SESUDAH buku Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan mendapat
kritik dari SI Poeradisastra, keputus yang diambil pengarangnya,
Prof. Slamet Iman Santoso, memang mengagetkan. Dalam suratnya
yang ditujukan kepada Proyek pengadaan Buku Departemen P&K ia
mengecam cara kerja panitia pengadaan buku dan meminta supaya
rekomendasi untuk bukunya itu dicabut saja. Sementara dalam
suratnya yang ditujukan kepada SI Poeradisastra (TEMPO 23
September) ia menunjukkan kesan menyerah. "Bagi saya jelas, saya
tidak mampu memperbaiki kesalahan itu," katanya. Untuk
memperbaiki kesalahan yang diungkapkan pengeritiknya juga sudah
tak mungkin karena kesibukannya. Malahan ia memutuskan untuk
menghentikan saja usahanya menyusun buku capita selekta tentang
ilmu kimia, biologi dan fisika. "Untuk menghindarkan penyebaran
pengetahuan yang salah," katanya.
Tentu saja keputuan yang amat polos dari guru besar Universitas
Indonesia yang sederhana itu mengejutkan Poeradisastra. Meskipun
di dalam penulisan fakta sejarah buku Prof. Slamet itu banyak
kekurangannya, Poeradisastra menilai, "buku itu baik dipakai
untuk pengganti bahan kuliah studium generale". Apa yang telah
dilakukan Prof. Slamet, menurut bekas dosen Sejarah Sastra
Indonesia di Fakultas Sastra UI itu, "baik idenya. Hanya memang
penalaran dari gagasan itu kurang baik. Kurang seimbang didalam
mengupas berbagai disiplin ilmu pengetahuan."
Rasa Segan
Prof. Slamet sendiri mengakui, dia bukanlah seorang manusia yang
menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Ia mengeluh
tentang banyaknya buku yang dibutuhkan untuk referensi tapi
sulit dijumpai di perpustakaan UI atau lembaga-lembaga ilmiah.
Kalau ada, menurut Prof. Slamet Iman Santoso, "kebanyakan
terbitan tahuh '60-an, padahal dari tahun ke tahun ilmu
pengetahuan senantiasa berkembang." Berkata kepada wartawan
TEMPO Eddy Herwanto di rumahnya, Prof. Slamet mengakui, "tidak
mempunyai literatur dan uang yang cukup untuk menunjang usaha
itu." Ia sendiri mengalami kesulitan untuk mencari buku-buku
mutakhir di pasaran. Karena apa? "Pemerintah tidak memiliki
kebijakan perbukuan secara jelas dan baik," ulasnya. Ternyata
baru kemudian, setelah buku Sejarah Perkembangan Ilmu
Pengetahuan itu terbit, Prof. Slamet menemukan beberapa buku
yang bisa mendukung penulisan -- setidaknya bisa dianggap
melengkapi kekurangan.
Beberapa tahun setelah buku itu selesai dikerjakan baru ia
menemukan buku pegangan seperti Van Nostrand's Scientific
Encyclopaedia dan Hutcbinson's New 20th Century Encyclopaedia.
Kalau keadaan perbukuan dan kesibukan pribadinya masih tetap
seperti sekarang, Prof Slamet berpendapat apapun yang kelak akan
dihasilkannya tetap akan menurun. "Apakah salah kalau saya
menghentikan menyusun buku berikutnya, karena saya mengatakan
saya kurang fasilitas!" tanyanya tanpa mengharap jawab. Tapi
kalau P&K tetap membujuknya untuk meneruskan penulisan buku, ia
yah masih bersedia. Asal disediakan sebuah tim yang kuat.
Niat Prof Slamet menyusun buku itu bermula awal tahun 1970.
Ketika dari hasil pengamatannya, banyak mahasiswa "tidak tahu
apa-apa". Kalau para mahasiswa ditanya tentang Socrates
misalnya, "mereka hanya tahu Socrates minum racun. Siapa itu
Socrates, mereka tidak tahu lagi."
Tahun 1973 naskah buku Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
sudah siap. Menyadari ia bukan ahli sejarah, fisika, kimia
ataupun biologi, dibuathmnya beberapa kopi naskah buku itu
:lalam bentuk stensilan. Beberapa instansi dikirimi, dengan
permintaan kalau menjumpai kekeliruan agar memberikan koreksi
dan tanggapan. "Tapi sampai tahun 1976 tidak ada tanggapan dari
instansi yang dikirimi naskah itu. Saya kecewa sekali," ungkap
Slamet.
Kemudian akhir tahun 1976 Prof Slamet membicarakan naskahnya itu
dengan Proyek Pengadaan Penterjemahan dan Penulisan Buku Dep.
P&K. Buku itu kemudian diteliti, seperti dikatakan Pimpinan
Proyek -- drs. Syahrial Wahab.
Umpan Balik
Hanya 3 bulan, naskah itu diteliti, kemudian keluar keputusan
Dep. P&K memberikan rekomendasi untuk menerbitkannya. Tapi di
luar dugaan setelah mendapat ulasan cukup tajam dari
Poeradisastra, buku itu memiliki banyak kekurangan. Tentu saja,
Slamet Iman Santoso, 72 tahun, yang menyangka bukunya telah
diteliti dengan baik oleh Dep. P&K, menjadi gusar. Dalam
suratnya yang dilayangkan ke alamat Proyek Pengadaan Buku, ia
mengecam cara kerja yang dilakukan pihak Dep. P&K.
Dep. P&K mengaku kekurangannya. Seperti dikatakan Pimpinan
Proyek Pengadaan Buku Perguruan Tinggi, drs. Syahrial Wahab,
"sulit mencari orang yang bisa meneliti dengan baik." Sehingga
dalam situasi itu, ia kemudian mengambil keputusan, untuk
mempercayakan pada seseorang (tidak disebu. namanya) buat
meneliti naskah buku Prof. Slamet tadi.
Bagaimanapun, kritik Poeradisastra, merupakan umpan balik yang
baik. "Saya anjurkan, meskipun telah dikritik, Prof. Slamet
tidak lantas pesimis. Beliau saya anjurkan untuk melakukan
revisi, tapi tampaknya sulit, sebab beliau mengatakan kini sibuk
mengetuai Komisi Pembaharuan Pendidikan," cerita Syahrial.
Ditemui di rumahnya yang sederhana di sela pohon durian dan
kecapi di sebuah desa Pangkalan Jati, Jakarta Selatan,
Poeradisastra yang dikenal sebagai eseis kebudayaan tahun
1950-an itu, menyarankan agar dibentuk sebuah tim untuk
menyusun, atau setidaknya untuk merevisi buku SPIP. Di dalam tim
yang beranggotakan paling sedikit 6 orang (paling besar 15
orang), didudukkan orang yang mewakili disiplin ilmu Matematika
dan llmu Pengetahuan Alam, IPS dan Humaniora. Sukar mengandalkan
pekerjaan yang sedikitnya memerlukan waktu 2 - 3 tahun itu,
"pada seorang saja. Hanya pemerintah yang mampu berbuat itu,
karena untuk menyusun buku ini perlu perpustakaan yang besar "
kata Poeradisastra, 56 tahun, dari balik kacamatanya yang tebal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini