DARI ratusan wanita yang mencari kayu bakar di pantai Asahan,
tak semuanya karena lapar. Nikmah, nenek berusia 65 tahun dari
Kampung Bagan Baru mencari kayu hanya untuk membunuh waktu.
Sejak ditinggal suaminya 13 tahun lalu, sebenarnya ia bisa
bergantung hidup pada anak-anaknya. Tapi Nikmah lebih suka
bekerja terus.
Anaknya 4 orang, semua hanya sempat bersekolah SD. Tapi semuanya
sudah jadi orang. Yang tertua jadi pemborong ikan di Bagan
Asahan. Adiknya jadi nelayan. Sedang yang dua sudah menjadi
isteri nelayan. Dengan ukuran Bagan Asahan, nasib Nikmah
sebenarnya sudah baik, karena anak-anaknya mampu tegak sendiri.
"Mereka menyuruh saya tinggal di rumah saja," kata Nikmah.
Dengan modal sebuah parang, Nikmah mengerahkan dua sampai tiga
orang kawan untuk patungan menyewa sampan. Sewanya Rp 300
sehari. Dengan sampan itu ia masuk hutan, mencari kayu
sebagaimana biasanya ia lakukan sejak puluhan tahun yang lalu.
"Asal sudah beres sewa sampan kami sudah boleh pulang," kata
Nikmah menceritakan bahwa perjalanannya itu sama sekali tidak
untuk mencari untung. Bahkan kalau ada kayu lebih, sisa dari
membayar sampan, kayu-kayu itu tak dijual, tapi ia pakai
sendiri.
Meskipun hidupnya tidak tergantung dari kayu, karena kebutuhan
makan diberi oleh anaknya, janda Nikmah tetap bercita-cita untuk
memiliki sebuah sampan. Ia menunjuk ke sampan itu lalu berkata
kepada TEMPO: "Saya masih menyewa sampan itu." Kata-kata itu
sederhana tetapi mengharukan. Siapa tahu kalau sedang bersampan
ke hutan bakau barangkali hatinya jadi tenang, karena teringat
masa-masa suaminya masih hidup. Atau barangkali ia berusaha
untuk menjelmakan mimpi suaminya dahulu, untuk memiliki sampan
sendiri. Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini