Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gawai bisa dikatakan sudah tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Di mana pun berada, Anda akan melihat interaksi manusia dengan gawainya. Seperti barang lain, gawai dan aksesorinya akan menjadi sampah jika sudah tak terpakai. Sampah itu biasa disebut sampah elektronik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, belum banyak komunitas yang menaruh perhatian pada sampah elektronik. Salah satu yang peduli terhadap bidang ini adalah E-Waste RJ. Mereka bergerak dengan cara mensosialisasikan bahaya sampah elektronik kepada masyarakat, mengumpulkan sampah elektronik dari mereka, dan menyerahkannya kepada perusahaan pengolah sampah elektronik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut laporan The Global E-Waste Monitor 2017, pada 2016 sebanyak 44,7 juta metrik ton sampah elektronik dihasilkan di dunia atau hampir setara dengan 4.500 Menara Eiffel. Laporan ini juga memprediksikan sampah elektronik bisa mencapai angka 52,2 juta metrik ton pada 2021.
Komunitas ini dibentuk oleh Muhammad Rafa Ibnusina Jafar, remaja berumur 15 tahun, pada 2016. Saat duduk di kelas V sekolah dasar, ia mendapatkan tugas membuat karya tulis. Ia tertarik pada masalah ini dan penasaran ke mana barang elektronik akan berakhir ketika sudah tak terpakai, terlebih barang elektronik mengandung racun di dalamnya.
Rafa kemudian melakukan riset ke produsen elektronik dan perusahaan pengolah limbah industri didampingi gurunya. Setelah membuat karya tulis, ia mendalami topik tentang sampah elektronik sehingga terlahirlah buku berjudul E-Waste: Sampah Elektronik pada 2015.
Setelah buku ini terbit, Rafa membuat dropbox atau tempat membuang sampah elektronik masyarakat bernama Dropbox E-Waste pada 2016. Inilah yang kemudian berkembang menjadi komunitas E-Waste RJ.
Salah satu anggota E-Waste RJ bernama Pranandya Wijayanti mengatakan komunitas ini menerima berbagai jenis barang elektronik, seperti telepon seluler, radio, laptop, baterai, bahkan televisi dan lemari pendingin. "Paling banyak itu telepon seluler, pernah juga ada mesin cuci," kata Pranandya kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.
Pranandya mengatakan sampah elektronik sangat berbahaya jika tak segera disalurkan ke pihak-pihak yang mengerti cara mengolahnya. Ia menjelaskan, pernah ada kejadian kebakaran di Jakarta Barat, akibat tukang loak barang mencoba mempreteli isi dari barang elektronik tanpa pelindung. Sampah elektronik juga berdampak buruk bagi kesehatan, seperti bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan ginjal, dan paru-paru. "Bahaya itu ada pada cairan (merkuri) di dalam barang elektronik itu."
E-Waste RJ kini menempatkan dropbox di Gordi HQ, Jakarta Selatan. Masyarakat bisa datang ke sana untuk menaruh sampah elektroniknya dan bisa juga dikirimkan ke gudang E-Waste RJ di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Namun, perlu diketahui, Anda tidak akan mendapatkan imbalan apa pun jika menaruh sampah elektronik di tempat komunitas E-Waste RJ. Mereka pun tidak mendapatkan imbalan ketika menyerahkan sampah-sampah elektronik itu kepada pihak pengolah yang sedang bekerja sama dengan mereka.
Nandya sapaan Pranandya mengungkapkan, pihaknya sudah membuka berbagai agen di luar Jadetabek. Agen-agen ini bertugas mengumpulkan sampah elektronik dari masyarakat untuk dikirimkan ke E-Waste RJ di Jakarta, kemudian disalurkan ke perusahaan pengolah. Agen-agen itu sudah berada di daerah seperti Tuban, Yogyakarta, Surabaya, Manado, dan Palembang.
Menurut Nandya, mereka rutin mengirim sampah elektronik ke pihak pengolah, yaitu PT Teknotama Lingkungan Internusa, tiap enam bulan sekali. "Kadang kalau sudah banyak meski belum waktunya, akan dikirim."
Nandya bercerita anggota keluarganya pun mulai mengumpulkan sampah-sampah elektronik karena keaktifannya di komunitas ini. Bahkan ada satu kawannya yang berbeda kantor ikut mengumpulkan sampah elektronik di kantornya. "Dia sudah dua kali kirim ke kami."
E-Waste RJ berusaha menjangkau masyarakat luas di antaranya dengan cara hadir dalam acara-acara bertema lingkungan dan car-free day. Mereka sangat di media sosial, misalnya Instagram. Salah satu anggota yang bertugas mengurus media sosial adalah Martina Solya, 25 tahun.
Solya mengatakan alasannya bergabung ke E-Waste RJ karena ingin berkontribusi memperbaiki lingkungan dan apa yang dilakukan E-Waste RJ ini baru baginya. Ia mengungkapkan jumlah pengikut di Instagram mereka terus meningkat karena bekerja sama dengan sejumlah influencer yang memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup.
Senada dengan Solya, Seshana Aviananda, 25 tahun, memiliki alasan yang sama saat bergabung dengan komunitas ini. Ia berpikir pada saat itu belum ada saluran bagi masyarakat untuk menyalurkan sampah elektroniknya di level komunitas.
Ke depan, menurut Seshana, E-Waste RJ akan berfokus mencari sponsor agar bisa membuat dropbox lebih banyak lagi. Jika dropbox makin banyak, mereka yakin makin banyak masyarakat yang sadar akan bahayanya sampah elektronik. DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo