Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Peluncuran 7 Novel NAD Academy, Wujud Nyata Literasi dari Hulu ke Hilir

Bicara soal literasi, komunitas Nulis Aja Dulu sudah memiliki modal utama yang menginspirasi banyak orang dan memenuhi kriteria dari hulu ke hilir.

16 November 2022 | 22.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas NULIS AJA DULU (NAD) menggelar acara bincang santai bersama penulis dan sastrawan Kurnia Effendi di tahun ketiganya sebagai pengisi acara Indonesia International Book Fair (IIBF) di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu, 9 November 2022. Diskusi tersebut menitikberatkan pada eksistensi salah satu industri kreatif, yakni literasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbicara soal ekosistem di jagat literasi, Kurnia menilai jika komunitas NAD sudah memiliki modal utama yang menginspirasi banyak orang dan memenuhi kriteria dari hulu ke hilir. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sudah punya anggota dengan jumlah puluhan ribu, ada ide kreatif, pelatihan, penulisan, penerbitan, proses pembacaan, dan yang terbaru juga sudah punya ruang promosi. Kelak nanti bisa juga diusulkan memberi penghargaan kepada pegiat literasi, baik secara kualitas maupun kuantitas,” kata Kurnia lewat keterangan tertulis. 

Sejalan dengan menggeliatnya industri kreatif di Indonesia, pendiri komunitas Nulis Aja Dulu, Melanie Agustine, berharap pemerintah bisa membuat ekosistem kreatif yang adaptif dan sesuai dengan perkembangan zaman. 

“Kami berharap pemerintah juga terlibat sejak awal saat bukunya sudah jadi dan diikuti ke berbagai pameran. Jangan bicara hilirnya saja tetapi juga mulai dari hulu, bagaimana perhatian untuk penulis. Jadi, jangan bicara kualitas menulis kalau penulis tidak diperhatikan,” imbau Melanie. 

Gerakkan literasi masyarakat
Berpijak dari kondisi di atas, NAD pun berupaya untuk menggerakkan literasi agar masyarakat umum juga punya kebiasaan membaca. Program-program yang ada di NAD tidak hanya menulis tetapi juga Baca Aja Dulu yang mengimbau teman untuk membaca lalu menuliskan ulasannya. 

“Kami juga sadar betapa penting sebuah sentuhan secara langsung. Oleh sebab itulah kami juga membuka Nakara Café-Books-Learning Space yang tidak hanya kafe tetapi juga ruang belajar dengan program rutin kelas literasi, diskusi rutin, klub bahasa, dan ratusan judul buku yang bisa dibaca di sana,” terang Melanie. 

Selain membicarakan literasi masa kini, acara diskusi sekaligus menandai peluncuran tujuh novel karya NAD Academy 2020. NAD Academy sendiri adalah ajang penggojlokan para penulis berbakat dengan proses seleksi ketat dan karantina penuh selama kurang lebih empat bulan untuk menghasilkan novel berkualitas. Kurnia yang juga mentor NAD Academy mengatakan selama mendampingi para akademia selalu mengatakan menulislah apa yang disukai, kemudian yang dikuasai. 

“Artinya apa, ketika kita menulis apa yang dikuasai tentu saja prosesnya juga akan lebih maksimal,” ucap Kurnia. 

Sebagai contoh ada akademia yang mengambil genre surealis, menggambarkan sebuah kisah tentang seseorang yang diberi kesempatan hidup sampai tujuh kali dengan ceritanya masing-masing. 

“Tidak hanya karena judul buku para akademia yang dibaca tetapi juga proses kreatif selama penyusunan naskah yang terus-menerus dilatih sehingga menghasilkan novel yang berkualitas,” tambahnya.

Ketujuh novel karya NAD Academy 2020 terdiri dari para penulis Rahmat Hidayat (Api, Kopi, dan Puisi), Windy Marthinda (Acroxia), Prima Taufik (Balakosa), Tazkia Irsyad (Enigma), Jenny Seputro (Silent Dreams), Erlyna (Realive), dan Eki Saputra (Kepada Siapa Ilalang Bercerita).

#NADAcademy2020 dari Bandung, Windy Marthinda, mengatakan jika pengalaman selama menjadi akademia banyak sekali pelajaran dari para mentor yang ia dapatkan selama di bangku kuliah. Alasan kenapa memilih novel bergenre fantasi karena memang menyukai genre ini dan lebih mudah untuk dikerjakan. Namun, pada prosesnya tidak seperti yang dibayangkan dari awal. 

Kemudian, #NADAcademy2020 dari Jakarta, Prima Taufik, mengatakan proses penulisan Balakosa sendiri dikerjakan di saat ia sedang punya cukup banyak waktu luang walau tetap saja dalam proses mengerjakan setiap hari harus memikirkan kelanjutan ceritanya. 

“Saya yang terbiasa menulis script film, mesti menyesuaikan saat menyusun novel yang sedikit berbeda. Tetapi dengan bantuan para mentor, ide-ide yang saya punya bisa dikembangkan menjadi novel,” ucapnya. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus