INDONESIA, sebentar lagi tak akan sendirian mengelola satelit
komunikasl domestik di kawasan Pasifik Barat ini. Cina dan
Australia, diam-diam sedang menyusun rencana membeli dan
mengoperasikan satelit komunikasinya sendiri.
Di Australia, para pejabat pemerintah Federal belum semuanya
setuju dengan proyek SKSD (sistim komunikasi satelit domestik)
yang sedikitnya akan menelan biaya 200 juta dollar AS itu.
Departemen Keuangan Australia terutama belum setuju. Begitu pula
stasiun-stasiun TV swasta yang merasa terancam dengan saingan
baru yang bakal muncul. Juga Partai Buruh Australia masih getol
melancarkan oposisi karena kuatir proyek satelit itu akan
merasionalisasi pegawai telkom di seluruh benua.
Lain halnya di RRC. Negosiasi antara para penguasa di Peking dan
Washington, D.C. sudah menunjukkan lampu hijau yang semakin
kentara. Baru bulan Juli lalu niat RRC untuk mengelola satelit
komunikasinya sendiri disampaikan kepada Dr. Frank Press,
penasehat teknologi Gedung Putih yang sedang berkunjung ke
Peking waktu itu. Niat itu ternyata tak membutuhkan
kongkow-kongkow terlalu lama. Misi telekom Cina telah berkunjung
ke Amerika untuk "berbelanja stasiun bumi dan peralatan telkom
lainnya," begitu tulis harian Los Angeles Times (4 Oktober).
Cina, juga sudah menghubungi International Telecommunications
Union (ITU), badan PBB yang mengatur lalulintas telkom sejagat.
Kepada ITU, Cina telah memesan 'kapling' buat dua satelit
komunikasi yang akan mengorbit pada ketinggian 22.300 mil atau
36.000 km di atas bumi. Pesan tempat ini memang harus dilakukan
jauh hari sebelumnya. Scbab satelit Cina di atas Samudera Hindia
akan berdempet-dempetan dengan satelit Palapa (Rl), Statsionar
(Uni Soviet), Insat (India), serta Intelsat yang sudah 4-5
biji.
Belum dipastikan, satelit buatan negara mana yang bakal dibeli
Cina. Juga siapa yang akan meluncurkannya, dan dari mana. Selain
Amerika Serikat, disebut-sebut pula beberapa kandidat lain,
seperti Jepang, Jerman Barat, Perancis, atau suatu konsortium
negara-negara Eropa Barat. Namun kans terbesar rupanya ada di
tangan Amerika. Selain punya kebolehan dalam memproduksi satelit
komunikasi yang berorbit di atas garis katulistiwa, yang tak
perlu berpindah tempat (geo-stationer), AS juga punya pangkalan
peluncuran roket yang ideal di Cape Kennedy, Florida. Dari
pangkalan itulah telah diluncurkan satelit komunikasi AS
sendiri, Westar, serta yang milik Canada (Anik) dan Indonesia
(Palapa). Seperti Westar, Anik dan Palapa yang berorbit
geo-stationer itu yang diniati RRC.
Misi RRC ke AS bulan lalu, masih belum memesan satelitnya. Tapi
hanya untuk membeli stasiun bumi. Sejauh ini, RRC sudah memiliki
tiga kompleks stasiun bumi dengan antena parabol bergaris tengah
30 meter. Fungsinya untuk berhubungan dengan satelit Intelsat.
Dan melalui Intelsat, ia dapat berkomunikasi dengan puluhan
negara yang menjadi anggota konsortium Intelsat.
Kini, RRC berniat memesan sejumlah stasiun bumi yang dapat
berpindah-pindah. Dengan antena parabol bergaris-tengah 10 meter
ke bawah, stasiun bumi mini begini mudah dibongkar-pasang,
diangkut dengan truk atau helikopter dan kemudian bisa cepat
dikirim lagi dengan arah membidik ke satelit di setiap tempat
yang dianggap strategis.
Rencana Cina ini disoroti oleh para pengamat Barat sebagai lebih
bertujuan militer. Komunikasi satelit dengan stasiun bumi mini
akan memudahkan Peking mengawasi tapal-batasnya dengan Uni
Soviet yang lebih dari 6000 km panjangnya, dan dengan
tetangganya di selatan, India. Kebetulan India dalam waktu
singkat juga akan meluncurkan satelit komunikasi dari pangkalan
roket Baikonur di tepi laut Hitam, Uni Soviet.
Proyek satelit komunikasi RRC sedikitnya akan menelan $ 45 juta
dan makan waktu 18 bulan. Ia didorong oleh anggaran militer RRC
yang memang sedang meningkat. Akhir Juli, AP juga memberitakan
tawaran RRC -- lewat perantara di Hongkong -- untuk membeli 2800
foto satelit Landsat milik AS seharga $ 105 ribu. Meskipun
Direktorat Geologi AS yang mengoperasikan Landsat menekankan
misi "damai" dan "ilmiah" dari satelit itu, tak tertutup
kemungkinan bahwa koleksi foto yang dipesan itu meliputi wilayah
perbatasan RRC dengan Uni Soviet dan India.
Tak Perduli
Selain itu, ada lagi pesanan RRC yang jelas berbau hankam.
Misalnya, pesanan roket anti pesawat udara dan anti tank dari
Perancis seharga $ 700 juta, seperti yang diberitakan koran
Washington Star (31 Oktober).
Menurut satu sumber TEMPO, lewat perantara di Hongkong pula RRC
sedang mencoba memesan 200 helikopter Jerman jenis BO-105.
Dikombinasi dengan roket anti-tank dan anti-pesawat terbang
buatan Perancis itu, armada helikopter RRC akan menjadi senjata
taktis yang ampuh di kawasan perbatasan nan rawan.
Kendati demikian, ada juga program pengalihan teknologi Barat ke
RRC yang tak serta-merta bersifat militer. Sejumlah ahli fisika
nuklir Cina misalnya, kini sedang berada di Laboratorium Enrico
Fermi dekat Chicago, AS, untuk mempelajari accelerator nuklir
enerji tinggi di sana selama satu semester. Penguasa di Peking
juga telah berunding dengan squmlah perusahaan AS, untuk membeli
peralatan pengeboran minyak dan tanur baja Amerika. Ratusan ribu
ton kapal Jepang juga mulai dipesan.
Dan untuk memodernisasi jaringan telekomunikasinya, awal bulan
ini satu delegasi RRC telah mengadakan peninjauan ke Hongkong.
Peking juga ingin mengirim sekitar 300 orang untuk memperdalam
studi eksakta di Jerman Barat mulai 1978. Bonn sudah
menyetujuinya. Bahkan Bonn dimintanya pula untuk menyediakan
sejumlah guru besar guna mengajar di RRC. Kedua negara baru
saja meneken perjanjian kerjasama ilmiah.
Semuanya ini memang jelas menunjukkan garis Teng Hsiao-ping,
yang tak perduli kucing itu hitam atau putih. Pokoknya, asal
bukan beruang (kecuali beruang panda Cina sendiri).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini