Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pantai Asahan, Rezeki & Penggundulan

Setelah ke laut diganggu pukat harimau, ada nelayan naik ke darat mengikuti penduduk lain menebang bakau untuk dijual sebagai kayu api. Bagi mereka hidup menggunduli pantai hanya karena terdesak.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUTAN Untuk Rakyat" yang menjadi semboyan Kongres Kehutanan Sedunia Ke-8 di Jakarta Oktober yang lalu, sebenarnya hanya mengulangi semboyan pemburu kayu di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara. Hanya saja hasilnya bertolak-belakang. Kalau kongres ini bermaksud untuk menjaga kelestarian hutan. Di Tanjung Balai semboyan itu membuat hutan hampir amblas. Pantai Kabupaten Asahan merentang sepanjang 102 km. Sebagian besar merupakan hutan dan belukar yang ditumbuhi bakau, lenggade, barus atau nirih. Kayu-kayuan itu semuanya disebut kayu laut. Cirinya keras dan liat, sulit dipotong dengan alat yang kurang tajam. Bila pasang naik pantai yang landai itu dikekep air laut, hutan itu tenggelam. Sesudah surut kelihatan dalam lumpur sebatas lutut sampai pinggang hamparan kayu laut yang diburu oleh penduduk sebagai sumber hidup mereka. Di situlah tergantung periuk nasi Maksum bersama isteri dan 6 orang anaknya. Korban Pukat Harimau Maksum (45 tahun), penduduk Kampung Baru pada mulanya adalah nelayan - ambai -- sejenis nelayan yang bekerja dengan peralatan tradisionil. Tetapi sesudah armada "Pukat Harimau" menguras habis-habisan isi laut, sumber hidup itu menjadi ciut. "Mana mungkin kami bisa bertarung dengan pukat celaka itu," ujar Maksum kepada Amran Nasution dari TEMPO. Dengan tak fikir panjang ditinggalkannya laut, ia lari ke darat. Sejak tahun 1970 ia banting haluan menjadi pemburu kayu di sekitar pantai Bagan Asahan. Untuk sementara kayu menyelamatkan hidup keluarga Maksum. Hindun, isterinya yang berusia 30 tahun, selama 5 hari dalam seminggu tampak mendampingi di atas sampan, melintasi Kuala Sungai Asahan, mencari kayu. Kayukayuan yang sebesar betis kaki itu ditumpuk di rumah karena terlebih dahulu harus disiangi. Selama 3 hari 2 orang anak Maksum ikut sibuk. Kayu-kayu itu dikuliti, dibelah, kemudian diikat dengan tali dari daun nipah dan rumbia. Pukul rata, selama 8 hari kerja, tak kurang dari 1000 ikat kayu yang dihasilkan. Setiap ikat terdiri dari 5 batang kayu sebesar jempol dengan panjang sejengkal. Satu ikat dijual dengan harga Rp 6 (enam rupiah). "Menjualnya tak sulit," kata Maksum, "tinggal ditolak kan saja secara borongan kepada kios-kios di pinggir pantai." Adapun kios-kios itu sendiri kemudian menjualnya Rp 10 (sepuluh rupiah) seikat, kepada boat-boat, atau sampan penangkap ikan untuk dipergunakan sebagai bahan bakar memasak nasi dan air selama perjalanan mereka di laut. Waktu Maksum dan Hindun memulai debutnya sebagai pemburu kayu, daerah operasi mereka masih dalam radius yang dekat, di sekitar muara sungai. Akan tetapi para pemburu kayu makin lama makin buas. Setiap hari mereka menggerayangi belukar, sehingga daerah perburuan makin lama makin jauh. Sekarang sebelum mencapai hutan yang dapat dipotong diperlukan waktu dua sampai tiga jam dengan sampan. Ratusan Maksum-Maksum yang lain telah ikut berebutan kayu, sehingga Maksum terlempar kebagian utara ke Kuala Sungai Ular, sebuah daerah di tepi Selat Melaka, 3 mil dari Kuala Sungai Asahan. Kadangkala ia pergi ke selatan sejauh 2 mil ke Selat. Tiga. "Sekarang mencari kayupun sudah sulit," kata Maksum mengeluh. Maksum hanya memiliki alat 2 buah parang. Panjang kayu yang dihadapinya dua sampai tiga meter. Dalam sehari paling banter sampannya bisa muat 30 batang. Sore hari pasangpun naik. Ia membiarkan sampannya dibawa ke pantai kembali. Sekitar pukul 5 ia bisa berkumpul lagi dengan keluarga. Sebuah pekerjaan yang sederhana dan hanya memerlukan tenaga. Namun di balik kesederhanaannya itu, ada risiko besar yang tak akan terbayangkan. kalau orang tidak memasuki hutan itu sendiri. Seorang teman Maksum pernah tertebas kakinya waktu bekerja, sehingga terpaksa pensiun sampai sekarang. Seorang wanita bernama Peah sudah tua, kena libas kayu tebangan hingga kakinya patah. Sedangkan Mak Nurdin mati digigit ular bakau, sebelum dapat pertolongan. "Habis bagaimana mencari obat di tengah hutan begitu," kata Maksum. Ular, adalah musuh terbesar bagi para pemburu kayu. Bisanya tak tanggungtanggung, terutama ular bakau jantan. Ia seperti cabe rawit, besarnya sejempol dan panjangnya dua hasta, tapi ganas bukan main. "Sedepa lagi jaraknya dengan kita dia sudah mengejar," kata Maksum. "Apalagi ular bakau tergolong hewan "mimikri", seperti bunglon, warna tubuhnya berubah-ubah sesuai dengan tempatnya. Ini menyebabkan para pemburu kayu harus senantiasa awas. Tidak bisa asal main sabet saja. Kayu yang hendak dipotong harus dikais dulu dengan ranting, agar jangan terpegang pembawa maut itu. Karena di samping ular bakau masih banyak jenis ular lain, seperti ular tiung, ular tanah dan sebagainya. O ya, harimau juga ada. "Saya sudah sering berjumpa jejaknya, tapi syukur dengan harimaunya sendiri sampai sekarang belum," kata Maksum. Menurut Maksum, mungkin sekali harimau itu tahu bahwa ia datang bukan untuk mengganggu, tapi hanya sekedar mencari kayu buat makan. Apalagi yang mencari kayu kebanyakan kaum wanita. "Atau yang lemah seperti saya ini," kata Maksum sambil menunjukkan tubuhnya yang kurus dan sakit-sakitan. Bagaimanapun besar ancaman dari binatang penghuni hutan, ketakutan Maksum sebenarnya lebih ditujukan kepada gundulnya hutan pantai Kuala Bagan. Bila air pasang pantai yang botak itu sekarang tak dapat lagi menahan lidah laut menjilat sampai jauh ke darat. Menurut Maksum ini bukan akibat dosa para pemburu kayu. "Penggundulan itu bukan lantaran kami, itulah dia pencari kayu meteran," kata Maksum. "Mereka menebang pohon-pohon besar, sedangkan kami hanya pohon-pohon kecil saja." Gimin Yang Kebal Pemburu kayu meteran, adalah pemburu kayu yang menjual kayunya secara meteran. Sasaran mereka adalah perusahaan perebusan ikan atau pabrik belacan. Ada juga yang mencari kayu untuk digunakan sebagai tiang jermal, tiang ambai, alat-alat rumah. Jumlah kayu yang diperlukan banyak dan ukurannya besar-besar. "Kebanyakan pencari kayu meteran itu adalah anak-anak muda," kata Maksum. Maklumlah pekerjaan yang dihadapinya lebih berat. Tentu saja hasilnya juga lebih lumayan dari memburu kayu api yang digarap oleh Maksum dan para wanita yang sudah tua. Pemburu kayu meteran memang lebih galak karena umumnya masih berusia muda. Tapi di antara mereka juga ada seorang tua bernama Gimin. Usianya 60 tahun, penduduk Kampung Bagan Denai. Orang tuanya bernama Wongso Wijoyo, jelas berasal dari Jawa kuli kontrak yang menetap di Huta Padang, sebuah perkebunan 20 km ke arah barat kota Kisaran. Gimin berbedadengan pencari kayu meteran lain yang bekerja satu sampan dengan dua atau tiga orang Kakek ini bekerja sendirian. Ia seorang yang perkasa. Dan banyak dibicarakan sebagai orang berilmu. Selama 12 tahun mencari kayu meteran, sudah 2 kali Gimin dipatuk ular bakau. Yang pertama mengenai mata kaki kirinya. Tidak apa-apa. Belum sampai 3 bulan yang lalu, ular kedua langsung membetot kepalanya, waktu ia asyik menebas. Luka oleh patukan itu hanya disapunya dengan tangan. Kemudian ia berbaring. Menurut kata orang tua, kalau dipatuk ular berbisa terutama ular bakau harus berbaring di alam terbuka. Tak boleh masuk rumah sehari semalam. Tanpa pengobatan Gimin sembuh kembali. Orang lain yang kena patuk seperti itu pasti sudah lewat. Gimin memang hebat. Karena itu ia dijuluki orang yang berisi, meskipun dengan segan dibantahnya. "Soalnya saya belum kena naas saja," ujarnya. Sejak muda Gimin memang kebal terhadap bisa hewan. Waktu itu ia gemar mencari madu lebah. Di kampungnya pencari madu bukan orang sembarangan sebab harus punya simpanan ilmu dan harus dengan upacara mistik. Tapi Gimin tanpa mengucap apa-apa langsung saja memanjat. Lebah itu disapunya dengan tangan perlahan-lahan, kemudian madunya dipetik. Sejak itu Gimin tersohor sebagai orang kebal. "Padahal saya tak punya isi apa-apa, selain dari keberanian," tukas Gimin. Menurut Gimin lebah itu tak akan menggigit kalau tidak terpijak atau terhimpit tangan. "Tapi orang-orang tak percaya. Ia digelari pawang. Ketika tahun 1950 ia pindah dari perkebunan Huta Padang, Kecamatan Buntu Pane, Asahan, ke Kampung Baan Asahan, gelar itu lengket dengannya. Mula-mula Gimin jadi penjaga kebun kelapa orang. Karena bosan diperintah, ia pindah ke Bagan Denai pada tahun 1965. Mula-mula ingin jadi nelayan, tapi modalnya tak ada. Akhirnya ia menjadi pemburu kayu, karena modalnya hanya kapak. Sampan bisa disewa Rp 300 sehari-semalam. Lagi pula ia masih sanggup memikul kayu lenggade yang panjangnya 8 depa sebesar paha dengan bobot 100 kg, dari hutan ke sampan yang seringkali harus menempuh setengah kilometer, dengan jalan yang berlumpur lagi seorang diri. Gimin sekarang hidup bersama Siti Amsyah, isterinya yang kelima. Ia menghidupi 3 anak tiri bawaan Siti. Anak kandung satu-satunya ia dapat dari isteri ketiga, anak itu sekarang sudah berkeluarga. Setiap subuh Siti menyiapkan bekal untuk Gimin yang berburu sampai magrib. Bekal itu berupa nasi dan ikan asin cukup untuk makan sehari, karena di hutan tak ada yang jualan. Bisa kekurangan bekal kalau pasang mati atau air keburu surut. Sekali sampan Gimin yang penuh muatan terpisah 60 meter dari air laut yang sudah surut. Gimin tak bisa mendorong sampan itu. Malampun tiba dan Gimin jadi kehilangan akal. Timbang menunggu pasang esok hari tanpa bekal, ia lebih suka pulang ambil jalan darat. Dengan senjata kampak, pukul 8 malam ia mulai memintas hutan bakau menuju Tanjung Balai. Sampannya ditinggal. Ular, nyamuk atau harimau tak terfikirkan lagi. Tak kurang dari 20 km yang ditempuhnya. Baru pukul 8 pagi esoknya ia sampai ke rumah. "Saya mendengar suara harimau, tapi dia tak mengganggu saya, mungkin dia kasihan sama saya," ujarnya. Hari itu juga ia menjemput kembali sampannya, menumpang sampan orang lain. Sebetulnya bukan harimau yang ditakuti Gimin, tapi nyamuk. Juga bukan takut, hanya mengganggu dan menjengkelkan. Bayangkan begitu masuk hutan mahluk itu akan segera menyerbu seluruh permukaan tubuh yang terbuka. Itu sebabnya setiap pencari kayu harus memakai baju tebal berlengan panjang dan memasang api unggun. Tapi hasilnya, kalau tekun, lumayan. Gimin rata-rata tiap hari dapat Rp 1000. Belum lama ia berhasil membeli sampan berharga Rp 70.000. Gimin tak mengelak jika para pemburu kayu dianggap menyalahgunakan slogan "Hutan Untuk Rakyat". Itu semua terpaksa untuk mempertahankan hidup. Ia sendiri tak pernah bercita-cita jadi tukang cukur pantai. Dulu ia ingin jadi tentara. Waktu gerilya, ia masuk hutan dan ikut bertempur. Tapi sesudah perang selesai Gimin "tak terpakai" karena buta hurup. Sedangkan hari depannya sebagai pengumpul kayupun sekarang mulai tak menyenangkan. "Saya akan berhenti jadi pencari kayu meteran," katanya tegas, itu saya lakukan karena terpaksa. Saya sudah tua sekarang, saya ingin hidup tenang." Ia ingin jadi nelayan. Bulan lalu, Gimin mendaftar menjadi anggota BUUD Bagan Asahan. Hasilnya, ia mendapat kredit motor sehingga sekarang sampannya bermesin. Niatnya untuk menjadi nelayan mulai menjadi kenyataan. Dibelinya benang lalu ia merajut jaring sendiri. Akan tetapi setiap kali memandang ke tengah laut, hatinya jadi cemas, mendengar keluhan para nelayan. Akhirnya Gimin ikut berkata: "Maunya pukat harimau itu jangan dikasih izin lagi, habis ikan sulit didapat kalau ada dia !"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus