lama ia berhasil membeli sampan
berharga Rp 70.000.
Gimin tak mengelak jika para pemburu kayu dianggap
menyalahgunakan slogan "Hutan Untuk Rakyat". Itu semua terpaksa
untuk mempertahankan hidup. Ia sendiri tak pernah bercita-cita
jadi tukang cukur pantai. Dulu ia ingin jadi tentara. Waktu
gerilya, ia masuk hutan dan ikut bertempur. Tapi sesudah perang
selesai Gimin "tak terpakai" karena buta hurup. Sedangkan hari
depannya sebagai pengumpul kayupun sekarang mulai tak
menyenangkan. "Saya akan berhenti jadi pencari kayu meteran,"
katanya tegas, itu saya lakukan karena terpaksa. Saya sudah tua
sekarang, saya ingin hidup tenang." Ia ingin jadi nelayan.
Bulan lalu, Gimin mendaftar menjadi anggota BUUD Bagan Asahan.
Hasilnya, ia mendapat kredit motor sehingga sekarang sampannya
bermesin. Niatnya untuk menjadi nelayan mulai menjadi kenyataan.
Dibelinya benang lalu ia merajut jaring sendiri. Akan tetapi
setiap kali memandang ke tengah laut, hatinya jadi cemas,
mendengar keluhan para nelayan. Akhirnya Gimin ikut berkata:
"Maunya pukat harimau itu jangan dikasih izin lagi, habis ikan
sulit didapat kalau ada dia !"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini